Kamis, 18 Maret 2021

 

WTO dan Perdagangan Multilateral

 Yose Rizal Damuri  ;  Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies, Jakarta

                                                        KOMPAS, 18 Maret 2021

 

 

                                                           

Tahun ini, anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dijadwalkan bertemu dalam Konferensi Tingkat Menteri Ke-12 di Kazakhstan setelah ditunda tahun lalu akibat pandemi.

 

Pertemuan ini mempunyai arti strategis paling tidak dari dua hal. Pertama, ini pertemuan pertama dengan Amerika Serikat yang berada di bawah administrasi baru yang mungkin akan lebih kooperatif dengan sistem multilateral. Kedua, pertemuan ini membuka kesempatan bagi anggota untuk membicarakan kemungkinan inisiatif reformasi WTO yang telah didorong secara serius oleh negara-negara G-20 pada November 2020.

 

Di tengah semaraknya perjanjian regional, seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), kemungkinan banyak pihak bertanya apa relevansi dari WTO saat ini. Aturan yang diterapkan WTO dianggap sudah tua dan macet di abad ke-20, sementara dunia telah berkembang dengan rantai nilai global, serta kemajuan perdagangan dan jasa digital.

 

Integrasi ekonomi juga lebih didorong oleh kesepakatan perdagangan regional (RTA), terutama setelah Putaran Doha yang dimulai sejak 2001 tidak dapat menghasilkan kesepakatan secara substansial. Namun, apakah memang WTO sudah tidak lagi diperlukan? Apakah berbagai RTA dapat menjadi substitusi dari organisasi perdagangan dunia tersebut?

 

Jawabannya mungkin tidak. WTO dinilai efektif mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan global. Nilai perdagangan meningkat empat kali lipat, sementara hambatan bea masuk turun secara signifikan hingga 50 persen. Lebih penting lagi aturan perdagangan yang berlaku saat ini tetap merujuk pada kesepakatan WTO.

 

Ketika negara-negara ASEAN ada sengketa perdagangan di antara mereka, misalnya antara Thailand dan Vietnam di 2008 atau Vietnam dan Indonesia di 2015, sengketa tetap diselesaikan di WTO meskipun kelompok negara ini sudah memiliki perjanjian perdagangan yang telah lama berjalan.

 

Perjanjian regional juga tak dapat sepenuhnya memberikan aturan bermain di bidang perdagangan karena variasi yang begitu besar antara satu dan lainnya. Aturan main yang terlalu beragam menyebabkan sistem perdagangan dunia jadi terfragmentasi dan membebani perekonomian dan dunia usaha. Bahkan, saat ini pun fenomena spaghetti-bowl dari RTA, yakni ada tumpang tindih aturan main antara satu perjanjian dan lainnya, kian terasa.

 

Reformasi WTO

 

Sistem perdagangan multilateral di bawah WTO masih terus dibutuhkan untuk mengelola perdagangan dunia secara baik. Perang dagang yang terjadi antara AS dan China hanya memperjelas bahwa sistem itu semakin dibutuhkan. Tanpa itu, tata kelola perdagangan dapat mengarah pada tindakan unilateral yang agresif dan merugikan seluruh pihak.

 

Oleh karena itu, sejak beberapa waktu lalu muncul berbagai usulan untuk melakukan reformasi terhadap WTO. Setidaknya reformasi diminta dilakukan atas empat area.

 

Pertama, terkait proses negosiasi dan beberapa prinsip yang saat ini dianut, terutama prinsip konsensus dan pendekatan single-undertaking, di mana semua anggota harus menyetujui seluruh bahasan yang dirundingkan sebelum dapat membuat kesepakatan. Seiring dengan kian beragamnya kepentingan anggota, semakin sulit untuk dapat mengambil keputusan dengan mengikuti kedua prinsip tersebut.

 

Kedua, kondisi pembuatan aturan di WTO kian mempersulit pencapaian konsensus dengan pendekatan single-undertaking dan konsensus. Oleh karena itu, idenya adalah untuk meningkatkan fleksibilitas WTO dengan tetap membuka opsi sistem plurilateral. Artinya, tak semua anggota harus dalam negosiasi, tetapi akan selalu terbuka dan mendorong anggota lain untuk terlibat.

 

Perubahan lain adalah mengenai status negara berkembang dan prinsip special and differential treatment (S&DT). Anggota WTO yang telah maju mempertanyakan definisi negara berkembang karena beberapa negara masih mendapat fasilitas S&DT meski seharusnya tak diperhitungkan sebagai negara berkembang lagi, seperti Singapura, Korsel, dan Taiwan. Jadi, diperlukan perubahan dari sisi kriteria ataupun fasilitas S&DT yang diberikan.

 

Perubahan ketiga adalah masalah transparansi dan pemantauan kebijakan perdagangan negara anggota. Ini dua fitur penting dalam peran WTO yang sayangnya masih belum dapat dipenuhi secara baik oleh negara-negara anggota. Perubahan keempat diusulkan juga pada aspek terkait proses dan mekanisme penyelesaian sengketa perdagangan, yang sering dianggap terlalu panjang dan memakan banyak sumber daya.

 

Selain keempat aspek ini, banyak area lain yang diusulkan oleh negara anggota, tetapi condong terkait aspek aturan perdagangan, bukan prinsip-prinsip sistem perdagangan itu sendiri. Saat ini proposal yang ada lebih banyak dari negara maju. Negara berkembang cenderung tak setuju atau tidak mempunyai pendapat. Ini dapat dimengerti karena mungkin banyak dari aspek reformasi itu akan merugikan negara berkembang, seperti dalam hal S&DT.

 

Negara berkembang sendiri sebaiknya aktif dalam menyuarakan reformasi ini. Beberapa agenda usulan bahkan dapat menguntungkan negara berkembang. Contohnya, kriteria dan status negara berkembang. Jika kriteria itu dapat dirumuskan secara sederhana, banyak negara berpenghasilan tinggi yang tak lagi memerlukan status itu. Status ini bisa diberikan kepada negara berkembang yang ”sebenarnya” sehingga fasilitas bisa dapat dimanfaatkan mereka secara lebih optimal.

 

Negara berkembang juga dapat aktif memberikan proposal terhadap berbagai aspek yang terkait pengembangan WTO untuk memperluas aspek pembangunan dari WTO.

 

Sebagai salah satu negara berkembang penting, Indonesia juga dapat lebih aktif mendukung reformasi itu. Dalam berbagai fora internasional, seperti G-20, Indonesia telah mendorong proses reformasi WTO, termasuk di KTT di Arab Saudi. Indonesia juga bisa mendorong agar pembicaraan mengenai reformasi menjadi agenda resmi WTO dan menggunakan kesempatan Konferensi Tingkat Menteri Ke-12 untuk mendorong agenda itu.

 

Tentu saja Indonesia perlu merumuskan posisi strategis terkait reformasi ini jika dapat dibicarakan secara resmi di WTO. Sekali lagi, beberapa perubahan dan perbaikan WTO sangat diperlukan agar WTO bisa menjalankan fungsinya dalam mendorong integrasi ekonomi, memantau kebijakan dan aturan perdagangan, serta membantu penyelesaian sengketa.

 

Keberhasilan WTO akan jadi kunci dalam membentuk tata kelola ekonomi dunia yang lebih utuh dan tak terfragmentasi, yang dibutuhkan di masa perubahan pascakrisis ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar