Membangun
Pariwisata Berbasis Komunitas dan Berkelanjutan Wihana Kirana Jaya ; Guru Besar FEB UGM, Staf Khusus
Menteri Perhubungan |
KOMPAS,
04 Maret
2021
Ketika perekonomian membaik, semua
partisipan memperoleh manfaatnya. Hal ini diibaratkan dengan ”a rising tide
lifts all boats”, satu idiom yang dipopulerkan setengah abad silam oleh
Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. Dampak pandemi Covid-19 setahun
terakhir bak tsunami yang menjungkirbalikkan dan mengandaskan banyak kapal
dan perahu, ”a falling tide shrinks all boats!”. Akan tetapi, vaksinasi yang efektif akan
kembali mendorong gelombang perekonomian untuk pasang naik kembali. ”Rising
tide” sebagai fenomena alam dan ”rising tide” sebagai perumpamaan untuk
kebijakan ekonomi tidaklah persis sama. Pertumbuhan tak otomatis disertai
pemerataan dan kemakmuran bersama (shared prosperity). Faktor ”ketidaksempurnaan pasar” dalam
sistem pasar bebas membawa implikasi perlunya intervensi pemerintah. Dalam
persepsi The General Theory oleh Keynes, tak ada mekanisme ”self-regulating”
yang inheren pada model persaingan sempurna sebab terdapat friksi, rigiditas,
dan imperfeksi yang dapat mengganggu mekanisme tersebut. Pariwisata secara umum ataupun secara
khusus berbasis pusaka budaya (cultural heritage) atau berbasis budaya dan
pusaka (cultural and heritage) menjadi salah satu alat untuk pengembangan
ekonomi. Dari lima kawasan strategis pariwisata
nasional (KSPN) super-prioritas yang dikembangkan secara masif sebagai
andalan baru di luar Bali, satu di antaranya terkait dengan pusaka budaya,
yakni Borobudur, dan dua lainnya ”natural heritage”, yakni Labuan Bajo dan
Danau Toba, sementara Likupang mengandalkan ekoturisme dan Mandalika turisme
olahraga. Borobudur dan Taman Nasional Komodo
berstatus situs pusaka dunia (world heritage) UNESCO sejak 1991, dan Danau
Toba situs global geopark sejak 2019. Kebijakan pembangunan ekonomi perlu
mengadopsi prinsip-prinsip inclusive growth, yakni pertumbuhan yang
terdistribusi secara adil di masyarakat, termasuk kelompok
rentan/terpinggirkan. Pertumbuhan inklusif dan perekonomian
inklusif sejalan dengan prinsip-prinsip democratic economy, yakni ekonomi
oleh, dari, dan untuk the many, bukan the few, sesuai tulisan Kelly dan
Howard dalam buku The Making of Democratic Economy, Building Prosperity for
the Many, Not Just the Few (2019). Inklusif Pengembangan KSPN superprioritas dapat jadi
test case, bagaimana membangun ekonomi yang lifts all boats. Penetapan cagar
budaya Borobudur sebagai salah satu KSPN superprioritas, misalnya, membawa
dampak luas bagi daerah Joglosemar (Jogyakarta-Solo-Semarang) dan memberikan
manfaat bagi banyak pihak. Kelompok pertama yang memperoleh manfaat
adalah para kontraktor, pemasok bahan bangunan, dan pemilik lahan yang
dibebaskan untuk proyek infrastruktur atau kawasan bisnis/wisata.
Beroperasinya bandara internasional baru, Yogyakarta International Airport
(YIA), akan disusul dengan pembangunan aerocity dan jalan jalur ”Bedah Menoreh”
menuju kawasan Borobudur. Selain itu, rencana reaktivasi jaringan rel
kereta api Semarang-Magelang-Yogyakarta (jalur lama) dan disambung lagi dari
Magelang ke Borobudur, dan pengembangan jalan tol ruas Semarang-Bawen serta
ruas tol layang Yogyakarta-Solo. Jika dua ruas tol ini selesai dibangun,
akan terbentuk jalan tol ”lingkar Joglosemar’ yang akan menghubungkan
berbagai simpul penting, yakni beberapa bandara internasional, kota, dan
kawasan wisata dalam lingkup Joglosemar, Kawasan Industri Terpadu (KIT)
Batang, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal. Pengembangan KSPN Borobudur melibatkan
ratusan hektar lahan di tiga wilayah kabupaten, Magelang, Kulon Progo, dan
Purworejo. Para pemilik lahan yang dibebaskan atau diganti ”untung” termasuk
kelompok pertama. Namun, tak diharapkan justru spekulan (mafia) yang mengeruk
untung dari pembebasan lahan itu. Lahan negara pun dapat jadi sasaran para
”mafia” ini. Contohnya kasus dugaan korupsi jual beli lahan negara di Labuan
Bajo senilai Rp 3 triliun baru-baru ini dalam pengembangan KSPN TN Komodo. Kelompok berikutnya, para investor yang
memperoleh peluang bisnis. Pembangunan dan operasionalisasi YIA, pengembangan
Bandara Internasional Ahmad Yani (Semarang), dan Adisumarmo (Solo) adalah
bentuk investasi karena terdapat potensi pendapatan untuk cost recovery.
Demikian pula pembangunan jalan tol ruas Semarang-Bawen dan jalan tol layang
Solo-Yogyakarta. Pihak swasta memperoleh peluang untuk
berinvestasi dalam penyediaan fasilitas dan amenitas, meliputi akomodasi
(hotel berbintang, resor, dan fasilitas MICE), katering, perjalanan wisata,
lapangan golf, glamping (glamorus camping), hiburan, kafe, dan lainnya.
Pengembangan aerocity YIA juga jadi peluang bagi para investor. Kelompok selanjutnya, komunitas lokal yang
sejatinya inti dari pariwisata inklusif dan mewakili the many. Komunitas
lokal memperoleh peluang untuk bekerja dan/atau berusaha, termasuk melalui
program aksi pemberdayaan komunitas lokal di sekitar kawasan wisata,
khususnya dengan pola pariwisata berbasis komunitas. Penerapan model ”balkondes” sejak beberapa
tahun lalu sebelum pandemi dan difasilitasi sejumlah BUMN di 20 desa sekitar
Borobudur memberikan peluang komunitas lokal untuk bekerja dan berusaha dalam
bisnis akomodasi (homestay), katering, kuliner, industri kreatif, atraksi
budaya, dan lainnya. Dengan CBT, tak hanya pemilik lahan,
kontraktor, pemasok bahan bangunan, dan investor besar yang dapat menikmati
pengembangan KSPN, tetapi juga komunitas-komunitas lokal. Konsep ”balkondes”
mungkin juga diterapkan pada KSPN lain, disertai dengan standar layanan dan
kode etik CBT. Berkelanjutan Untuk kawasan wisata yang sekaligus jadi
”situs warisan dunia”, seperti Borobudur dan TN Komodo, status KSPN
superprioritas tak seyogianya diposisikan lebih penting daripada statusnya
sebagai kawasan konservasi. Ini demi mempertahankan keberadaannya hingga
generasi mendatang. Selain penerapan konsep carrying capacity
yang membatasi jumlah pengunjung per satuan waktu, model luxury tourism
sebagai salah satu segmen pasar untuk KSPN Borobudur dan TN Komodo sangat
layak, baik dari perspektif konservasi maupun ekonomi. Koeksistensi antara
mass tourism dan luxury tourism perlu dikelola dengan baik. Fenomena overturisme dan dampak negatifnya
perlu diwaspadai. Kasus penutupan pantai Maya Bay Thailand sejak 2018 akibat
overturisme dan dampak negatifnya jadi pelajaran berharga. Pantai dan terumbu
karang yang rusak masih mungkin dipulihkan. Namun, jika Borobudur dan spesies
komodo punah, dunia kehilangan selamanya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar