Jalaluddin
Rakhmat memilih jalan tasawuf Heyder Affan ; Wartawan BBC Indonesia |
BBC.COM,
13 Agustus
2013
Tumbuh dalam keluarga Islam tradisional,
Jalaluddin Rakhmat sempat aktif di Muhammadiyah, sebelum terjun total ke
tasawuf dan akhirnya menganut Islam Syiah. Pada pertengahan 1980-an hingga 1990-an,
namanya selalu dilekatkan dengan mazhab Islam Syiah, sehingga dia pernah
'diadili' oleh sebagian ulama Sunni di Bandung dan dilarang berceramah di
wilayah itu, tetapi dia selalu menolak disebut penganut Syiah, saat itu. Pria kelahiran 29 Agustus 1949 ini juga
dikenal karena aktivitasnya pada kajian tasawuf - yang mampu menjaring
kalangan perkotaan, serta sering disebut sebagai salah-seorang cendekiawan
Muslim Indonesia terkemuka. Dialah Jalaluddin Rakhmat, yang seiring
keterbukaan politik, persisnya saat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menjadi
Presiden Indonesia, akhirnya secara terbuka mengaku sebagai penganut Islam
Syiah. "Secara fikih dan akidah, saya
sekarang Syiah," kata Jalaluddin Rakhmat dalam wawancara khusus dengan
wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, di Jakarta, di sebuah pagi pada
pertengahan Juli 2013 lalu. Lebih dari itu, Kang Jalal -begitu sapaan
akrabnya- kemudian membidani dan memimpin salah-satu organisasi resmi kaum
Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah Alhulbait Indonesia, atau Ijabi, pada
awal Juli 2000. Namun demikian, Doktor ilmu politik lulusan
Australian National University ini selalu berikhtiar mendekatkan kedua mazhab
Islam, yaitu Sunni dan Syiah, dari apa yang disebutnya sebagai
"kesalahpahaman yang sudah berumur lebih dari seribu tahun." Salah-satu puncak upayanya itu adalah
mendirikan Majelis Ukhuwah Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu. Ayah dari lima anak ini juga rajin
menyuarakan agar kaum Syiah di Indonesia tidak menutup diri. "Misalnya di Ijabi (organisasi yang
menaungi kaum Syiah di Indonesia), kita minta orang-orang ijabi harus
melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum Sunni), berpuasa seperti
puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah untuk memperbesar perbedaan
diantara kedua mazhab itu," jelas penulis lebih dari 45 buku ini. Lantas, bagaimana awalnya penulis buku
Islam Aktual (1994) dan Psikologi Komunikasi (1994) ini akhirnya menganut
Islam Syiah, walaupun sebelumnya dia mengaku dibesarkan dalam tradisi NU dan
sempat mencicipi ajaran Muhammadiyah? "Dalam tasawuf, bukan hanya seluruh
mazhab, tetapi seluruh agama di dunia bertemu," aku Jalaluddin, yang
mengaku menganut Syiah melalui 'jalan' tasawuf. Dan, bagaimana tanggapannya terhadap
anggapan masyarakat bahwa sebagian warga Syiah di Indonesia bersikap
eksklusif? Dan, apa tawarannya dalam penyelesaian
damai konflik antara penganut Syiah di Sampang, Madura, dengan kelompok
penentangnya? Serta, apa jawaban Jalaluddin Rakhmat soal
karakteristik Islam Syiah di Iran dan Indonesia? Konflik
Syiah di Sampang Ketika kelompok umat Islam Syiah di
Sampang, Madura, diserang dan diusir dari kampungnya oleh kelompok penentangnya
pada Agustus 2012, Jalaluddin Rakhmat termasuk yang menentangnya
habis-habisan. Dia mengatakan, kasus kekerasan ini
membuktikan bahwa kaum Syiah di Indonesia masih mengalami diskriminasi. "Jangan sampai terjadi, misalnya,
Syiah itu dipersekusi dan pemerintah (Indonesia) membiarkannya," kata
Jalaluddin, menanggapi peristiwa Sampang, dengan mimik serius. "Ini menjadi preseden buruk buat
konflik-konflik sosial berikutnya, kalau pemerintah, misalnya, memihak satu
kelompok saja di atas kelompok lainnya," tegasnya. Namun demikian, ketika Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada pertengahan Juli 2013 lalu, menyatakan akan
turun-tangan untuk memimpin langsung upaya rekonsiliasi antara warga Syiah di
Sampang dengan penentangnya, pendiri Yayasan Muthahari (1988) ini mengaku
"sangat gembira". "Saya harus memberikan apresiasi
kepada beliau, karena untuk pertama kalinya peristiwa konflik sosial
keagamaan ditangani langsung oleh presiden," katanya. Saat ini, sekitar 200 orang warga Syiah
Sampang masih ditempatkan di rumah susun di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur,
setelah sebelumnya hampir setahun mengungsi di Gedung olah raga Sampang,
Madura. Mereka kini berharap dapat kembali ke
kampungnya, yang menjadi salah-satu opsi dalam rekonsiliasi yang dimediasi
oleh para intelektual dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, pimpinan ormas Islam,
serta tokoh ulama dan kiai di Madura. Jalaluddin mengaku, sejak awal dia meminta
agar rekonsiliasi ini melibatkan pemerintah pusat, karena memiliki
"kekuatan memaksakan keputusannya". "Kalau kita hanya rekonsiliasi hanya
di bawah (di antara masyarakat) saja, bisa jadi perundingan-perundingan itu
akan dibatalkan oleh kejadian-kejadian tertentu," tandas dosen di
sejumlah perguruan tinggi ini. Konsep
rekonsiliasi Dia juga menekankan, keterlibatan
pemerintah di dalam upaya rekonsiliasi ini, dapat mengembalikan warga Syiah
itu kembali ke kampungnya di Sampang. "Serta perlahan-lahan secara sosial
membangun hubungan dengan ulama di Sampang... sehingga dapat mengakhiri
kesalahpahaman antara Sunni dan Syiah " paparnya. Persoalan kesalahpahaman Sunni-Syiah ini
ditekankannya, karena menurutnya, konflik di Sampang "tidak murni
persoalan agama dan perbedaan mazhab." "Di baliknya itu ada alasan-alasan
politik dan ekonomis, atau bisa jadi alasan sosial, misalnya konflik diantara
keluarga," katanya. Dia menganalisa, ada beberapa kelompok elit
di Sampang yang memiliki kepentingan tertentu dengan terus membangkitkan
persoalan Sunni-Syiah. Padahal, sambungnya, "Buat orang-orang
awam, mereka hidup damai diantara sesamanya, bahkan yang ikut (mengungsi) ke
Gedung olah raga Sampang, tidak semuanya Syiah." Di hadapkan persoalan seperti ini,
Jalaluddin menawarkan agar dialog antara warga Sunni dan Syiah terus
dilakukan. Namun demikian, upaya perundingan untuk
mencapai perdamaian di Sampang, tidak terlepas dari keniscayaan win-win
solution, kata Jalaluddin. "Ya, ada beberapa keinginan mereka
harus dipenuhi, misalnya, mereka mempersilakan warga Syiah untuk kembali (ke
Sampang), tapi tokoh-tokohnya tidak balik. Mungkin ini bisa kita
tolerir," katanya. "Artinya negara bisa memindahkan tokoh
(Syiah Sampang) ke tempat lain dan memberi jaminan, hanya untuk menghindari
konflik," jelasnya. "Ini bukan zero sum game, tapi
masing-masing pihak bersedia untuk mengalah," kata Jalaluddin, dengan
nada tegas. Saling
mengkafirkan Dilatari berbagai latar belakang, konflik
antara warga Sunni dan Syiah belakangan melanda beberapa negara yang
mayoritas rakyatnya beragama Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Jalaluddin Rakhmat menganalisa, konflik
seperti ini tidak terlepas dari apa yang disebutnya sebagai akibat kemunculan
"gerakan takfiri, yaitu gerakan mengkafirkan kelompok-kelompok Islam
yang lain". Menurutnya, gerakan seperti ini selalu
mengklaim "hanya kelompok dia sajalah yang benar". Dalam kenyataannya, lanjutnya,
mazhab-mazhab di dalam Islam sudah tumbuh sejak lama, dan bahkan usia mazhab
Syiah dan Sunni sudah sepanjang sejarah Islam, yaitu lebih dari 1400 tahun. "Kadang-kadang terjadi konflik sosial
di antara mereka, tetapi lebih sering mereka (penganut Sunni dan Syiah) hidup
berdampingan selama berabad-abad," ujar Jalaluddin, yang pernah menjadi
staf pengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Padjajaran, Bandung. "Di Irak, misalnya, Sunni dan Syiah
hidup bersama. Ada sebuah jalan di Baghdad yang memisahkan satu perkampungan
Sunni dan Syiah, dan diantara mereka saling berkunjung dan saling mengawini,
tanpa problum apa-apa secara sosial," jelasnya. "Sampai kemudian," lanjut
Jalaluddin, "munculnya gerakan takfiri, yang secara gencar menganggap
Syiah itu kafir, juga kelompok-kelompok tasawuf juga itu kafir, kelompok
mayoritas Muslimin yang ziarah di kubur, juga dianggap kafir". "Nah, gerakan ini memecah belah kaum
Muslimin," katanya. "Karena setiap ada aksi, 'kan timbul juga
reaksi". "Dari asalnya takfir, berkembang
kemudian saling mengkafirkan. Dan, itu yang merupakan bibit konflik di antara
berbagai mazhab dalam Islam," ujarnya, seraya menambahkan bahwa bibit
konflik itu kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik. Utamakan
akhlak, bukan fikih Jadi, langkah seperti apa yang harus
dilakukan para elit atau pemimpin agama Islam, ketika dihadapkan kenyataan
seperti itu? Tanya saya. Jalaluddin memberikan jawaban, dengan
memberikan contoh apa yang telah dia lakukan: "Saya misalnya memberikan
buku petunjuk yang bisa dilakukan para tokoh-tokoh agama Islam, yang saya
tulis dengan judul 'Dahulukan akhlak di atas fikih'." Semenjak mendalami tasawuf di tahun 80-an,
Kang Jalal mengaku cenderung memilih tasawuf, dan bukan fikih (hukum Islam),
sebagai materi dakwahnya. Ada beberapa alasan yang melatari dia
memilih jalan tawasuf, di antaranya: fikih dianggapnya tidak memberikan
kehangatan dalam beragama, serta fikih sering menjadi sebab pertentangan di
antara umat Islam, kata Jalaluddin dalam berbagai kesempatan. "Biasanya perbedaan-perbedaan antar
mazhab itu terletak pada perbedaan fikih, itu yang selalu ditonjolkan,"
ungkapnya kepada saya. Berangkat dari pijakan itulah, Ketua Dewan
Syura Ikatan Jamah Ahlul Bait Indonesia, Ijabi, ini meminta "agar ulama
di antara berbagai mazhab, dalam pergaulan sesama, meninggalkan aspek
fikihnya saja dan menyesuaikannya dengan fikih yang lain". "Misalnya di Ijabi, kita minta
orang-orang Ijabi harus melakukan shalat sama seperti shalat mereka (kaum
Sunni), berpuasa seperti puasa mereka, sehingga kita tidak memberi celah
untuk memperbesar perbedaan diantara kedua mazhab itu," tegasnya. Menurutnya, saat ini yang lebih penting,
bagaimana para pemimpin mazhab "bisa di dataran yang sama, yaitu di
dataran akhlak". "Mari kita jadikan Islam ini agama
untuk memuliakan akhlak (berbuat baik)," kata Jalaluddin Rakhmat. Mendalami
tasawuf Dalam berbagai kesempatan, Jalaluddin
mengaku dibesarkan dalam keluarga Nahdiyyin (NU), kemudian sempat terlibat
dalam aktivitas yang berorientasi pada Muhammadiyah, sebelum mendalami
tasawuf dan akhirnya menganut Islam dengan mazhab Syiah. "Ketika muda, saya memang dibesarkan
dari keluarga NU, dan saya pergi ke kota dan bergabung dengan orang
Muhammadiyah," ungkapnya, mulai bercerita. Ketika aktif di Muhammadiyah, Jalaluddin
mengikuti gerakan-gerakan "yang saya sebut Islam-siasi, yaitu Islam
politik, di mana saya ingin mendirikan syariat Islam di negeri ini". Namun demikian, Jalaluddin muda mengaku
berulangkali kecewa, karena "di berbagai negara Islam, tidak ada yang
berhasil mendirikan Syariat Islam". Di tengah situasi seperti itulah,
Jalaluddin mengaku takjub ketika terjadi peristiwa penting di Iran pada 1979,
yaitu runtuhnya rezim monarki otoriter Raja Shah Pahlavi oleh apa yang
disebut belakangan sebagai Revolusi Islam Iran. "Tiba-tiba saya melihat para ulama di
Iran menang. Kok bisa ulama Iran bisa memenangkan sebuah pertarungan poltik
dan bisa mendirikan negara Islam? Wah itu menginspirasi saya yang saat itu
sudah putus asa," jelasnya. Dalam perjalanannya, dia kemudian berangkat
ke Iran, persisnya ke kota Qum, untuk belajar tasawuf. "Saya tidak
belajar Syiah, saya belajar tasawuf di Qum." "Dan ternyata," ungkapnya dengan
mata berbinar, "di kalangan orang-orang Persia, saya menemukan khazanah
tasawuf yang sangat kaya. Jadi saya mulailah tertarik tasawuf". Mengapa
menjadi Syiah Kembali dari Iran, Jalaluddin -yang di masa
mudanya sudah membaca karya-karya filosof Baruch Spinoza (1632-1677) dan
Friedrich Nietzsche (1844–1900) di perpustakaan negeri peninggalan Belanda -
mendirikan yayasan tasawuf. "Dalam tasawuf, seluruh agama bertemu,
bukan hanya seluruh mazhab Islam," katanya. Menurutnya, dalam ranah tawasuf atau mistisisme,
semua penganut agama akan mengatakan 'kayaknya kita saling mengenal, kayaknya
kita adalah bagian dari keluarga besar, yang menegakkan agama atas dasar
cinta'. Kepada saya, Jalaluddin menekankan bahwa
"saya tidak bermaksud mengajarkan Syiah dalam tasawuf, karena menurut
saya, tasawuf itulah yang mempersatukan Sunni dan Syiah," tegasnya. "Jadi arah saya dari dulu, kepada
persatuan kelompok Sunni dan Syiah," katanya lagi. Belakangan, persisnya
pada Mei 2011 lalu, Jalaluddin dan beberapa orang mendirikan Majelis Ukhuwah
Sunni Syiah Indonesia, Muhsin, pada Mei 2011 lalu, untuk mendekatkan dua
mazhab Islam tersebut. Namun demikian, ketika mempelajari dan
mendalami dunia tasawuf itulah, Jalaluddin mengatakan: "Karena Syiah di
sini minoritas, saya tentu berusaha mengenalkan Syiah ini, tidak seperti yang
mereka tuduhkan". Di ujung perjalanannya, Kang Jalal yang
pernah mendirikan pusat kajian tasawuf Yayasan Tazkiya Sejati, akhirnya
sampai pada satu titik: "Akhirnya secara fikih dan akidah, saya sekarang
ini Syiah". Hubungan
dengan Iran Pada tahun 80-an, persisnya setelah
Revolusi Islam Iran (1979), beredar informasi yang menyebar pada sebagian
masyarakat Indonesia, bahwa pemerintah Iran akan melakukan "ekspor
revolusi". Walaupun tidak pernah terbukti, informasi
seperti ini tidak pernah lenyap sepenuhnya. Dalam kadar dan tekanan yang
berbeda, saat ini, tidak pelak lagi, sebagian publik melihat mazhab Islam
Syiah di Indonesia identik dengan wajah kekuasaan politik di Iran. Cara pandang umum seperti inilah yang saya
tanyakan kepada Jalaluddin Rakhmat. "Apakah Syiah di Indonesia akan sama
dengan Syiah Iran dengan negara Islamnya, sementara Indonesia bukanlah negara
agama?" Tanya saya. "Tidak mungkin Syiah di Indonesia sama
seperti Syiah di Iran," tegas Jalaluddin, yang saat ini menjadi calon
legislatif dari PDI Perjuangan. Alasannya, menurutnya, Iran sudah ratusan
tahun menjalankan peradaban Syiah, sementara akar budaya Indonesia adalah
Sunni. "Jadi tidak mungkin Indonesia menjadi
negara Syiah seperti di Iran, karena kita tidak punya akar budaya yang cukup
dalam mazhab Syiah," paparnya. Lagi pula, lanjutnya, pengikut Syiah di
Indonesia jumlahnya minoritas. "Orang-orang Syiah itu tahu, mereka
jumlahnya sedikit, dan tidak pernah orang yang sedikit punya maksud untuk
mendirikan negara Syiah, kecuali kalau orang Syiah-nya itu bloon
(bodoh)," katanya dengan mimik serius. "Malah," demikian Jalaluddin,
"saya melihat orang-orang Syiah sangat menghormati Pancasila." "Karena mereka tahu, hidup di negara Pancasila
lebih damai buat mereka, ketimbang hidup di negara Islam, yang Islam-nya
versi tertentu, apalagi kalau versi Islam-nya itu takfiri yang
mengkafirkan". Syiah
tidak memiliki masjid Walaupun belum ada penelitian yang bisa
dibuktikan secara ilmiah, ada anggapan di sebagian masyarakat bahwa sebagian
kaum Syiah di Indonesia, belakangan menutup diri dari lingkungannya. "Saya kira kelompok Syiah yang
eksklusif itu sangat kecil," jawab Jalaluddin, menjawab pertanyaan saya
tentang anggapan seperti itu. Sebaliknya, menurutnya, kebanyakan warga
Syiah di Indonesia tidak eksklusif. Mereka bergabung dengan kaum Sunni yang
mayoritas dalam berbagai aktivitasnya, termasuk dalam beribadah, kata
Jalaluddin. "Banyak misalnya orang-orang Ijabi
menjadi khotib di masjid-masjid Sunni, banyak yang menjadi pengurus masjid,
dan orang-orang tidak mengenalnya sebagai Syiah," ungkapnya. "Jadi, begitu tidak eksklusifnya,
sampai mereka tidak kelihatan. Itu yang disebut Takiah," ungkapnya,
seraya menjelaskan bahwa yang disebut Takiah itu adalah "berusaha tidak
menampakkan ajarannya sendiri apabila diduga akan menimbulkan konflik". Sehingga, lanjutnya, orang-orang Syiah
Indonesia yang tergabung dalam Ijabi, tidak memiliki masjid. "Karena, masjid kaum muslimin itu
adalah masjid kita," akunya. "Kalau kita mulai bikin masjid Syiah,
kita jadi eksklusif". Namun demikian, Jalaluddin mengaku
"ada masa-masa ketika kelompok-kelompok Syiah suatu saat menjadi
eksklusif terlebih dulu, tapi setelah itu akan menjadi pluralistik
lagi..." "Biasalah dalam istilah sosiologi di
AS, itu disebut greenhorn (orang yang belum berpengalaman, atau orang yang
masih hijau). Itu yang tanduknya masih hijau, masih sering menyeruduk ke
sana-kemari, tapi kalau tanduknya sudah grey (abu-abu), dia tidak lagi dengan
sikap seradak-seruduk seperti itu," kata Jalaluddin, seraya tertawa
tipis. Sayap
Syiah fikih "Itu adalah hak setiap warga
negara," kata Jalaluddin Rakhmat, saat saya menanyakan kebenaran
informasi yang menyebut saat ini ada kecenderungan gerakan Syiah di Indonesia
lebih mengedepankan pendekatan fikih. Tetapi, sambungnya, pengembangan ajaran
fikih Syiah itu diajarkan dan dipraktekkan secara khusus di pesantren milik
mereka sendiri. "(Di pesantren mereka sendiri), mereka bisa
mengembangkan ajaran fikih mereka secara khusus." Sebaliknya, secara keseluruhan, kaum Syiah
di Indonesia menempatkan diri sebagai bagian dari umat Islam. "Di
hadapan masyarakat pada umumnya, kita menampakkan wajah yang dipenuhi dengan
perasaan persatuan," akunya. Jalaluddin mengakui, saat ini ada dua
organisasi yang mewadahi kaum Syiah di Indonesia, yaitu Ikatan Jamaah
Alhulbait Indonesia, atau Ijabi, yang dia dirikan pada tahun 2000 lalu, dan
Ahlulbait Indonesia, atau ABI, yang didirikan belakangan. Diakuinya, saat ini ada penilaian bahwa
seolah-seolah dua organisasi itu mewakili antara sayap intelektual dan sayap
fikih. Tapi, "kita sudah jalin
kerjasama," kata Jalaluddin. "Buat kita sekarang," sambungnya,
dengan nada diplomatis, "ada dua sayap, sayap intelektual dan sayap
fikih, atau sayap sufi dan sayap fikih. Kita bisa terbang dengan kedua sayap
ini." ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar