Kamis, 04 Maret 2021

 

Jalaluddin Rakhmat memilih jalan tasawuf

 Heyder Affan  ;  Wartawan BBC Indonesia

                                                     BBC.COM, 13 Agustus 2013

 

 

                                                           

Tumbuh dalam keluarga Islam tradisional, Jalaluddin Rakhmat sempat aktif di Muhammadiyah, sebelum terjun total ke tasawuf dan akhirnya menganut Islam Syiah.

 

Pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an, namanya selalu dilekatkan dengan mazhab Islam Syiah, sehingga dia pernah 'diadili' oleh sebagian ulama Sunni di Bandung dan dilarang berceramah di wilayah itu, tetapi dia selalu menolak disebut penganut Syiah, saat itu.

 

Pria kelahiran 29 Agustus 1949 ini juga dikenal karena aktivitasnya pada kajian tasawuf - yang mampu menjaring kalangan perkotaan, serta sering disebut sebagai salah-seorang cendekiawan Muslim Indonesia terkemuka.

 

Dialah Jalaluddin Rakhmat, yang seiring keterbukaan politik, persisnya saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi Presiden Indonesia, akhirnya secara terbuka mengaku sebagai penganut Islam Syiah.

 

"Secara fikih dan akidah, saya sekarang Syiah," kata Jalaluddin Rakhmat dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, di Jakarta, di sebuah pagi pada pertengahan Juli 2013 lalu.

 

Lebih dari itu, Kang Jalal -begitu sapaan akrabnya- kemudian membidani dan memimpin salah-satu organisasi resmi kaum Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah Alhulbait Indonesia, atau Ijabi, pada awal Juli 2000.

 

Namun demikian, Doktor ilmu politik lulusan Australian National University ini selalu berikhtiar mendekatkan kedua mazhab Islam, yaitu Sunni dan Syiah, dari apa yang disebutnya sebagai "kesalahpahaman yang sudah berumur lebih dari seribu tahun."

 

Salah-satu puncak upayanya itu adalah mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu.

 

Ayah dari lima anak ini juga rajin menyuarakan agar kaum Syiah di Indonesia tidak menutup diri.

 

"Misalnya di Ijabi (organisasi yang menaungi kaum Syiah di Indonesia), kita minta orang-orang ijabi harus melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu," jelas penulis lebih dari 45 buku ini.

 

Lantas, bagaimana awalnya penulis buku Islam Aktual (1994) dan Psikologi Komunikasi (1994) ini akhirnya menganut Islam Syiah, walaupun sebelumnya dia mengaku dibesarkan dalam tradisi NU dan sempat mencicipi ajaran Muhammadiyah?

 

"Dalam tasawuf, bukan hanya seluruh mazhab, tetapi seluruh agama di dunia bertemu," aku Jalaluddin, yang mengaku menganut Syiah melalui 'jalan' tasawuf.

 

Dan, bagaimana tanggapannya terhadap anggapan masyarakat bahwa sebagian warga Syiah di Indonesia bersikap eksklusif?

 

Dan, apa tawarannya dalam penyelesaian damai konflik antara penganut Syiah di Sampang, Madura, dengan kelompok penentangnya?

 

Serta, apa jawaban Jalaluddin Rakhmat soal karakteristik Islam Syiah di Iran dan Indonesia?

 

Konflik Syiah di Sampang

 

Ketika kelompok umat Islam Syiah di Sampang, Madura, diserang dan diusir dari kampungnya oleh kelompok penentangnya pada Agustus 2012, Jalaluddin Rakhmat termasuk yang menentangnya habis-habisan.

 

Dia mengatakan, kasus kekerasan ini membuktikan bahwa kaum Syiah di Indonesia masih mengalami diskriminasi.

 

"Jangan sampai terjadi, misalnya, Syiah itu dipersekusi dan pemerintah (Indonesia) membiarkannya," kata Jalaluddin, menanggapi peristiwa Sampang, dengan mimik serius.

 

"Ini menjadi preseden buruk buat konflik-konflik sosial berikutnya, kalau pemerintah, misalnya, memihak satu kelompok saja di atas kelompok lainnya," tegasnya.

 

Namun demikian, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pertengahan Juli 2013 lalu, menyatakan akan turun-tangan untuk memimpin langsung upaya rekonsiliasi antara warga Syiah di Sampang dengan penentangnya, pendiri Yayasan Muthahari (1988) ini mengaku "sangat gembira".

 

"Saya harus memberikan apresiasi kepada beliau, karena untuk pertama kalinya peristiwa konflik sosial keagamaan ditangani langsung oleh presiden," katanya.

 

Saat ini, sekitar 200 orang warga Syiah Sampang masih ditempatkan di rumah susun di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, setelah sebelumnya hampir setahun mengungsi di Gedung olah raga Sampang, Madura.

 

Mereka kini berharap dapat kembali ke kampungnya, yang menjadi salah-satu opsi dalam rekonsiliasi yang dimediasi oleh para intelektual dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, pimpinan ormas Islam, serta tokoh ulama dan kiai di Madura.

 

Jalaluddin mengaku, sejak awal dia meminta agar rekonsiliasi ini melibatkan pemerintah pusat, karena memiliki "kekuatan memaksakan keputusannya".

 

"Kalau kita hanya rekonsiliasi hanya di bawah (di antara masyarakat) saja, bisa jadi perundingan-perundingan itu akan dibatalkan oleh kejadian-kejadian tertentu," tandas dosen di sejumlah perguruan tinggi ini.

 

Konsep rekonsiliasi

 

Dia juga menekankan, keterlibatan pemerintah di dalam upaya rekonsiliasi ini, dapat mengembalikan warga Syiah itu kembali ke kampungnya di Sampang.

 

"Serta perlahan-lahan secara sosial membangun hubungan dengan ulama di Sampang... sehingga dapat mengakhiri kesalahpahaman antara Sunni dan Syiah " paparnya.

 

Persoalan kesalahpahaman Sunni-Syiah ini ditekankannya, karena menurutnya, konflik di Sampang "tidak murni persoalan agama dan perbedaan mazhab."

 

"Di baliknya itu ada alasan-alasan politik dan ekonomis, atau bisa jadi alasan sosial, misalnya konflik diantara keluarga," katanya.

 

Dia menganalisa, ada beberapa kelompok elit di Sampang yang memiliki kepentingan tertentu dengan terus membangkitkan persoalan Sunni-Syiah.

 

Padahal, sambungnya, "Buat orang-orang awam, mereka hidup damai diantara sesamanya, bahkan yang ikut (mengungsi) ke Gedung olah raga Sampang, tidak semuanya Syiah."

 

Di hadapkan persoalan seperti ini, Jalaluddin menawarkan agar dialog antara warga Sunni dan Syiah terus dilakukan.

 

Namun demikian, upaya perundingan untuk mencapai perdamaian di Sampang, tidak terlepas dari keniscayaan win-win solution, kata Jalaluddin.

 

"Ya, ada beberapa keinginan mereka harus dipenuhi, misalnya, mereka mempersilakan warga Syiah untuk kembali (ke Sampang), tapi tokoh-tokohnya tidak balik. Mungkin ini bisa kita tolerir," katanya.

 

"Artinya negara bisa memindahkan tokoh (Syiah Sampang) ke tempat lain dan memberi jaminan, hanya untuk menghindari konflik," jelasnya.

 

"Ini bukan zero sum game, tapi masing-masing pihak bersedia untuk mengalah," kata Jalaluddin, dengan nada tegas.

 

Saling mengkafirkan

 

Dilatari berbagai latar belakang, konflik antara warga Sunni dan Syiah belakangan melanda beberapa negara yang mayoritas rakyatnya beragama Islam, tidak terkecuali di Indonesia.

 

Jalaluddin Rakhmat menganalisa, konflik seperti ini tidak terlepas dari apa yang disebutnya sebagai akibat kemunculan "gerakan takfiri, yaitu gerakan mengkafirkan kelompok-kelompok Islam yang lain".

 

Menurutnya, gerakan seperti ini selalu mengklaim "hanya kelompok dia sajalah yang benar".

 

Dalam kenyataannya, lanjutnya, mazhab-mazhab di dalam Islam sudah tumbuh sejak lama, dan bahkan usia mazhab Syiah dan Sunni sudah sepanjang sejarah Islam, yaitu lebih dari 1400 tahun.

 

"Kadang-kadang terjadi konflik sosial di antara mereka, tetapi lebih sering mereka (penganut Sunni dan Syiah) hidup berdampingan selama berabad-abad," ujar Jalaluddin, yang pernah menjadi staf pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung.

 

"Di Irak, misalnya, Sunni dan Syiah hidup bersama. Ada sebuah jalan di Baghdad yang memisahkan satu perkampungan Sunni dan Syiah, dan diantara mereka saling berkunjung dan saling mengawini, tanpa problum apa-apa secara sosial," jelasnya.

 

"Sampai kemudian," lanjut Jalaluddin, "munculnya gerakan takfiri, yang secara gencar menganggap Syiah itu kafir, juga kelompok-kelompok tasawuf juga itu kafir, kelompok mayoritas Muslimin yang ziarah di kubur, juga dianggap kafir".

 

"Nah, gerakan ini memecah belah kaum Muslimin," katanya. "Karena setiap ada aksi, 'kan timbul juga reaksi".

 

"Dari asalnya takfir, berkembang kemudian saling mengkafirkan. Dan, itu yang merupakan bibit konflik di antara berbagai mazhab dalam Islam," ujarnya, seraya menambahkan bahwa bibit konflik itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik.

 

Utamakan akhlak, bukan fikih

 

Jadi, langkah seperti apa yang harus dilakukan para elit atau pemimpin agama Islam, ketika dihadapkan kenyataan seperti itu? Tanya saya.

 

Jalaluddin memberikan jawaban, dengan memberikan contoh apa yang telah dia lakukan: "Saya misalnya memberikan buku petunjuk yang bisa dilakukan para tokoh-tokoh agama Islam, yang saya tulis dengan judul 'Dahulukan akhlak di atas fikih'."

 

Semenjak mendalami tasawuf di tahun 80-an, Kang Jalal mengaku cenderung memilih tasawuf, dan bukan fikih (hukum Islam), sebagai materi dakwahnya.

 

Ada beberapa alasan yang melatari dia memilih jalan tawasuf, di antaranya: fikih dianggapnya tidak memberikan kehangatan dalam beragama, serta fikih sering menjadi sebab pertentangan di antara umat Islam, kata Jalaluddin dalam berbagai kesempatan.

 

"Biasanya perbedaan-perbedaan antar mazhab itu terletak pada perbedaan fikih, itu yang selalu ditonjolkan," ungkapnya kepada saya.

 

Berangkat dari pijakan itulah, Ketua Dewan Syura Ikatan Jamah Ahlul Bait Indonesia, Ijabi, ini meminta "agar ulama di antara berbagai mazhab, dalam pergaulan sesama, meninggalkan aspek fikihnya saja dan menyesuaikannya dengan fikih yang lain".

 

"Misalnya di Ijabi, kita minta orang-orang Ijabi harus melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu," tegasnya.

 

Menurutnya, saat ini yang lebih penting, bagaimana para pemimpin mazhab "bisa di dataran yang sama, yaitu di dataran akhlak".

 

"Mari kita jadikan Islam ini agama untuk memuliakan akhlak (berbuat baik)," kata Jalaluddin Rakhmat.

 

Mendalami tasawuf

 

Dalam berbagai kesempatan, Jalaluddin mengaku dibesarkan dalam keluarga Nahdiyyin (NU), kemudian sempat terlibat dalam aktivitas yang berorientasi pada Muhammadiyah, sebelum mendalami tasawuf dan akhirnya menganut Islam dengan mazhab Syiah.

 

"Ketika muda, saya memang dibesarkan dari keluarga NU, dan saya pergi ke kota dan bergabung dengan orang Muhammadiyah," ungkapnya, mulai bercerita.

 

Ketika aktif di Muhammadiyah, Jalaluddin mengikuti gerakan-gerakan "yang saya sebut Islam-siasi, yaitu Islam politik, di mana saya ingin mendirikan syariat Islam di negeri ini".

 

Namun demikian, Jalaluddin muda mengaku berulangkali kecewa, karena "di berbagai negara Islam, tidak ada yang berhasil mendirikan Syariat Islam".

 

Di tengah situasi seperti itulah, Jalaluddin mengaku takjub ketika terjadi peristiwa penting di Iran pada 1979, yaitu runtuhnya rezim monarki otoriter Raja Shah Pahlavi oleh apa yang disebut belakangan sebagai Revolusi Islam Iran.

 

"Tiba-tiba saya melihat para ulama di Iran menang. Kok bisa ulama Iran bisa memenangkan sebuah pertarungan poltik dan bisa mendirikan negara Islam? Wah itu menginspirasi saya yang saat itu sudah putus asa," jelasnya.

 

Dalam perjalanannya, dia kemudian berangkat ke Iran, persisnya ke kota Qum, untuk belajar tasawuf. "Saya tidak belajar Syiah, saya belajar tasawuf di Qum."

 

"Dan ternyata," ungkapnya dengan mata berbinar, "di kalangan orang-orang Persia, saya menemukan khazanah tasawuf yang sangat kaya. Jadi saya mulailah tertarik tasawuf".

 

Mengapa menjadi Syiah

 

Kembali dari Iran, Jalaluddin -yang di masa mudanya sudah membaca karya-karya filosof Baruch Spinoza (1632-1677) dan Friedrich Nietzsche (1844–1900) di perpustakaan negeri peninggalan Belanda - mendirikan yayasan tasawuf.

 

"Dalam tasawuf, seluruh agama bertemu, bukan hanya seluruh mazhab Islam," katanya.

 

Menurutnya, dalam ranah tawasuf atau mistisisme, semua penganut agama akan mengatakan 'kayaknya kita saling mengenal, kayaknya kita adalah bagian dari keluarga besar, yang menegakkan agama atas dasar cinta'.

 

Kepada saya, Jalaluddin menekankan bahwa "saya tidak bermaksud mengajarkan Syiah dalam tasawuf, karena menurut saya, tasawuf itulah yang mempersatukan Sunni dan Syiah," tegasnya.

 

"Jadi arah saya dari dulu, kepada persatuan kelompok Sunni dan Syiah," katanya lagi. Belakangan, persisnya pada Mei 2011 lalu, Jalaluddin dan beberapa orang mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu, untuk mendekatkan dua mazhab Islam tersebut.

 

Namun demikian, ketika mempelajari dan mendalami dunia tasawuf itulah, Jalaluddin mengatakan: "Karena Syiah di sini minoritas, saya tentu berusaha mengenalkan Syiah ini, tidak seperti yang mereka tuduhkan".

 

Di ujung perjalanannya, Kang Jalal yang pernah mendirikan pusat kajian tasawuf Yayasan Tazkiya Sejati, akhirnya sampai pada satu titik: "Akhirnya secara fikih dan akidah, saya sekarang ini Syiah".

 

Hubungan dengan Iran

 

Pada tahun 80-an, persisnya setelah Revolusi Islam Iran (1979), beredar informasi yang menyebar pada sebagian masyarakat Indonesia, bahwa pemerintah Iran akan melakukan "ekspor revolusi".

 

Walaupun tidak pernah terbukti, informasi seperti ini tidak pernah lenyap sepenuhnya. Dalam kadar dan tekanan yang berbeda, saat ini, tidak pelak lagi, sebagian publik melihat mazhab Islam Syiah di Indonesia identik dengan wajah kekuasaan politik di Iran.

 

Cara pandang umum seperti inilah yang saya tanyakan kepada Jalaluddin Rakhmat.

 

"Apakah Syiah di Indonesia akan sama dengan Syiah Iran dengan negara Islamnya, sementara Indonesia bukanlah negara agama?" Tanya saya.

 

"Tidak mungkin Syiah di Indonesia sama seperti Syiah di Iran," tegas Jalaluddin, yang saat ini menjadi calon legislatif dari PDI Perjuangan.

 

Alasannya, menurutnya, Iran sudah ratusan tahun menjalankan peradaban Syiah, sementara akar budaya Indonesia adalah Sunni.

 

"Jadi tidak mungkin Indonesia menjadi negara Syiah seperti di Iran, karena kita tidak punya akar budaya yang cukup dalam mazhab Syiah," paparnya.

 

Lagi pula, lanjutnya, pengikut Syiah di Indonesia jumlahnya minoritas. "Orang-orang Syiah itu tahu, mereka jumlahnya sedikit, dan tidak pernah orang yang sedikit punya maksud untuk mendirikan negara Syiah, kecuali kalau orang Syiah-nya itu bloon (bodoh)," katanya dengan mimik serius.

 

"Malah," demikian Jalaluddin, "saya melihat orang-orang Syiah sangat menghormati Pancasila."

 

"Karena mereka tahu, hidup di negara Pancasila lebih damai buat mereka, ketimbang hidup di negara Islam, yang Islam-nya versi tertentu, apalagi kalau versi Islam-nya itu takfiri yang mengkafirkan".

 

Syiah tidak memiliki masjid

 

Walaupun belum ada penelitian yang bisa dibuktikan secara ilmiah, ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa sebagian kaum Syiah di Indonesia, belakangan menutup diri dari lingkungannya.

 

"Saya kira kelompok Syiah yang eksklusif itu sangat kecil," jawab Jalaluddin, menjawab pertanyaan saya tentang anggapan seperti itu.

 

Sebaliknya, menurutnya, kebanyakan warga Syiah di Indonesia tidak eksklusif. Mereka bergabung dengan kaum Sunni yang mayoritas dalam berbagai aktivitasnya, termasuk dalam beribadah, kata Jalaluddin.

 

"Banyak misalnya orang-orang Ijabi menjadi khotib di masjid-masjid Sunni, banyak yang menjadi pengurus masjid, dan orang-orang tidak mengenalnya sebagai Syiah," ungkapnya.

 

"Jadi, begitu tidak eksklusifnya, sampai mereka tidak kelihatan. Itu yang disebut Takiah," ungkapnya, seraya menjelaskan bahwa yang disebut Takiah itu adalah "berusaha tidak menampakkan ajarannya sendiri apabila diduga akan menimbulkan konflik".

 

Sehingga, lanjutnya, orang-orang Syiah Indonesia yang tergabung dalam Ijabi, tidak memiliki masjid.

 

"Karena, masjid kaum muslimin itu adalah masjid kita," akunya. "Kalau kita mulai bikin masjid Syiah, kita jadi eksklusif".

 

Namun demikian, Jalaluddin mengaku "ada masa-masa ketika kelompok-kelompok Syiah suatu saat menjadi eksklusif terlebih dulu, tapi setelah itu akan menjadi pluralistik lagi..."

 

"Biasalah dalam istilah sosiologi di AS, itu disebut greenhorn (orang yang belum berpengalaman, atau orang yang masih hijau). Itu yang tanduknya masih hijau, masih sering menyeruduk ke sana-kemari, tapi kalau tanduknya sudah grey (abu-abu), dia tidak lagi dengan sikap seradak-seruduk seperti itu," kata Jalaluddin, seraya tertawa tipis.

 

Sayap Syiah fikih

 

"Itu adalah hak setiap warga negara," kata Jalaluddin Rakhmat, saat saya menanyakan kebenaran informasi yang menyebut saat ini ada kecenderungan gerakan Syiah di Indonesia lebih mengedepankan pendekatan fikih.

 

Tetapi, sambungnya, pengembangan ajaran fikih Syiah itu diajarkan dan dipraktekkan secara khusus di pesantren milik mereka sendiri. "(Di pesantren mereka sendiri), mereka bisa mengembangkan ajaran fikih mereka secara khusus."

 

Sebaliknya, secara keseluruhan, kaum Syiah di Indonesia menempatkan diri sebagai bagian dari umat Islam. "Di hadapan masyarakat pada umumnya, kita menampakkan wajah yang dipenuhi dengan perasaan persatuan," akunya.

 

Jalaluddin mengakui, saat ini ada dua organisasi yang mewadahi kaum Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah Alhulbait Indonesia, atau Ijabi, yang dia dirikan pada tahun 2000 lalu, dan Ahlulbait Indonesia, atau ABI, yang didirikan belakangan.

 

Diakuinya, saat ini ada penilaian bahwa seolah-seolah dua organisasi itu mewakili antara sayap intelektual dan sayap fikih.

 

Tapi, "kita sudah jalin kerjasama," kata Jalaluddin.

 

"Buat kita sekarang," sambungnya, dengan nada diplomatis, "ada dua sayap, sayap intelektual dan sayap fikih, atau sayap sufi dan sayap fikih. Kita bisa terbang dengan kedua sayap ini." ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar