Bulog
dan Polemik Impor Beras Lely Pelitasari Soebekty ; Wakil Ketua Ombudsman RI 2016-2021,
Mantan Direktur Perum Bulog |
KOMPAS,
23 Maret
2021
Polemik impor beras biasanya menempatkan
Perum Bulog sebagai aktor utama. Padahal, dengan pendekatan trigger impor,
keputusan impor ditentukan regulator berdasarkan tiga indikator:
surplus/kenaikan produksi padi, harga beras medium, dan stok beras di Bulog. Seperti rencana impor beras yang telanjur
dipublikasi pemerintah dan menimbulkan polemik. Tampaknya pemerintah hanya
melihat stok beras di Bulog sebagai faktor penentu. Ini membuat Bulog seperti
menghadapi dilema, antara terus melakukan penyerapan gabah/beras dan
kekhawatiran beras tidak dapat disalurkan atau dijual. Situasi ini berpotensi merugikan dan
menurunkan kualitas layanan. Karena itu, setidaknya ada dua persoalan terkait
Bulog yang perlu segera diselesaikan pemerintah. Penyelesaian
stok lama Memasuki minggu ketiga Maret 2021, stok di
Bulog tercatat 850.000 ton. Lebih dari 300.000 ton di antaranya merupakan
beras stok lama, hasil pembelian dalam negeri ataupun eks impor tahun 2018. Kualitas berasnya sudah menurun. Bukan
seluruhnya kesalahan Bulog yang tidak bisa menyalurkan, melainkan juga akibat
kebijakan pemerintah yang mengubah program raskin/rastra menjadi bantuan
pangan nontunai (BPNT) tanpa menyertakan Bulog secara mandatory di dalamnya. Pengurangan outlet raskin 250.000 ton per
bulan menjadi outlet ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga (KPSH) yang
hanya sekitar 70.000 ton meninggalkan persoalan besar berupa stok yang
menumpuk tak tersalurkan. Bulog tidak kreatif menjual secara
komersial? Bisa jadi. Faktanya rambu-rambu untuk melakukan jual-beli secara
komersial beras hasil pengadaan dalam negeri juga masih cenderung menghambat
Bulog sebagai pelaku pasar komersial. Ada beberapa langkah yang dapat diambil
pemerintah untuk menyelesaikan masalah stok lama ini, di antaranya
melanjutkan audit stok dan mengidentifikasi alternatif tindak lanjutnya.
Alternatif disusun berdasarkan pemetaan kualitas. Sebagai contoh, berapa
jumlah beras yang masih dapat dikonsumsi masyarakat, berapa yang diolah
menjadi pakan, dan berapa yang terpaksa harus dibuang. Akan ada kerugian jangka pendek dan harus
diakui sebagai risiko pelayanan publik. Hasil audit juga menjadi dasar
penetapan jumlah disposal stock. Karena itu, audit stok ini harus dilakukan
oleh otoritas dengan pengawasan lembaga-lembaga berwenang. Butuh komitmen dan kesepakatan tingkat
strategis (high level agreement), baik keluaran maupun tenggat penyelesaian.
Setidaknya perlu keputusan presiden yang menugaskan Kementerian Perdagangan,
Kementerian Pertanian, dan Kementerian Keuangan untuk mengawal proses. Jika ini dilakukan dengan landasan persepsi
yang sama dan komitmen penuh semua pihak, kebijakan disposal stock semestinya
dapat segera dieksekusi. Lamanya proses persetujuan terhadap 20.000 ton beras
yang diusulkan sebagai disposal stock pada 2019 adalah cermin adanya hambatan
pada tingkat koordinasi. Termasuk kekhawatiran adanya sanksi hukum
terhadap para penanggung jawab di level administratif. Karena itu, perlu
dijamin penyelesaian stok ini memang dilakukan dengan terobosan yang tak
biasa dan memberi perlindungan hukum kepada para eksekutornya. Analoginya, jika untuk kerugian nasabah
asuransi pemerintah siap menyuntikkan dana triliunan rupiah, apalagi untuk
kepentingan publik yang lebih besar. Masyarakat konsumen beras dan petani
padi jumlahnya jauh lebih besar dan signifikan memengaruhi indikator ekonomi
lainnya. Kebijakan disposal stock ibarat pemutusan
mata rantai kerugian jangka panjang yang lebih besar. Dengan demikian, Bulog
akan dibuat ”nol-nol” sehingga pemerintah bisa menuntut kinerja pengadaan
gabah/beras Bulog lebih tinggi karena kewajiban pemerintah telah ditunaikan. Fleksibilitas
beli-jual Asumsikan harga pembelian pemerintah (HPP)
beras sebesar Rp 8.300 per kilogram masih dinilai memadai. Demikian juga
harga eceran tertinggi (HET) beras medium Rp 9.450 sampai Rp 10.250 per
kilogram dinilai masih cukup adil bagi konsumen. Namun, dalam upaya menyerap
produksi petani dan mengamankan stok, pemerintah dapat menerbitkan aturan
bagi Bulog untuk membeli gabah/beras dengan harga fleksibel. Kebijakan ini
pernah dilakukan tahun 2011. Harga pasar mungkin akan mengalami eskalasi
dengan risiko inflasi lebih tinggi. Biaya pembelian beras akan lebih besar.
Namun, apa bedanya dengan pembelian beras impor? Meskipun biayanya lebih
murah, ongkos politiknya juga besar. Kebijakan tahun 2011 dengan menerapkan
harga pembelian secara fleksibel memberi pelajaran bahwa Bulog harus berperan
menjadi penentu harga dan pasar. Caranya, antara lain, dengan memastikan
pengendalian mutu gabah/beras yang masuk gudang dengan penerapan standar
kualitas secara ketat. Langkah manajemen Bulog dengan menambah
komponen kualitas sebagai syarat pembelian beras patut diapresiasi. Jika
kebijakan ini konsisten, Bulog berpeluang kembali menjadi pemain utama beras
dan pemerintah juga akan memiliki cadangan beras yang cukup dengan kualitas
baik. Bulog juga perlu fleksibilitas dalam
menjual, terlebih jika pemerintah tidak memberi jaminan saluran yang bersifat
reguler/captive dengan jumlah signifikan. Fleksibilitas ini hanya perlu satu
rambu sebagai konsekuensi pelayanan publik, yakni beras harus selalu tersedia
kapan pun, di mana pun, dan berapa pun saat dibutuhkan. Model bisnis seperti ini lazim diterapkan
di Pertamina dan juga dalam pengelolaan jalan tol. Jadi, secara penghitungan
atau mekanisme keuangan maupun proses bisnisnya sangat memungkinkan
diterapkan. Penyelesaian dua persoalan substantif ini
harus diikuti perbaikan tata kelola dan akuntabilitas Bulog serta didukung
upaya pemerintah menjaga psikologi pasar dan mengelola komunikasi publik. Ini
juga penting untuk membangun persepsi bahwa pemerintah paham dan punya cukup
informasi sebelum memutuskan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar