Rabu, 24 Maret 2021

 

Bulog dan Polemik Impor Beras

 Lely Pelitasari Soebekty  ;  Wakil Ketua Ombudsman RI 2016-2021, Mantan Direktur Perum Bulog

                                                        KOMPAS, 23 Maret 2021

 

 

                                                           

Polemik impor beras biasanya menempatkan Perum Bulog sebagai aktor utama. Padahal, dengan pendekatan trigger impor, keputusan impor ditentukan regulator berdasarkan tiga indikator: surplus/kenaikan produksi padi, harga beras medium, dan stok beras di Bulog.

 

Seperti rencana impor beras yang telanjur dipublikasi pemerintah dan menimbulkan polemik. Tampaknya pemerintah hanya melihat stok beras di Bulog sebagai faktor penentu. Ini membuat Bulog seperti menghadapi dilema, antara terus melakukan penyerapan gabah/beras dan kekhawatiran beras tidak dapat disalurkan atau dijual.

 

Situasi ini berpotensi merugikan dan menurunkan kualitas layanan. Karena itu, setidaknya ada dua persoalan terkait Bulog yang perlu segera diselesaikan pemerintah.

 

Penyelesaian stok lama

 

Memasuki minggu ketiga Maret 2021, stok di Bulog tercatat 850.000 ton. Lebih dari 300.000 ton di antaranya merupakan beras stok lama, hasil pembelian dalam negeri ataupun eks impor tahun 2018.

 

Kualitas berasnya sudah menurun. Bukan seluruhnya kesalahan Bulog yang tidak bisa menyalurkan, melainkan juga akibat kebijakan pemerintah yang mengubah program raskin/rastra menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) tanpa menyertakan Bulog secara mandatory di dalamnya.

 

Pengurangan outlet raskin 250.000 ton per bulan menjadi outlet ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) yang hanya sekitar 70.000 ton meninggalkan persoalan besar berupa stok yang menumpuk tak tersalurkan.

 

Bulog tidak kreatif menjual secara komersial? Bisa jadi. Faktanya rambu-rambu untuk melakukan jual-beli secara komersial beras hasil pengadaan dalam negeri juga masih cenderung menghambat Bulog sebagai pelaku pasar komersial.

 

Ada beberapa langkah yang dapat diambil pemerintah untuk menyelesaikan masalah stok lama ini, di antaranya melanjutkan audit stok dan mengidentifikasi alternatif tindak lanjutnya. Alternatif disusun berdasarkan pemetaan kualitas. Sebagai contoh, berapa jumlah beras yang masih dapat dikonsumsi masyarakat, berapa yang diolah menjadi pakan, dan berapa yang terpaksa harus dibuang.

 

Akan ada kerugian jangka pendek dan harus diakui sebagai risiko pelayanan publik. Hasil audit juga menjadi dasar penetapan jumlah disposal stock. Karena itu, audit stok ini harus dilakukan oleh otoritas dengan pengawasan lembaga-lembaga berwenang.

 

Butuh komitmen dan kesepakatan tingkat strategis (high level agreement), baik keluaran maupun tenggat penyelesaian. Setidaknya perlu keputusan presiden yang menugaskan Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Keuangan untuk mengawal proses.

 

Jika ini dilakukan dengan landasan persepsi yang sama dan komitmen penuh semua pihak, kebijakan disposal stock semestinya dapat segera dieksekusi. Lamanya proses persetujuan terhadap 20.000 ton beras yang diusulkan sebagai disposal stock pada 2019 adalah cermin adanya hambatan pada tingkat koordinasi.

 

Termasuk kekhawatiran adanya sanksi hukum terhadap para penanggung jawab di level administratif. Karena itu, perlu dijamin penyelesaian stok ini memang dilakukan dengan terobosan yang tak biasa dan memberi perlindungan hukum kepada para eksekutornya.

 

Analoginya, jika untuk kerugian nasabah asuransi pemerintah siap menyuntikkan dana triliunan rupiah, apalagi untuk kepentingan publik yang lebih besar. Masyarakat konsumen beras dan petani padi jumlahnya jauh lebih besar dan signifikan memengaruhi indikator ekonomi lainnya.

 

Kebijakan disposal stock ibarat pemutusan mata rantai kerugian jangka panjang yang lebih besar. Dengan demikian, Bulog akan dibuat ”nol-nol” sehingga pemerintah bisa menuntut kinerja pengadaan gabah/beras Bulog lebih tinggi karena kewajiban pemerintah telah ditunaikan.

 

Fleksibilitas beli-jual

 

Asumsikan harga pembelian pemerintah (HPP) beras sebesar Rp 8.300 per kilogram masih dinilai memadai. Demikian juga harga eceran tertinggi (HET) beras medium Rp 9.450 sampai Rp 10.250 per kilogram dinilai masih cukup adil bagi konsumen. Namun, dalam upaya menyerap produksi petani dan mengamankan stok, pemerintah dapat menerbitkan aturan bagi Bulog untuk membeli gabah/beras dengan harga fleksibel. Kebijakan ini pernah dilakukan tahun 2011.

 

Harga pasar mungkin akan mengalami eskalasi dengan risiko inflasi lebih tinggi. Biaya pembelian beras akan lebih besar. Namun, apa bedanya dengan pembelian beras impor? Meskipun biayanya lebih murah, ongkos politiknya juga besar.

 

Kebijakan tahun 2011 dengan menerapkan harga pembelian secara fleksibel memberi pelajaran bahwa Bulog harus berperan menjadi penentu harga dan pasar. Caranya, antara lain, dengan memastikan pengendalian mutu gabah/beras yang masuk gudang dengan penerapan standar kualitas secara ketat.

 

Langkah manajemen Bulog dengan menambah komponen kualitas sebagai syarat pembelian beras patut diapresiasi. Jika kebijakan ini konsisten, Bulog berpeluang kembali menjadi pemain utama beras dan pemerintah juga akan memiliki cadangan beras yang cukup dengan kualitas baik.

 

Bulog juga perlu fleksibilitas dalam menjual, terlebih jika pemerintah tidak memberi jaminan saluran yang bersifat reguler/captive dengan jumlah signifikan. Fleksibilitas ini hanya perlu satu rambu sebagai konsekuensi pelayanan publik, yakni beras harus selalu tersedia kapan pun, di mana pun, dan berapa pun saat dibutuhkan.

 

Model bisnis seperti ini lazim diterapkan di Pertamina dan juga dalam pengelolaan jalan tol. Jadi, secara penghitungan atau mekanisme keuangan maupun proses bisnisnya sangat memungkinkan diterapkan.

 

Penyelesaian dua persoalan substantif ini harus diikuti perbaikan tata kelola dan akuntabilitas Bulog serta didukung upaya pemerintah menjaga psikologi pasar dan mengelola komunikasi publik. Ini juga penting untuk membangun persepsi bahwa pemerintah paham dan punya cukup informasi sebelum memutuskan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar