Impor
Beras dan Cadangan Pemerintah Sapuan Gafar ; Mantan Wakil Kepala Bulog |
KOMPAS,
30 Maret
2021
Merespons heboh rencana impor beras satu
juta ton, Presiden Joko Widodo akhirnya turun tangan sendiri untuk
menjelaskan bahwa tidak ada impor beras sampai Juni 2021. Setelah dua tahun beras sepi dari
pemberitaan, tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh isu rencana impor beras
satu juta ton, yang kemudian dibantah Presiden. Sebenarnya ada apa? Tulisan ini akan menjelaskan masalah
pengelolaan impor beras dan pengelolaan cadangan beras pemerintah (CBP). Oleh
karena impor beras merupakan salah satu instrumen untuk pengisian CBP, maka
akan dijelaskan terlebih dahulu seputar istilah cadangan, cadangan beras, dan
cadangan beras nasional. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (Badudu
dan Zain, 1994), cadangan merupakan sesuatu yang disediakan dan akan dipakai
pada masa yang akan datang. Dengan demikian, cadangan beras adalah persediaan
beras untuk kebutuhan besok, lusa, dan seterusnya, baik yang berada di
masyarakat maupun yang berada pada kendali pemerintah. Dalam kaitan dengan cadangan beras,
terdapat cadangan beras nasional (CBN) yang merupakam gabungan antara
cadangan beras masyarakat (CBM) dan cadangan beras pemerintah (CBP). CBM dan
CBP tersebut merupakan satu mata rantai logistik yang saling melengkapi. Apabila keadaan CBM cukup, jumlah CBP bisa
dalam keadaan minimal dan sebaliknya. Oleh karena itu, pemantauan keadaan CBM
merupakan salah satu kegiatan yang penting. Saat ini belum ada lembaga yang
serius memantau dan mengoordinasikan secara sistematis dan berkelanjutan. Posisi CBN bersifat dinamis, dapat berubah,
tergantung pola panen dan keadaan panennya sendiri, persediaan awal di
masyarakat, ekspektasi masyarakat terhadap keadaan pasar, gangguan hama dan
alam (banjir/kekeringan), serta keadaan pasar beras dunia. Oleh karena itu, CBN dapat berbeda setiap
bulannya. Namun, menurut pengalaman, CBN ”seharusnya” dalam posisi maksimal
pada 31 Desember, kemudian minimal pada 31 Maret, kemudian pada 30 September
merupakan posisi optimal untuk menghadapi musim paceklik 4-5 bulan ke depan. CBM terdiri dari cadangan beras yang ada di
rumah tangga konsumen (lini satu), di pedagang pengecer, pedagang grosir, dan
pedagang besar (lini dua), juga yang ada di pedagang pengumpul gabah dan
penggilingan (lini tiga), tidak termasuk yang ada di petani sendiri dan di
sawah yang akan panen. Keadaan CBM yang paling kritis adalah pada
bulan Desember, dalam hal ini perlu diketahui panen berikutnya akan mundur
atau maju, yang hal ini dapat diprediksi 2-3 bulan sebelumnya. Terdapat juga faktor lain yang berpengaruh,
misalnya perubahan kebijakan pemerintah dalam hal penyaluran beras yang
mengakibatkan pola penyediaan beras di masyarakat berubah, seperti
penggantian program rastra (beras untuk keluarga sejahtera) ke bantuan pangan
nontunai (BPNT) atau banyaknya program bantuan sosial (bansos) 2020 dalam
bentuk natura. Adapun pengertian CBP sendiri terdiri dari
iron stock atau stok besi yang jumlahnya tetap setiap saat dan commitment
stock, yaitu sejumlah penyaluran tertentu dalam rangka perputaran persediaan
agar barang tidak rusak. Setelah program penyaluran raskin/rastra
dalam bentuk natura diberhentikan total di 2018—sebelumnya merupakan
penyaluran tetap Bulog—konfigurasi operasional CBP jadi berubah. Untuk itu, pada 27 Oktober 2018 dibuat
skema baru pengadaan dan pengelolaan stok beras yang prinsipnya Perum Bulog
dapat melakukan pembelian dan penjualan secara terus-menerus, bahkan
diperintahkan untuk melakukan operasi pasar secara masif. Oleh karena
pemahaman tentang iron stock dan commitment stock menjadi tak jelas. Demikian
juga istilah operasi pasar menjadi tidak tepat lagi, mungkin menjadi release
stock atau injeksi pasar. Pengelolaan
cadangan beras Permasalahan pengelolaan cadangan beras
yang akan dibahas di sini, pertama, cara penentuan jumlah persediaan untuk
cadangan beras. Kedua, bagaimana mengelola impor beras agar tidak mengganggu
produksi dalam negeri. Pertama, setelah kita mencapai swasembada
beras tahun 1984, persediaan 1985 dan 1986 terus membengkak. Untuk itu
diperlukan disposal stock, antara lain dengan cara diekspor, walaupun merugi. Kemudian pada 1986 dirumuskan pembagian
kewajiban pembiayaan, untuk iron stock satu juta ton dibiayai oleh
pemerintah, untuk operational stock 1,5 juta ton dibiayai oleh Bulog, dan
apabila pada akhir September persediaan melebihi 2,5 juta ton—disebut surplus
stock—dibiayai oleh pemerintah. Selanjutnya, ketika kita menghadapi kemarau
panjang 1987, ternyata kita harus impor beras lagi. Akhirnya Presiden
Soeharto meminta dibuat ukuran ketersediaan beras yang pas. Kepala BPS Azwar
Rasyid menyampaikan formula pada 23 Juli 1988 tentang Imbangan Produksi dan
Konsumsi Beras. Caranya, dengan melakukan ”koreksi”
produksi bruto sebesar 11 persen untuk benih, susut/rusak, untuk pakan
ternak. Kemudian diperoleh angka produksi neto yang apabila dibagi dengan
jumlah penduduk diperoleh angka ”konsumsi tersedia” per kapita per tahun 146,83
kilogram. Berdasarkan formula BPS tersebut, apabila
kita gunakan untuk menganalisis data pada saat kita mencapai swasembada beras
1984-1993, kita menemukan angka produksi beras per kapita 163,83 kilogram.
Setelah ditambah impor dan dikurangi ekspor, angka tersedia per kapita 163,56
kilogram. Apabila data tersebut dikoreksi 11 persen,
ketersediaan beras menjadi 145,45 kilogram per kapita per tahun atau 12,12
kilogram per bulan (dibulatkan 12 kilogram). Angka inilah yang dipakai
sebagai patokan penyediaan kebutuhan beras nasional. Penyediaan beras
nasional bukan lagi dengan cara menghitung produksi dikurangi konsumsi karena
harus ada cadangan beras yang perlu diperhitungkan. Apabila kita menggunakan patokan tersebut,
dapat dibuat estimasi jumlah ketersediaan cadangan beras 2021. Dengan
proyeksi jumlah penduduk 273,984 juta jiwa, CBN di lini satu (rumah tangga
konsumen) sebesar 12 kilogram dikalikan 273,984 juta, yakni 3,288 juta ton
beras. Selanjutnya, agar kontinuitas persediaan
selalu terjaga, persediaan di lini dua (sektor distribusi) juga harus ada
dengan jumlah yang sama. Demikian juga di lini tiga (sektor pengolahan) harus
tersedia jumlah yang sama. Oleh karena itu estimasi besarnya kebutuhan CBN
sebesar 3 x 3,288 = 9,864 juta ton. Sebagai perbandingan hasil survei BPS atas
Kajian Cadangan Beras 2015, untuk posisi 31 Maret sebesar 7,97 juta ton,
kemudian pada 31 Juni sebesar 10,02 juta ton, selanjutnya pada 30 September
sebesar 8,85 juta ton. Dengan metode yang mirip, apabila dipakai
untuk melakukan analisis neraca ketersediaan beras 2018, 2019, dan 2020
dengan catatan produksi beras dianggap sudah dalam keadaan produksi neto,
hasil perhitungan penulis diperoleh angka ketersediaan rata-rata 152,7
kilogram per kapita dan posisi persediaan pada 31 Desember 2020 sebesar 8,82
juta ton (satu juta ton berada di Bulog dan 7,82 juta ton berada di
masyarakat). Kondisi persediaan akhir 2020 yang lebih
rendah satu juta ton, yakni 9,86 dikurangi 8,82 juta ton inilah yang mungkin
jadi pertimbangan rencana impor. Pengelolaan
impor beras Kedua, pengelolaan impor beras dalam rangka
penguatan CBP. Dalam hal impor beras, alasan yang digunakan pemerintah
biasanya untuk memperkuat cadangan beras pemerintah. Masalahnya, besarnya CBP
yang dikehendaki pemerintah belum jelas. Menurut informasi, disetujui adalah CBP 1,5
juta ton, tetapi hal itu belum jelas apakah hal itu merupakan iron stock atau
omzet satu tahun. Tampaknya pemerintah juga gamang membiayai CBP 1,5 juta ton
dengan sistem prabayar, akhirnya pemerintah hanya menanggung selisih harga
antara harga pokok dan harga jual (jadi sistemnya pascabayar). Oleh karena itu, secara fisik sebenarnya
CBP itu tak ada, tapi hanya merupakan commitment stock, pembeliannya juga
ditalangi Bulog terlebih dahulu. Dengan tak ada penyaluran tetap, maka akan
membuat rumit dalam perencanaan ataupun eksekusinya. Sejak 2015, keputusan impor cenderung
terlambat, dilakukan menjelang panen dan pengapalan beras juga kurang
mempertimbangkan pemasukan pengadaan dalam negeri. Akibatnya, perputaran
persediaan jadi rumit, padahal menyelesaikan persediaan beras lama itu sulit
sekali. Disarankan persediaan beras lama dapat
dilelang oleh balai lelang. Di sini harus jelas siapa yang menanggung
kerugian? Apabila pemerintah tidak bersedia menanggung kerugian, seharusnya
penyaluran tetap harus dihidupkan lagi. Terkait pengelolaan waktu impor beras,
sebenarnya indikasi diperlukannya impor atau tidak, sudah dapat dideteksi
pada bulan Juli atas realisasi pengadaan dalam negeri dan pertimbangan lain. Selanjutnya, kebutuhan akan impor beras
sudah dapat dipastikan pada bulan September. Hal ini memang bukan pekerjaan
mudah, karena itu disarankan dibentuk lembaga pemerintah yang khusus
menangani dan mengoordinasikan serta memantau cadangan pangan. Dulu, bentuk Bulog dwifungsi sebagai
regulator dan operator, pemantauan dan koordinasi dilaksanakan Bulog.
Pengelolaan impor beras yang penting lagi adalah harus diketahui karakter
tanak nasi beras yang akan diimpor. Keputusan Presiden Jokowi yang menunda impor
beras sampai dengan Juni 2021 sangat melegakan, tetapi masih banyak masalah
yang menggelayut yang perlu dipecahkan dan disepakati. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar