Perlu
Komitmen Anggaran untuk Kesetaraan Jender Eva Kusuma Sundari ; Direktur Institut Sarinah dan anggota Komisi XI 2014-2019 |
KOMPAS,
12 Maret
2021
Peringatan Hari Perempuan Internasional 8
Maret 2021 mengangkat tema ”Kepemimpinan Perempuan untuk Mewujudkan Masa
Depan yang Kerkesetaraan di Masa Covid-19”. Ini sebuah mimpi di siang hari
jika tanpa disertai dukungan sekaligus APBN, APBD, dan APBDesa yang didesain
secara konsisten untuk mengurangi kesenjangan jender. Proses pemiskinan terhadap perempuan yang
menyebabkan akses, partisipasi, kontrol terhadap sumberdaya tidak seleluasa
laki-laki harus diakhiri, sehingga laki-laki dan perempuan sama-sama
sejahtera. Penyusunan anggaran yang responsif terhadap
kesetaraan jender merupakan strategi paling efektif mengubah ketidakadilan
ini karena APBN yang netral jender sebenarnya penyebab melebarnya kesenjangan
jender, termasuk respons pemerintah dalam menangani pandemi dan pemulihan ekonomi
masyarakat. Banyak riset menyimpulkan bahwa pandemi
mengakibatkan kesenjangan ekonomi antara penduduk kaya dan miskin melebar
secara luar biasa (Oxfam 2021). Di Indonesia, kemiskinan diperkirakan
melonjak ke angka 12,4 persen, bertambah 3,2 persen dari September 2019.
Artinya, ada tambahan 8,5 juta orang miskin baru yang 60 persennya adalah
perempuan (SMERU 2021). Kelompok perempuan terlempar menjadi
pengangguran karena berada di sektor-sektor ekonomi yang paling dulu dihantam
pandemi. Sektor pengolahan sumber daya alam, pariwisata, pelayanan rekreatif,
pendidikan, kesehatan, pengecer yang dilarang beroperasi telah menyebabkan
jutaan perempuan mendadak menganggur atau terkena PHK. Ironisnya, harga komoditas-komoditas
tambang terutama emas, komoditas pertanian, dan rokok justru naik setelah PHK
massal walaupun para pengusahanya diberikan bantuan usaha, subsidi,
keringanan bahkan pembebasan pajak. Tidak aneh jika di masa pandemi, populasi
super kaya di Indonesia justru naik 67 persen di saat orang miskin bertambah
8,5 juta orang. Para ibu yang ”dirumahkan” menerima beban
berlipat karena kebijakan sekolah dan kerja dari rumah. Angka KDRT dan
kehamilan yang meningkat signifikan merupakan dampak pandemi terhadap
perempuan. Beruntung 300 juta ibu rumah tangga di India mendapat bantuan
sosial transferan uang dari pemerintahnya agar mereka terlindungi dan bisa
melindungi keluarganya dari dampak negatif pandemi. Di Indonesia, ketika angka KDRT, kehamilan
para ibu RT, drop out para siswi naik drastis, dana-dana untuk Unit Pelayanan
Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTPPA) di pemprov dan pemda juga
ikut dikurangi secara drastis. Sebaliknya, di Filipina, dana Kemenkes
ditambah termasuk untuk membekali paramedis agar bisa memberikan konseling
mental masyarakat akibat dampak pandemi. Perempuan adalah kelompok masyarakat yang
paling terpukul sehingga paling membutuhkan perlindungan sosial yang
eksklusif. Hal ini bagian dari pemberdayaan yang sifatnya investasi karena
meningkatkan produktivitas yang kelak memampukan mereka berpartisipasi di
dunia kerja sehingga dapat mengurangi kesenjangan jender di ekonomi. Kesenjangan jender Indonesia buruk sekali,
berada di peringkat 85 dari 149 negara, Filipina menempati ranking 8 (World
Economic Forum 2018). Kesenjangan jender adalah faktor penentu utama untuk
memenuhi target-target SDGs, efektivitas upaya pengurangan kemiskinan bahkan
faktor penting yang berkontribusi pada tingkat pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan jender ini terbukti menyumbang
percepatan laju memburuknya kesenjangan ekonomi sebagaimana ditemukan oleh
Oxfam (https://www.oxfam.org/en/inequality-indonesia-millions-kept-poverty).
Kesenjangan ekonomi di Indonesia saat ini terburuk di ASEAN dan terburuk ke-6
di dunia. Empat orang terkaya kita hartanya setara dengan harta 100 juta
penduduk termiskin. Strategi terbaik untuk mengentaskan rakyat
miskin sekaligus memperbaiki pemerataan ekonomi adalah mengurangi kesenjangan
jender dan mewujudkan kesetaraan jender. Karena itu, APBN 2021 harus didesain
untuk Pro Kesetaraan Jender. APBN
untuk kesetaraan jender Pandemi Covid-19 yang memperburuk
kesenjangan ekonomi dan kesenjangan jender harus dijadikan peluang untuk
menciptakan kesetaraan jender. Komitmen moral untuk mendesain APBN agar pro
poor dan pro gender equality sudah kita dengar sejak 20 tahun lalu tetapi
kondisi kesenjangan ekonomi dan jender justru semakin melebar. Banyak juklak-juklis sudah disediakan oleh
Kemenkeu dan Bappenas agar perencanaan dan penganggaran pembangunan agar
responsif jender, tetapi alat-alat itu tidak dioperasionalisasikan oleh para
perencana di kementrian dan lembaga. Para teknokrat masih terjebak di
rutinitas anggaran-anggaran sebelumnya, tidak progresif, tidak ada inovasi
sehingga APBN tidak berdampak pada pengurangan kesenjangan jender dan
ekonomi. Kinerja perencanaan dan penganggaran oleh
pemerintah daerah setali tiga uang. Konsep Pengarusutamaan Jender (PUG) saja
tidak dipahami oleh para elit perencana daerah sementara ASN yang paham
tentang PUG biasanya bereselon rendah sehingga tidak dilibatkan dalam tim
penyusunan perencanaan dan pengganggarannya. Pada Januari 2020, Mendagri sebenarnya
sudah mengeluarkan SE No 812 dan 813 berupa nomenklatur baru di APB Propinsi
dan Daerah untuk penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak tetapi
tidak direspon dengan baik oleh daerah. Ini menunjukkan kebutuhan pelatihan
bagi perencana daerah terkait penyusunan anggaran berbasis kinerja terutama
untuk kepentingan kesetaraan jender. Meski demikian, beberapa Bupati sudah
melakukan terobosan dengan menyelenggarakan Musrenbang khusus perempuan dan
kelompok disabilitas untuk memastikan aspirasi perempuan terakomodasi di
RAPBD. Di Kabupaten Trenggalek, Lombok Timur dan terakhir di Bojonegoro pada
tahun ini telah menyelenggarakan musrenbang tersebut. Bagaimana memastikan APBN/APBD/APBDesa yang
responsif untuk kesetaraan jender? Pertama, harus ada alokasi anggaran yang
khusus untuk perempuan atau kelompok minoritas lain karena kebutuhan khusus
mereka. Perlu ada tambahan bantuan sosial dalam program perlindungan sosial
karena proporsi pengeluaran untuk Perlindungan Sosial terhadap GDP kita
terendah di dunia (OECD Library). Perlindungan sosial ini bukan saja untuk
tujuan pemerataan, tetapi sebenarnya investasi sumber daya perempuan. Bansos
uang tunai khusus untuk para ibu RT, pendirian pusat krisis untuk kesehatan
reproduksi dan KDRT, pendirian penitipan anak di pasar tradisional dan
pabrik, beasiswa untuk pelajar putri adalah pengeluaran yang akan berdampak
pada peningkatan parfisipasi perempuan di sektor publik. Pengeluaran khusus ini juga harus ada di
program-program nonperlindungan sosial. Paket pendidikan dan ketrampilan di
bidang teknologi misalnya, perlu dibuat khusus untuk kelompok perempuan
mengingat kesenjangan jender di sektor ini sangat lebar, padahal kita
memasuki perekonomian digital. Data-data juga menunjukkan bahwa perempuan
jauh tertinggal di sektor pendidikan, peluang ekonomi, keamanan, politik
sehingga perlu ada program khusus untuk perempuan untuk mempercepat
pengurangan ketimpangan jender di sektor-sektor tersebut. Indonesia juga
menempati posisi terendah (setara dengan Myanmar) di ASEAN untuk jumlah
perempuan di posisi manajemen. Dalam konteks ini, beberapa RUU yang
mendukung kesetaraan jender, seperti RUU PKS (Penghalusan Kekerasan Seksual),
PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), maupun RUU Kesetaraan Jender harus
menjadi prioritas pula dalam Prolegnas 2021. Ada tendensi untuk memposisikan
RUU-RUU untuk kesetaraan jender saling bersaing atau saling meniadakan
padahal ketiganya adalah saling melengkapi karena tujuannya sama. Kedua, semua pengeluaran lainnya harus
dipastikan 30 persen penerima manfaatnya adalah kelompok perempuan. Strategi
ini untuk menggenapi strategi pertama dengan tujuan mempercepat terwujudnya
kesetaraan jender. Keduanya harus dilakukan bersamaan sehingga slogan ”no one
will be left behind” dari pembangunan inklusif dapat dibuktikan karena
perempuan adalah 50 persen dari populasi. Kita berharap Kaukus Perempuan Parlemen
(KPPRI) mengambil peran kepemimpinan dalam mengubah Politik RAPBN 2021 (dan
seterusnya) agar Pro Kesetaraan Jender. Perempuan sebagai korban kesenjangan
jender (sehingga diberikan kuota dalam pencalegan) diharapkan memiliki
militansi dalam memperjuangkan perubahan untuk memperbaiki nasibnya. Sudah banyak politisi perempuan yang duduk
di pimpinan komisi di DPR sehingga perubahan politik anggaran untuk mendukung
kesetaraan jender itu sangat mungkin diwujudkan. Apalagi, pihak pemerintah
terutama Menkeu dan Menteri Bappenas sangat terbuka terhadap aspirasi para
anggota DPR yang bertujuan meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas APBN
sebagai alat transformasi sosial menuju Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat
Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar