Minggu, 28 Maret 2021

 

Kok Mau, Sih?

 Samuel Mulia ;  Penulis kolom “Parodi” Kompas Minggu

                                                        KOMPAS, 28 Maret 2021

 

 

                                                           

Saya membaca di sebuah media sosial seorang wanita muda menjelaskan cerita sebuah partai politik dengan para anggota yang tergabung di dalamnya di negeri ini. Salah satu komen yang saya baca begini bunyinya. ”Kok mau digoblokin?”

 

Lidah tak bertulang

 

Setelah membaca komentar itu, saya mengatakan komentar yang sama. Namun, beberapa detik setelah berpikir demikian, saya malu sendiri. Lahhh… saya kok ya mau digoblokin dengan apa yang sekarang saya percayai? Apa pun itu. Mau partai politik yang saya yakini, mau presiden yang saya anggap baik, mau aliran agama, mau pilihan pasangan, mau pilihan profesi, dan sebagainya.

 

Kok mau sih dipercaya? Kok mau sih pacaran sama orang kayak gitu? Kok mau sih pilih kerjaan yang kayak kerja rodi gitu? Kok mau sih bantuin orang di pelosok? Kan enakan di kota segala fasilitas ada. Kenapa bodoh banget mau nyusahin diri? Akan ada sejuta ”kok mau sih” yang saya dapat keluarkan dari mulut dengan lidahnya tak bertulang ini.

 

Teman saya baru putus dari pasangannya setelah kira-kira menjalin hubungan selama 14 tahunan. Membuat cerita asmara ini menjadi singkat, pasangannya itu tenyata sorang penipu. Seorang teman dari teman saya itu bercerita, kalau teman saya itu sudah seperti ATM berjalan buat pasangan penipunya itu. Tentu mulut saya yang tak sekolah tinggi ini langsung berkomentar persis seperti komentar di atas. ”Kok mau sih digblokin?”

 

”Kok mau sih” itu sebuah ungkapan spontan yang menghakimi, yang menurut tingkat kepandaian saya yang di bawah rata-rata ini, lahir karena ada cerita di balik apa yang didengar atau dibaca seseorang, yang menurut pendapatnya sangat tidak masuk akal.

 

Jauh di lubuk hati saya yang terdalam, saya ini kok percaya kalau rekan usaha saya atau bekas direktur keuangan saya yang superpandai atau klien saya, berkomentar seperti komentar di atas tadi, melihat bodohnya saya soal hitung menghitung.

 

Mungkin mereka akan mengatakan kok bisa sih ada orang sebodoh ini. Dikasih tahu enggak ngerti-ngerti. Bahkan, salah satu klien saya pernah berkomentar yang saya dengar dari orang lain, kalau saya tuh cuma hebat namanya, tapi enggak hebat cara kerjanya. Kok ada sih yang mau kerja sama, sama Samuel Mulia.

 

Hakim agung

 

Setiap manusia memiliki sebuah perjalanan hidup yang saya tahu, Anda juga sudah tahu, hanya saja acap kali tak mau tahu. Berbeda-beda. Meski Anda dan saya sudah tahu, komentar menghakimi itu tetap saja meluncur dengan kencang seperti mobil di jalan bebas hambatan. Sampai acap kali, saya suka lupa bahwa perjalanan hidup saya tak lebih baik dari orang lain.

 

Pengalaman hidup itulah yang membuat seseorang memiliki cara berpikir yang berbeda dari saya. Belum lagi melihat perbedaan tingkat intelektual, emosional, dan spiritualnya. Saya dulu berpikir kok bisa sih ya ada orang berselingkuh tanpa rasa bersalah dan terbang untuk sebuah kencan ke luar kota. Lha wong saya ini naik kapal terbang saja takutnya setengah mati kalau sampai jatuh, bagaimana mereka yang berselingkuh bisa tenang-tenang saja?

 

Nah, yang selingkuh mungkin akan berpikir, kok ada ya orang sebodoh itu, takut naik kapal terbang. Otaknya di mana ya? Atau saya juga tak habis berpikir kok bisa sih ada orang mau jadi pilot atau pramugari atau pramugara.

 

Setiap hari deg-degan di atas 36.000 kaki belum lagi kalau musim hujan sedang menggila. Kemudian pilot dan kru pesawat itu bisa jadi akan berpikir, kok ada orang mau dibodohin sama otaknya sendiri ya?

 

Jadi, saya berpikir, komentar sarkastis itu adalah sebuah wujud dari ketidakdewasaan saya melihat seseorang dengan situasinya. Saya tahu kalau orang berbeda-beda dalam cara melihat kehidupan, tetapi saya tak mau mengerti. Saya cuma tahu, tapi tak mau tahu lebih dalam. Itu mengapa komentar sarkastis itu mengandung penghakiman.

 

Saya merasa bahwa hidup saya jauh lebih baik dari mereka. Kepercayaan saya lebih baik dari kepercayaan orang lain. Cara hidup saya jauh lebih baik dari orang lain. Cara saya menentukan pilihan jauh lebih baik dari pilihan mereka, dan seterusnya, dan seterusnya.

 

Pada waktu saya melihat seseorang memutuskan untuk mengganti kelamin dan melihatnya begitu berbahagia, saya belajar sesuatu. Saya tak bisa dengan mudah meluncurkan komentar sarkastis itu. Saya bukan hakim agung.

 

Seharusnya saya selalu mengingatkan diri untuk menjadi manusia yang rajin mengasah toleransi, dan meningkatkan keinginan untuk mau tahu lebih dalam, agar melahirkan pengertian dan hati yang lebih terbuka untuk mencegah datangnya penghakiman.

 

Mungkin, kalau saya dapat mencapai tahapan itu, hidup saya dan orang lain jauh lebih membahagiakan. Langkah awal yang mungkin bisa Anda dan saya lakukan adalah berhenti berkomentar ”Kok mau sih?” atau ”Kok bisa, sih?” dan sejuta ”kok” lainnya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar