Senin, 22 Maret 2021

 

Panggung Depan

 Budiman Tanuredjo  ;  Wartawan Senior Kompas

                                                        KOMPAS, 20 Maret 2021

 

 

                                                           

Sabtu sore, 13 Maret 2021, seusai menyepi di Rumah Petruk dan Taman Yakoban di kawasan Kaliurang, Yogyakarta, saya mendapat kiriman tautan berita dari sahabat saya. Isinya pernyataan politik Ketua MPR (1999-2004) Amien Rais soal ada upaya rezim memperpanjang masa jabatan Presiden menjadi tiga periode. Caranya melalui Sidang Istimewa MPR untuk mengubah satu pasal dalam konstitusi. ”Menarik dipantau,” tulisnya.

 

Ada yang setuju, ada yang tidak setuju. Yang setuju antara lain Arief Poyuono, politisi Gerindra, yang mengatakan, 85 persen masyarakat setuju jika masa jabatan Presiden Joko Widodo diperpanjang menjadi tiga periode. Namun, banyak yang tidak setuju.

 

Senin, 15 Maret 2021, Presiden Jokowi merespons. ”Bolak-balik sikap saya enggak berubah. Saya tegaskan, saya tidak ada niat dan tidak berminat menjadi presiden tiga periode.” Pada 2 Desember 2020 ketika isu perpanjangan masa jabatan tiga periode merebak, Presiden Jokowi merespons menolak dengan alasan usulan itu untuk menampar muka, mencari muka, atau menjerumuskan.

 

Pernyataan elite politik itu mengingatkan fragmen sejarah ketika Ketua DPR/MPR Harmoko menyampaikan, ada ”aspirasi” rakyat yang menghendaki Presiden Soeharto dicalonkan kembali sebagai presiden ketujuh. Soeharto, yang sebelumnya enggan dengan sejumlah alasan, terbujuk dan terpilih lagi. Saat membentuk kabinet, Soeharto mengangkat putrinya, Siti Hardijanti Rukmana, sebagai Menteri Sosial. Gelombang unjuk rasa terjadi. 18 Mei 1998, Harmoko meminta Soeharto mundur. Kekuasaan Orde Baru berakhir. Harmoko ikut tenggelam.

 

Politik punya dua panggung, panggung depan dan belakang. Yang dikatakan dan yang dikerjakan. Panggung depan adalah panggung pernyataan politik yang tidak harus seratus persen dipercaya. Namun, operator politik bekerja di panggung belakang. Mereka bernegosiasi di kamar gelap kekuasaan untuk mendapat kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, atau menambah kekuasaan.

 

Kekuasaan itu memesona (fascinosum) dan menggetarkan (tremendum). Nikmatnya berada dalam lingkar kekuasaan membuat penguasa, mengutip Niccolo Machiaveli, berusaha mempertahankan kekuasaan dan memperluas kekuasaannya.

 

Jejak politik Presiden Jokowi menarik. Presiden Jokowi adalah sosok yang belum pernah kalah dalam kontestasi politik. Mulai dari kontestasi di Solo 2005-2010, lalu terpilih lagi dalam periode 2010-2015 dengan kemenangan 90,05 persen bersama FX Rudi Hadiyatmo sebagai Wakil Wali Kota. Belum tuntas di Solo, Jokowi bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ikut Pilkada Jakarta 2012-2017. Jokowi meninggalkan Solo. Mobil Esemka ikut memopulerkan namanya. Dan, pasangan Jokowi-Ahok menang di Jakarta.

 

Model kepemimpinan Presiden Jokowi adalah kepemimpinan populis. Saat menjadi Gubernur Jakarta, godaan kekuasaan lebih tinggi sebagai presiden disodorkan kepadanya. Jokowi merespons, ”Ora mikir… ora mikir.” Bahasa politiknya lugas dan mudah dicerna.

 

Namun, fakta politiknya, Jokowi bersama Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden mengalahkan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Bahkan, Jokowi mendapatkan perpanjangan mandat kekuasaan melalui Pemilu 2019 bersama Wapres Ma’ruf Amin dan mengalahkan pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.

 

Langkah politik yang tidak biasa diambil dengan merekrut rivalnya dalam pemilu presiden, Prabowo, sebagai Menteri Pertahanan, kemudian Sandiaga sebagai Menteri Pariwisata. Pendulum kursi parlemen berpindah. Pendukung pemerintahan menjadi mayoritas di parlemen. Langkah politik dekonstruksi atau ”rekonsiliasi elite” atau ”pembagian kepentingan elite” seiring dengan pameo politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik selain kepentingan.

 

Dengan kekuasaan mayoritas, revisi UU KPK dilakukan, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang juga ditolak sebagian publik bisa digolkan. Niat politisi DPR merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada bisa dicegah dengan alasan pandemi.

 

Konsekuensinya, tahun 2022-2024 separuh dari gubernur akan berada di tangan Jakarta. Melalui jalur demokrasi, putra dan menantu Presiden terpilih menjadi Wali Kota Solo dan Medan.

 

Apakah amendemen konstitusi masa jabatan presiden tiga periode bisa terjadi? Secara matematika politik bisa. Syarat mengajukan perubahan konstitusi membutuhkan pengajuan tertulis sepertiga anggota MPR. Artinya, butuh 237 anggota MPR. Jumlah itu bisa dipenuhi anggota DPR pendukung pemerintah yang berjumlah 427 orang.

 

Untuk mengubah pasal dalam UUD, Sidang MPR harus dihadiri 2/3 anggota MPR, yakni 477 anggota MPR. Adapun putusan mengubah UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan 50 persen ditambah satu anggota MPR. Artinya, dibutuhkan 356 anggota MPR.

 

Namun, jika ditengok dari sisi kepentingan, butuh perjuangan meyakinkan ketua umum parpol untuk mengubah masa jabatan presiden. Ketua umum parpol sudah punya ancang-ancang dalam kontestasi politik 2024. Ada kandidat capres terkuat, yakni Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto; ada yang sudah didorong maju, seperti Ketua Umum Airlangga Hartarto; ada juga yang sudah muncul dalam radar survei, seperti Erick Thohir dan Sandiaga Uno. Sejumlah gubernur juga muncul dalam radar survei, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil.

 

Politik adalah permainan panggung. Panggung depan yang tampak di muka publik dan panggung belakang yang penuh misteri. Namun, idealnya, kekuasaan seharusnya didedikasikan untuk kepentingan publik (bonum commune). Kekuasaan terpusat sebenarnya bisa dipakai menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu atau mengegolkan UU Omnibus Law Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan prinsip pembuktian terbalik dan perampasan aset. Kalau itu bisa diwujudkan, sejarah mencatat itulah legacy lain dari Presiden Jokowi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar