Kamis, 25 Maret 2021

 

Anemia dalam Taktik Biden tentang China (1)

 Simon Saragih ;  Wartawan Senior Kompas

                                                        KOMPAS, 24 Maret 2021

 

 

                                                           

Pengantar redaksi : Diplomasi AS di bawah Presiden Joe Biden terhadap China mengandalkan kekuatan dan sekutu. Diplomasi AS juga diwarnai arogansi, gaya menggurui. Saat taktik ini diterapkan terhadap China sekarang, jawabannya adalah perlawanan, khususnya jika AS mengusik kedaulatan wilayah dan hak-hak China. Mengapa demikian, dan bagaimana solusi terhadap relasi dunia negara utama di dunia yang relatif panas itu? Berikut ulasannya dalam dua rangkaian tulisan.

 

Politik luar negeri menjadi salah satu isu yang menentukan popularitas presiden AS. Akan tetapi, politik luar negeri itu hanya menarik jika AS sedang berperang. AS tidak sedang berperang secara konvensional. Relasi AS dengan China juga tidak masuk kategori penting sebagai penentu kemenangan pemilu AS 2020. Demikian dikatakan Profesor John Mark Hansen dari University of Chicago pada 7 Oktober 2020 saat memaparkan analisisnya tentang pemilu 2020 di hadapan para alumni universitas itu.

 

AS dan China malah menjadi dua kekuatan ekonomi yang saling memakmurkan. AS tertolong secara ekonomi, antara lain, karena China membeli satu triliun dollar AS lebih obligasi terbitan pemerintah setiap tahun. Konsumen AS tertolong dengan produk murah dari China. Korporasi AS tertolong dengan penjualan di pasar China. Tentu, China juga tertolong ketika AS menjadi pasar utama bagi produk ekspor di awal reformasi ekonomi hingga sekarang. China dan AS, dua kekuatan yang saling melengkapi. Ini fakta yang tidak terbantahkan.

 

Oleh sebab itu, dari tahun ke tahun Presiden China Xi Jinping hingga pejabat dan pakar China selalu berseru, China-AS memiliki kesempatan hidup berdampingan dan saling berbagi. Pernyataan konstan ini terus diajukan merespons sikap bermusuhan dari AS terhadap China.

 

Sikap permusuhan dari AS inilah juga yang menjadi pemikiran dua pakar tentang AS-China, bagaimana agar relasi bilateral berkembang baik. Dua pakar itu adalah Kenneth Lieberthal dari The Brookings Institution (AS) dan Wang Jisi, Presiden Institute of International and Strategic Studies, Peking University (China). Pada Maret 2012 mereka berduet menuliskan kiat agar relasi AS-China langgeng dan menjauh dari konflik.

 

Diskusi dan komunikasi di antara dua negara adalah saran penting dari mereka. Dua pakar ini melanjutkan, jika cekcok bilateral tetap terjadi, mininal kedua negara tetap bersedia berpikir ulang dan berpikir keras, kiat apa lagi kiranya yang bisa membuat dua negara menuju titik temu.

 

Namun, amat disayangkan, waktu berjalan, hubungan pemerintahan kedua negara tidak juga lebih baik, demikian Wang Jisi menuliskan lagi pada 11 Maret 2021 dengan judul ”The Understanding Gap” di situs Chinausfocus.com.

 

Jebakan Thucydides

 

Mengapa AS-China terus-menerus menunjukkan situasi bermusuhan, terutama dari pihak AS? Wang menuliskan, memang dalam politik dan relasi internasional, sebagaimana halnya dalam relasi pribadi, sulit ditemukan sikap saling percaya dan menerima. Wang melanjutkan, di dalam negeri AS saja terjadi sikap saling curiga di antara Partai Demokrat dan Republikan, bagaimana pula AS bisa memercayai China begitu saja.

 

”Jebakan Thucydides” kembali menjadi teori dasar yang paling bisa menjelaskan pertikaian tak berkesudahan AS-China dan bahkan semakin sengit itu. Kekuatan lama (AS) merasa tertantang dan tidak rela dengan kehadiran penantang baru. Hal ini secara refleks memunculkan perlawanan terhadap penantang baru (China). Inilah bagian dari ”jebakan Thucydides”.

 

Teori tentang ”jebakan Thucydides” ini tergambar juga dari hasil jajak pendapat Pew Center (Most Americans Support Tough Stance Toward China on Human Rights, Economic Issues | Pew Research Center). Jika respondennya adalah kaum Republikan, segala hal tentang China adalah keburukan, ketidakpercayaan, ancaman, dan ketidakbecusan. Donald Trump dari Republikan memainkan isu ini secara brutal. Tiada hentinya Trump menekan China sebab pendukungnya senang jika China ditekan.

 

Hanya, ketika ditanyakan seluruh elemen warga AS, mayoritas (55 persen) mengatakan bahwa China adalah pesaing. Hanya sebanyak 34 persen responden yang menyebutkan China adalah musuh dan 9 persen menyatakan China adalah mitra. Ada optimisme, sebab mayoritas warga AS tidak melihat China sebagai musuh.

 

Namun, persoalannya, kata Wang Jisi, bagaimana agar kelompok yang menilai China sebagai musuh, tidak bertambah, apalagi jika opini mereka sampai menimbulkan perang. Jajak pendapat yang dilakukan Pew Center memperlihatkan peningkatan persentase warga AS yang melihat China sebagai musuh.

 

Mengapa demikian? Padahal, di sisi lain China sudah berkali-kali menepis agar AS membuang saja teori tentang ”jebakan Thucydides”, bahwa China tidak bermaksud menantang AS. Dubes China untuk AS, Cui Tiankai, sudah berkali-kali mengingatkan itu.

 

Mengikuti populisme Trump

 

Nah, persoalan baru adalah fenomena tentang munculnya pemimpin oportunis dengan memanfaatkan isu populis, seperti Trump. Ada sekelompok warga yang sedang menggerutu tentang takdirnya dan menginginkan jalan pintas untuk mengakhiri persoalan walau tidak ada sebenarnya solusi yang tepat bagi krisis hidupnya.

 

Pada saat bersamaan, rasa nasionalisme di AS sedang bergelora, meski tidak mayoritas yang bersikap demikian. Donald Trump dengan jargon-jargon populis anti-china telah membuai sebagian warga AS yang memilihnya. Trump menjanjikan China harus dicap sebagai pemanipulasi kurs renminbi untuk keuntungan ekspor ke AS. Trump juga menjanjikan, China akan dihukum dengan tarif impor jika tidak menuruti aturan main dalam perdagangan internasional. Trump menjanjikan, China harus menghentikan pencurian tekonologi AS.

 

Salah satu tujuan dari jargon-jargon Trump terkait China adalah mengembalikan investasi global dari China ke AS. Sebab menurut Trump, lewat isu yang dia pelintir, China telah merampas hak pekerja AS. Tentu AS juga menyerang China dari segi isu genosida di Xinjiang, demokrasi di Hong Kong, Taiwan, kebebasan navigasi di Laut China Selatan dan masih banyak lagi isu lainnya.

 

Kemenangan Trump pada Pemilu 2016 memunculkan jejeran teknokrat dan secara ekstrem membenci China. Mereka, antara lain, adalah Peter Navarro seorang penasihat perdagangan bagi Trump, Kepala Perwakilan Dagang AS Roberth Lighthizer, Penasihat Keamanan Nasional John R Bolton. Kelompok supremasi kulit putih, yang juga pendukung kuat Trump, ada di balik kebencian terhadap China. Logis atau tidak logis, pokoknya para teknokrat ekstrem dan populis ini tiada hentinya menekan China.

 

Pada tingkat tertentu, Biden juga terjebak pada populisme, yang dia ucapkan dalam debat menjelang pemilu November 2020. Biden juga melanjutkan kebijakan Trump, yang agresif terhadap China, ketimbang mengikuti arah kebijakan Presiden Obama. Tambahan pula, Biden melakukan ini di tengah tuduhan kaum Republikan bahwa Biden terlalu lemah terhadap China.

 

Biden turut terseret sentimen domestik anti-China warisan Trump. Ini destruktif dan menyulitkan Biden menjalankan kebijakan secara independen. Posisi dari Partai Demokrat, penyebar demokratisasi ke seluruh dunia, menjadi beban tambahan bagi Biden. Di atas semua itu, intinya adalah isu China di AS adalah isu populis, melupakan sisi positif yang begitu banyak di antara AS dan China.

 

”Politik populisme akan tertakdir gagal,” kata Andrew Moravcsik dari Princeton University pada konferensi tentang keamanan di Praha, Ceko, 2017. Moravcsik menjelaskan mengapa jargon dan politik populis gagal. Jargon populis hanya memenuhi aspirasi orang yang sedang kecewa, sedang menggerutu. Program populisme tidak memiliki legitimasi serta berhadapan dengan kepentingan mayoritas warga yang rasional dan tidak terjebak perangkap populisme.

 

Hak dan kedaulatan China

 

Program populisme tidak realistis bahkan dari sisi AS itu sendiri. Perusahaan-perusahaan AS, terutama bidang teknologi, menemukan pasar China sebagai sumber keuntungan atas jerih payah mereka di bidang inovasi. ”AS melakukan inovasi tetapi penjualannya ada di pasar China,” kata seorang konsultan dan pakar AS tentang perekonomian China, Deborah Lehr.

 

Ada banyak pihak di AS yang melihat China sebagai mitra. Kelompok ini menjadi pihak yang membenci kebijakan populis Trump. Hal seperti inilah yang membuat program populis sulit dijalankan, demikian Moravcsik mengingatkan.

 

Unsur populisme yang gagal itu juga berhadapan dengan China yang menekankan hak, kedaulatan negara dan martabat bangsa. Bagi China, adalah hak mereka untuk mengembangkan perekonomian, mengembangkan teknologi, inovasi, apa pun tuduhan AS soal pencurian teknologi. Adalah hak China mempertahankan kedaulatan wilayah. Adalah hak China mempertahankan karakter kediktatoran sosialis, jika dikaitkan dengan isu Xinjiang, Hong Kong, Taiwan.

 

Bagi China adalah martabat dan kedaulatan atas segala isu yang terkait dengan Laut China Selatan, Senkaku (Diaoyu). Mengapa pula AS harus sibuk mengurusi wilayah sekitar China, yang menjadi hak China, sementara China tidak sibuk mengurusi wilayah Benua Amerika, demikian seorang kolonel China, Zhou Bo, yang juga menjadi think-tank di Center for International Strategy and Security, Tsinghua University (CGTN, 11 Maret 2021). Lebih bagus China bernegosiasi dengan negara-negara terlibat sengketa wilayah, demikian selalu kemauan China.

 

Sementara AS sulit menerima kenyataan bahwa China kuat. Biden sulit bersikap mandiri seperti Obama dan malah melanjutkan sikap benci pada China, mengikuti Trump, setidaknya demikian di permukaan. Oleh sebab itu, Konsulat Jenderal China di Los Angeles, Zhang Ping mengatakan, butuh nyali dari sisi AS untuk menyadari situasi itu. Dalam arti, butuh nyali bagi pemangku jabatan di AS untuk menyadari sikap anti-China, sementara China selalu menegaskan tidak akan mundur pada tekanan AS. (Baca tulisan bersambung berikutnya berjudul ”Utusan Biden dan Xi Beradu Kata-Kata ’Pahit’” di Alaska).

 

Jika Biden terus melanjutkan cara Trump, tampaknya akan tertakdir gagal. AS mengalami anemia dalam politik domestik yang diwarnai perpecahan dan kebijakan internasional. Karena anemia, AS gencar mengajak negara sekitar berkoalisi. Hanya saja AS tidak akan mampu menghadapi China sendirian. Akan tetapi, Victor Cha, pejabat pada era Presiden George W Bush, ragu juga dengan kekuatan koalisi AS. AS itu dikenal sangat sepihak dalam bernegosiasi dengan negara-negara sekutunya, dan meremehkan opini negara lain, menurut Cha, seperti dikutip harian The New York Times, 14 Maret 2021.

 

Pakar soal China dari Australia, Hugh White, yang juga profesor di Australian National University mengutarakan opininya. Secara militer, kata White, sulit bagi AS menaklukan China di kawasan dekat China. Tentu China sejauh ini tidak memiliki kekuatan jika pertarungan terjadi di luar wilayah China. Akan tetapi, China memang fokus pada dirinya dan ekspansi non-militer ke seberang. China, menurut White, memiliki kekuatan yang melampaui Kekaisaran Jerman, Nazi Jerman, Jepang, dan Uni Soviet yang pernah ditaklukkan oleh AS.

 

Demikian juga pendapat Paul Kennedy dari Yale University, secara militer dan ekonomi, AS yang sudah didera utang besar, sulit membayangkan AS bisa menaklukkan China. Presiden The Asia Society Kevin Rudd menyatakan, waktu sedang berpihak pada China soal kekuatan ekonomi dan militer.

 

Namun, John Mearsheimer dari University of Chicago menyatakan meski kekuatan AS menipis sekalipun, gangguan terhadap China dari sisi AS akan terus ada. Bagi Mearsheimer, AS masih sangat perkasa. Masih banyak warga di AS yang berpandangan serupa.

 

Sementara itu, memerangi China yang memberikan kemakmuran global, bukan ekspansionis seperti kekuatan-kekuatan sebelumnya, adalah hal yang sulit dilakukan oleh AS. Sulit bagi AS berkoalisi kuat dengan banyak negara berbasiskan tuduhan-tuduhan tak terlalu valid terhadap China. Tentu ada ketakutan, seperti dicuatkan AS, China sekarang dan kelak kemudian hari akan memakai kekuatan ekonomi untuk menekan negara-negara.

 

Bahwa kelak, jika China semakin kuat, tidak tertutup kemungkinan menekan seluruh dunia. Jika ini juga terjadi kelak, dunia tidak heran sebab sudah mengalami perlakuan AS yang seperti itu, seperti Perang Irak berdalilkan demokrasi dan hak asasi manusia.

 

AS mungkin bisa mencoba resep dari China, berupa ajakan berdiskusi bukan berkonfrontasi dan membuangkan teori jebakan Thucydides. Obama melakukannya. Pelik, tetapi menarik untuk diamati setidaknya hingga empat tahun ke depan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar