Rabu, 17 Maret 2021

 

Kudeta Diri Demokrasi Myanmar

 Rene L Pattiradjawane  ;  Ketua Centre for Chinese Studies-Indonesia dan Associate Fellow di Habibie Center

                                                        KOMPAS, 17 Maret 2021

 

 

                                                           

Apa sebenarnya yang terjadi di Myanmar? Peristiwa mengambil alih kekuasaan dan menahan elite politik Myanmar, termasuk Daw Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint, menghadirkan krisis politik domestik serius yang bisa berdampak pada lingkungan regional Asia Tenggara.

 

Kenapa dengan kewenangan istimewa yang diberikan dalam konstitusi Myanmar, militer harus melakukan kudeta? Bukannya Jenderal Senior Min Aung Hlaing bagian dari pemerintahan yang menguasai departemen-departemen strategis sekaligus panglima angkatan bersenjata di negara tersebut?

 

Tak ada yang tahu alasan di balik penangkapan para pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) itu. Dalam enam halaman surat Hlaing ke PM Thailand Jenderal Prayut Chan-o-cha—yang juga merebut kekuasaan melalui kudeta kejutan pada Mei 2014—ada sembilan alasan mengapa pemilu Myanmar November 2020 dianggap tak bebas dan adil.

 

Menurut Hlaing, Tatmadaw telah mengikuti norma-norma demokrasi dan menyalahkan (Union Election Commission/UEC) dan NLD atas kegagalan membuat data akhir publik dari penghitungan pemilih. Surat itu juga menekankan, militerlah yang mengarahkan negara menuju transisi demokrasi setelah menyusun konstitusi 2008, yang mengarah pada perkembangan demokrasi saat ini.

 

Penguasa rezim kudeta ini mengutip banyak bukti termasuk dugaan daftar pemilih yang curang sebanyak 10.482.116 suara. Tatmadaw, katanya, secara konsisten mengangkat masalah kecurangan ini dengan UEC, tapi diabaikan. Tatmadaw tak keberatan dengan hasil pemilu November, tetapi interaksi dengan UEC dan pemerintahan telah menimbulkan gesekan.

 

Surat itu diakhiri dengan seruan dukungan ”fisik dan intelektual” dari Thailand untuk upaya Tatmadaw memperkuat proses demokrasi. Penggunaan terminologi ”fisik dan intelektual” memang lazim digunakan di lingkungan negara mayoritas pemeluk Buddhisme, sebagai konsepsi tata krama meminta dukungan sepenuhnya dari PM Prayut. Mungkin Tatmadaw merasa perlu meniru yang dilakukan Prayut melakukan kudeta, mengadakan pemilu, dan memenanginya di Thailand.

 

Kudeta diri

 

Penjelasan Hlaing tak mengindikasikan secara tepat alasan melakukan kudeta atas pemerintah yang masih berkuasa, di mana Tatmadaw adalah bagian dengan kekuasaan mutlak di tangan Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar. Fenomena ini disebut ”kudeta diri,” mengacu pada negara-negara kediktatoran militer di Amerika Latin yang dalam bahasa Spanyol disebut autogolpe.

 

Autogolpe adalah istilah di mana pejabat eksekutif meningkatkan atau mempertahankan kekuasaan dengan membalikkan hasil pemilu atau secara tak konstitusional memusnahkan kekuasaan cabang pemerintahan lainnya.

 

Bagi mereka yang mendefinisikan demokrasi dalam pengertian pemilu yang bebas dan adil, autogolpe merupakan penyimpangan sementara dari pemerintahan demokratis.

 

Autogolpe akan meninggalkan warisan yang lama dan bermasalah. Autogolpe mengancam kualitas musyawarah demokrasi dengan memperluas ruang lingkup penyalahgunaan kekuasaan eksekutif dan menggoyahkan mekanisme koreksi diri yang melekat dalam sistem bagi berfungsinya checks and balances. Autogolpe membuat pemerintah diselimuti kerahasiaan, tak bertanggung jawab ke publik, tahan terhadap kritik.

 

Kalau benar dugaan apa yang dilakukan Hlaing adalah autogolpe, maka kondisi di Myanmar adalah negara berkembang hibrida yang ambigu dan tak stabil. Cirinya, pemimpin yang populer, efektif, terpilih dua kali, memenangi referendum tentang reformasi konstitusi dan, hingga saat ini, mempertahankan popularitas yang tinggi.

 

Di Myanmar, gambaran ini nyata ketika Suu Kyi bekerja sama dengan Tatmadaw dalam kasus Rohingya, dan menjadi populer di dalam negeri, didukung kelompok Buddhis nasionalis. Wajah lainnya adalah terbentuknya pemerintah dalam pemerintahan yang rahasia dan korup yang beroperasi di atas hukum dan menolak pertanggungjawaban atas tindakannya.

 

Ambiguitas posisi penguasa berasal dari keterlibatan eksekutif dalam ilegalitas dan ketidakadilan, terpaksa bersembunyi di balik selubung kerahasiaan, dan penguasanya terjebak antara pemerasan pribadi dan skandal publik.

 

Utusan khusus

 

Dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan ASEAN? Apakah pertemuan informal para menlu ASEAN bisa mempertahankan sentralitas organisasi ini? Apakah waktunya bagi ASEAN memberlakukan sanksi atas anggotanya, bertindak tak sesuai dengan Piagam Bangkok 1967 yang menyebutkan esensi terpenting berdirinya organisasi ini untuk tak mencampuri urusan dalam negeri negara lain?

 

Ini yang selama hampir lebih dari lima dekade jadi hambatan bagi ASEAN bertindak atas negara anggotanya ketika terjadi pelanggaran hak asasi atau pelecehan atas pelaksanaan demokrasi secara terbuka dan adil. Tuduhan Hlaing dan Tatmadaw tentang pemilu yang tidak adil dan bebas bukan sesuatu yang baru dalam proses demokrasi di mana pun.

 

Ada dua pilihan. Pertama, meminta Thailand melalui PM Prayut melakukan pendekatan dan membuka pembicaraan dengan para petinggi dan penguasa Tatmadaw maupun kelompok NLD. Tanpa pembukaan dialog dengan Tatmadaw, berdasarkan berbagai preseden sebelumnya, penyelesaian persoalan krisis demokrasi dan hak asasi di Myanmar bergeming, termasuk upaya mengenakan sanksi berat oleh dunia internasional.

 

Sebaiknya, ASEAN memberikan mandat kepada Thailand membuka dialog dan mendengarkan solusi terbaik yang diharapkan berbagai pihak, sekaligus meredam tekanan internasional yang juga akan sulit diterapkan karena pandemi.

 

Kedua, dalam posisi ASEAN tak bisa mengambil keputusan, Indonesia seperti praktik diplomasi masa lalu perlu mengirim utusan khusus mencari jalan berbicara dengan pihak-pihak bertikai, khususnya Hlaing dan Suu Kyi. Presiden Jokowi bisa mengutus mantan Menlu Marty Natalegawa karena kedekatan dan kekerabatannya dengan Suu Kyi ataupun para penguasa Tatmadaw.

 

Inisiatif ini nantinya bisa dijadikan pegangan meningkatkan kesempatan ditunjuknya utusan khusus di tingkat ASEAN. Menunggu ASEAN mengambil keputusan meredam krisis politik Myanmar akan menyebabkan bentrokan antara pengunjuk rasa dan junta jadi tak terkendali, meluasnya pembangkangan sipil akan terlalu berdarah dengan korban jiwa meluas.

 

Persoalan Myanmar bukan sekadar ikon kesatuan dan sentralitas ASEAN atau membela Suu Kyi yang memenangi pemilu. Krisis Myanmar adalah persoalan keadilan dan kesejahteraan Asia Tenggara. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar