Jumat, 05 Maret 2021

 

Membangun Pariwisata Berbasis Komunitas dan Berkelanjutan

 Wihana Kirana Jaya ; Guru Besar FEB UGM, Staf Khusus Menteri Perhubungan

                                                        KOMPAS, 04 Maret 2021

 

 

                                                           

Ketika perekonomian membaik, semua partisipan memperoleh manfaatnya. Hal ini diibaratkan dengan ”a rising tide lifts all boats”, satu idiom yang dipopulerkan setengah abad silam oleh Presiden Amerika Serikat John F Kennedy. Dampak pandemi Covid-19 setahun terakhir bak tsunami yang menjungkirbalikkan dan mengandaskan banyak kapal dan perahu, ”a falling tide shrinks all boats!”.

 

Akan tetapi, vaksinasi yang efektif akan kembali mendorong gelombang perekonomian untuk pasang naik kembali. ”Rising tide” sebagai fenomena alam dan ”rising tide” sebagai perumpamaan untuk kebijakan ekonomi tidaklah persis sama. Pertumbuhan tak otomatis disertai pemerataan dan kemakmuran bersama (shared prosperity).

 

Faktor ”ketidaksempurnaan pasar” dalam sistem pasar bebas membawa implikasi perlunya intervensi pemerintah. Dalam persepsi The General Theory oleh Keynes, tak ada mekanisme ”self-regulating” yang inheren pada model persaingan sempurna sebab terdapat friksi, rigiditas, dan imperfeksi yang dapat mengganggu mekanisme tersebut.

 

Pariwisata secara umum ataupun secara khusus berbasis pusaka budaya (cultural heritage) atau berbasis budaya dan pusaka (cultural and heritage) menjadi salah satu alat untuk pengembangan ekonomi.

 

Dari lima kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) super-prioritas yang dikembangkan secara masif sebagai andalan baru di luar Bali, satu di antaranya terkait dengan pusaka budaya, yakni Borobudur, dan dua lainnya ”natural heritage”, yakni Labuan Bajo dan Danau Toba, sementara Likupang mengandalkan ekoturisme dan Mandalika turisme olahraga.

 

Borobudur dan Taman Nasional Komodo berstatus situs pusaka dunia (world heritage) UNESCO sejak 1991, dan Danau Toba situs global geopark sejak 2019.

 

Kebijakan pembangunan ekonomi perlu mengadopsi prinsip-prinsip inclusive growth, yakni pertumbuhan yang terdistribusi secara adil di masyarakat, termasuk kelompok rentan/terpinggirkan.

 

Pertumbuhan inklusif dan perekonomian inklusif sejalan dengan prinsip-prinsip democratic economy, yakni ekonomi oleh, dari, dan untuk the many, bukan the few, sesuai tulisan Kelly dan Howard dalam buku The Making of Democratic Economy, Building Prosperity for the Many, Not Just the Few (2019).

 

Inklusif

 

Pengembangan KSPN superprioritas dapat jadi test case, bagaimana membangun ekonomi yang lifts all boats. Penetapan cagar budaya Borobudur sebagai salah satu KSPN superprioritas, misalnya, membawa dampak luas bagi daerah Joglosemar (Jogyakarta-Solo-Semarang) dan memberikan manfaat bagi banyak pihak.

 

Kelompok pertama yang memperoleh manfaat adalah para kontraktor, pemasok bahan bangunan, dan pemilik lahan yang dibebaskan untuk proyek infrastruktur atau kawasan bisnis/wisata. Beroperasinya bandara internasional baru, Yogyakarta International Airport (YIA), akan disusul dengan pembangunan aerocity dan jalan jalur ”Bedah Menoreh” menuju kawasan Borobudur.

 

Selain itu, rencana reaktivasi jaringan rel kereta api Semarang-Magelang-Yogyakarta (jalur lama) dan disambung lagi dari Magelang ke Borobudur, dan pengembangan jalan tol ruas Semarang-Bawen serta ruas tol layang Yogyakarta-Solo.

 

Jika dua ruas tol ini selesai dibangun, akan terbentuk jalan tol ”lingkar Joglosemar’ yang akan menghubungkan berbagai simpul penting, yakni beberapa bandara internasional, kota, dan kawasan wisata dalam lingkup Joglosemar, Kawasan Industri Terpadu (KIT) Batang, dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal.

 

Pengembangan KSPN Borobudur melibatkan ratusan hektar lahan di tiga wilayah kabupaten, Magelang, Kulon Progo, dan Purworejo. Para pemilik lahan yang dibebaskan atau diganti ”untung” termasuk kelompok pertama. Namun, tak diharapkan justru spekulan (mafia) yang mengeruk untung dari pembebasan lahan itu.

 

Lahan negara pun dapat jadi sasaran para ”mafia” ini. Contohnya kasus dugaan korupsi jual beli lahan negara di Labuan Bajo senilai Rp 3 triliun baru-baru ini dalam pengembangan KSPN TN Komodo.

 

Kelompok berikutnya, para investor yang memperoleh peluang bisnis. Pembangunan dan operasionalisasi YIA, pengembangan Bandara Internasional Ahmad Yani (Semarang), dan Adisumarmo (Solo) adalah bentuk investasi karena terdapat potensi pendapatan untuk cost recovery. Demikian pula pembangunan jalan tol ruas Semarang-Bawen dan jalan tol layang Solo-Yogyakarta.

 

Pihak swasta memperoleh peluang untuk berinvestasi dalam penyediaan fasilitas dan amenitas, meliputi akomodasi (hotel berbintang, resor, dan fasilitas MICE), katering, perjalanan wisata, lapangan golf, glamping (glamorus camping), hiburan, kafe, dan lainnya. Pengembangan aerocity YIA juga jadi peluang bagi para investor.

 

Kelompok selanjutnya, komunitas lokal yang sejatinya inti dari pariwisata inklusif dan mewakili the many. Komunitas lokal memperoleh peluang untuk bekerja dan/atau berusaha, termasuk melalui program aksi pemberdayaan komunitas lokal di sekitar kawasan wisata, khususnya dengan pola pariwisata berbasis komunitas.

 

Penerapan model ”balkondes” sejak beberapa tahun lalu sebelum pandemi dan difasilitasi sejumlah BUMN di 20 desa sekitar Borobudur memberikan peluang komunitas lokal untuk bekerja dan berusaha dalam bisnis akomodasi (homestay), katering, kuliner, industri kreatif, atraksi budaya, dan lainnya.

 

Dengan CBT, tak hanya pemilik lahan, kontraktor, pemasok bahan bangunan, dan investor besar yang dapat menikmati pengembangan KSPN, tetapi juga komunitas-komunitas lokal. Konsep ”balkondes” mungkin juga diterapkan pada KSPN lain, disertai dengan standar layanan dan kode etik CBT.

 

Berkelanjutan

 

Untuk kawasan wisata yang sekaligus jadi ”situs warisan dunia”, seperti Borobudur dan TN Komodo, status KSPN superprioritas tak seyogianya diposisikan lebih penting daripada statusnya sebagai kawasan konservasi. Ini demi mempertahankan keberadaannya hingga generasi mendatang.

 

Selain penerapan konsep carrying capacity yang membatasi jumlah pengunjung per satuan waktu, model luxury tourism sebagai salah satu segmen pasar untuk KSPN Borobudur dan TN Komodo sangat layak, baik dari perspektif konservasi maupun ekonomi. Koeksistensi antara mass tourism dan luxury tourism perlu dikelola dengan baik.

 

Fenomena overturisme dan dampak negatifnya perlu diwaspadai. Kasus penutupan pantai Maya Bay Thailand sejak 2018 akibat overturisme dan dampak negatifnya jadi pelajaran berharga. Pantai dan terumbu karang yang rusak masih mungkin dipulihkan. Namun, jika Borobudur dan spesies komodo punah, dunia kehilangan selamanya. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar