Panggung
Depan Budiman Tanuredjo ; Wartawan Senior Kompas |
KOMPAS,
20 Maret
2021
Sabtu sore, 13 Maret 2021, seusai menyepi
di Rumah Petruk dan Taman Yakoban di kawasan Kaliurang, Yogyakarta, saya
mendapat kiriman tautan berita dari sahabat saya. Isinya pernyataan politik
Ketua MPR (1999-2004) Amien Rais soal ada upaya rezim memperpanjang masa
jabatan Presiden menjadi tiga periode. Caranya melalui Sidang Istimewa MPR
untuk mengubah satu pasal dalam konstitusi. ”Menarik dipantau,” tulisnya. Ada yang setuju, ada yang tidak setuju.
Yang setuju antara lain Arief Poyuono, politisi Gerindra, yang mengatakan, 85
persen masyarakat setuju jika masa jabatan Presiden Joko Widodo diperpanjang
menjadi tiga periode. Namun, banyak yang tidak setuju. Senin, 15 Maret 2021, Presiden Jokowi
merespons. ”Bolak-balik sikap saya enggak berubah. Saya tegaskan, saya tidak
ada niat dan tidak berminat menjadi presiden tiga periode.” Pada 2 Desember
2020 ketika isu perpanjangan masa jabatan tiga periode merebak, Presiden
Jokowi merespons menolak dengan alasan usulan itu untuk menampar muka,
mencari muka, atau menjerumuskan. Pernyataan elite politik itu mengingatkan
fragmen sejarah ketika Ketua DPR/MPR Harmoko menyampaikan, ada ”aspirasi”
rakyat yang menghendaki Presiden Soeharto dicalonkan kembali sebagai presiden
ketujuh. Soeharto, yang sebelumnya enggan dengan sejumlah alasan, terbujuk
dan terpilih lagi. Saat membentuk kabinet, Soeharto mengangkat putrinya, Siti
Hardijanti Rukmana, sebagai Menteri Sosial. Gelombang unjuk rasa terjadi. 18
Mei 1998, Harmoko meminta Soeharto mundur. Kekuasaan Orde Baru berakhir.
Harmoko ikut tenggelam. Politik punya dua panggung, panggung depan
dan belakang. Yang dikatakan dan yang dikerjakan. Panggung depan adalah
panggung pernyataan politik yang tidak harus seratus persen dipercaya. Namun,
operator politik bekerja di panggung belakang. Mereka bernegosiasi di kamar
gelap kekuasaan untuk mendapat kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, atau
menambah kekuasaan. Kekuasaan itu memesona (fascinosum) dan
menggetarkan (tremendum). Nikmatnya berada dalam lingkar kekuasaan membuat
penguasa, mengutip Niccolo Machiaveli, berusaha mempertahankan kekuasaan dan
memperluas kekuasaannya. Jejak politik Presiden Jokowi menarik.
Presiden Jokowi adalah sosok yang belum pernah kalah dalam kontestasi
politik. Mulai dari kontestasi di Solo 2005-2010, lalu terpilih lagi dalam
periode 2010-2015 dengan kemenangan 90,05 persen bersama FX Rudi Hadiyatmo
sebagai Wakil Wali Kota. Belum tuntas di Solo, Jokowi bersama Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) ikut Pilkada Jakarta 2012-2017. Jokowi meninggalkan Solo.
Mobil Esemka ikut memopulerkan namanya. Dan, pasangan Jokowi-Ahok menang di
Jakarta. Model kepemimpinan Presiden Jokowi adalah
kepemimpinan populis. Saat menjadi Gubernur Jakarta, godaan kekuasaan lebih
tinggi sebagai presiden disodorkan kepadanya. Jokowi merespons, ”Ora mikir…
ora mikir.” Bahasa politiknya lugas dan mudah dicerna. Namun, fakta politiknya, Jokowi bersama
Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden mengalahkan Prabowo Subianto-Hatta
Rajasa. Bahkan, Jokowi mendapatkan perpanjangan mandat kekuasaan melalui
Pemilu 2019 bersama Wapres Ma’ruf Amin dan mengalahkan pasangan
Prabowo-Sandiaga Uno. Langkah politik yang tidak biasa diambil
dengan merekrut rivalnya dalam pemilu presiden, Prabowo, sebagai Menteri
Pertahanan, kemudian Sandiaga sebagai Menteri Pariwisata. Pendulum kursi
parlemen berpindah. Pendukung pemerintahan menjadi mayoritas di parlemen. Langkah
politik dekonstruksi atau ”rekonsiliasi elite” atau ”pembagian kepentingan
elite” seiring dengan pameo politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi
dalam politik selain kepentingan. Dengan kekuasaan mayoritas, revisi UU KPK
dilakukan, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang juga ditolak sebagian publik bisa
digolkan. Niat politisi DPR merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada bisa dicegah
dengan alasan pandemi. Konsekuensinya, tahun 2022-2024 separuh
dari gubernur akan berada di tangan Jakarta. Melalui jalur demokrasi, putra
dan menantu Presiden terpilih menjadi Wali Kota Solo dan Medan. Apakah amendemen konstitusi masa jabatan
presiden tiga periode bisa terjadi? Secara matematika politik bisa. Syarat
mengajukan perubahan konstitusi membutuhkan pengajuan tertulis sepertiga
anggota MPR. Artinya, butuh 237 anggota MPR. Jumlah itu bisa dipenuhi anggota
DPR pendukung pemerintah yang berjumlah 427 orang. Untuk mengubah pasal dalam UUD, Sidang MPR
harus dihadiri 2/3 anggota MPR, yakni 477 anggota MPR. Adapun putusan mengubah
UUD 1945 dilakukan dengan persetujuan 50 persen ditambah satu anggota MPR.
Artinya, dibutuhkan 356 anggota MPR. Namun, jika ditengok dari sisi kepentingan,
butuh perjuangan meyakinkan ketua umum parpol untuk mengubah masa jabatan
presiden. Ketua umum parpol sudah punya ancang-ancang dalam kontestasi
politik 2024. Ada kandidat capres terkuat, yakni Ketua Umum Gerindra Prabowo
Subianto; ada yang sudah didorong maju, seperti Ketua Umum Airlangga
Hartarto; ada juga yang sudah muncul dalam radar survei, seperti Erick Thohir
dan Sandiaga Uno. Sejumlah gubernur juga muncul dalam radar survei, seperti
Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil. Politik adalah permainan panggung. Panggung
depan yang tampak di muka publik dan panggung belakang yang penuh misteri.
Namun, idealnya, kekuasaan seharusnya didedikasikan untuk kepentingan publik
(bonum commune). Kekuasaan terpusat sebenarnya bisa dipakai menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM masa lalu atau mengegolkan UU Omnibus Law Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dengan prinsip pembuktian terbalik dan perampasan aset.
Kalau itu bisa diwujudkan, sejarah mencatat itulah legacy lain dari Presiden
Jokowi. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar