Berharap
Polisi Tak Melupakan Perkara Biasa Adrianus Meliala ; Kriminolog FISIP UI |
KOMPAS,
04 Maret
2021
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Listyo Sigit dewasa ini tengah menekuni inisiatifnya yang disebut virtual
policing atau pemolisian virtual. Dari apa yang terungkap di media massa,
strategi pemolisian yang satu ini mengupayakan pencegahan bagi terjadi
pelanggaran terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sedini
mungkin. Pencegahan dilakukan dengan mengingatkan
pemilik akun bahwa isi postingan yang ditemui di satu atau lebih media sosial
sudah masuk ranah pidana. Bisa karena sudah terdeteksi melakukan penghinaan
kepada orang lain, mulai menyebarkan hoaks, atau yang lain. Bagaimana cara mencegahnya, kelihatannya
tidak terlalu sulit. Pemilik akun tinggal dihubungi, diingatkan, dan untuk
selanjutnya terserah yang bersangkutan. Jika tidak mau berubah, yang
bersangkutan akan bertemu kembali dengan polisi, tetapi kali itu tentu dalam
situasi penyidikan yang tidak akan seramah sebelumnya. Tulisan ini mengulas beberapa hal yang
perlu menjadi perhatian Kapolri Listyo Sigit jika tidak ingin program ini
gagal. Polri pun sebenarnya bertaruh banyak dengan program ini sehingga perlu
memberi perhatian pada hal-hal yang akan mengganggu kinerja kepolisian. Basis
logaritma Kepolisian tampaknya menyadari bahwa
program ini dijalankan di tengah kepercayaan masyarakat yang cukup rendah
perihal imparsialitas dan netralitas kepolisian. Pandangan yang umum
muncul—tidak hanya dari kalangan yang kritis terhadap pemerintahan
Jokowi—adalah bahwa kepolisian memberikan perlakuan berbeda-beda pada
fenomena yang lebih kurang sama. Untuk mengatasinya, program ini mesti
berbasis pada parameter yang valid, faktual, dan akuntabel. Parameter
tersebut mencegah kepolisian memberikan perlakuan berbeda, melihat-lihat
orang, atau membeda-bedakan isu. Penggunaan aplikasi dan logaritma akan
membantu unit siber yang menjalankan program ini untuk mengurangi sentuhan
manusia yang penuh bias dan kepentingan. Kapasitas
kepolisian Yang juga perlu diperhatikan adalah
kapasitas unit siber di mabes dan juga polda-polda tidaklah besar. Unit siber
dewasa ini harus bertarung dengan dua jenis kejahatan komputer, yakni
kejahatan komputer itu sendiri (yang menyerang dan merusak sistem, jaringan,
dan pertahanan dari suatu sistem) serta kejahatan terkait komputer. Data memperlihatkan, kepolisian
menghabiskan banyak sekali waktu dan tenaga mengurusi kejahatan terkait
dengan komputer yang sebetulnya tidak tinggi komponen teknologi dan
pengetahuan komputernya. Kejahatan ini pada dasarnya berupa pemanfaatan
komputer yang salah untuk tujuan mengirim berita bohong, pernyataan
kebencian, menipu, memfitnah, dan mencemarkan orang lain. Program pemolisian virtual ini kelihatannya
akan membuat polisi semakin banyak menghabiskan waktu, anggaran, dan jam
kerja untuk kejahatan sederhana ini. Masalahnya, pada saat yang sama, perhatian
juga mesti diberikan pada kejahatan komputer yang ancamannya tidak boleh
dipandang enteng. Ada cukup banyak kasus pernah terjadi di
Indonesia, di mana pencurian password, pengacauan sistem, dan pembobolan
jaringan mengguncang satu instansi dan menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Dikhawatirkan kapasitas kepolisian sudah terserap dan tak lagi tersisa untuk
menangani kejahatan ini. Keberlanjutan
program Seperti juga banyak program kepolisian yang
sebenarnya bagus dan penting kerap terganggu dengan problema keberlanjutan
(sustainability problem). Saat pimpinan baru muncul, program lama umumnya
segera hilang alias tidak berlanjut. Salah satu masalahnya adalah banyak program
di kepolisian tidak didukung dengan dana negara, dengan kata lain merupakan
inisiatif pimpinan yang berbasis dana off-budget. Maka, wajar jika pimpinan
baru tidak mau menanggung beban guna melakukan hal serupa. Terkait dengan virtual police, perlu
dipastikan bahwa aspek keberlanjutan terjaga dengan baik. Jika tidak, ini
akan amat memengaruhi citra kepolisian di mata masyarakat. Seyogianya, untuk kegiatan-kegiatan
kepolisian yang menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung, jangan sampai
suatu program tiba-tiba berhenti karena itu akan membuat masyarakat
bertanya-tanya tentang keseriusan kepolisian menanggulangi suatu problem
kriminalitas. Bahaya
ekspansi program Wajah lain dari dimensi keberlanjutan
adalah kecenderungan kepolisian untuk ekspansi program. Dewasa ini,
kepolisian hadir di mana-mana. Mulai dari mengurusi geng motor hingga
memastikan protokol kesehatan terkait dengan Covid-19 berjalan. Menangani
mulai dari perompak di perairan hingga aktivitas kelompok kriminal bersenjata
di Pegunungan Reni Jaya, Papua. Luas sekali. Dengan sedemikian banyak wilayah
peperangan, jika memakai terminologi militer, bagaimana kepolisian bisa
fokus, bisa efisien mengalokasikan sumber daya, dan yang terpenting bisa
memenangi perang? Sejauh ini tidak ada medan yang benar-benar dimenangi oleh
kepolisian dalam bentuk berkurang atau bahkan hilangnya suatu bentuk
kriminalitas dari masyarakat. Mengambil format pemolisian, sejauh ini
kepolisian melakukan berbagai program pemolisian. Mulai dari yang amat
terkenal, yakni pemolisian masyarakat/polmas (community policing), pemolisian
paramiliter oleh Brimob, pemolisian didahului intelijen (intelligence-led
policing) oleh satuan intelijen, hingga berbagai pemolisian lain. Khususnya
polmas, dewasa ini hampir tak terdengar lagi gemanya. Terkait dengan perkembangan dunia maya,
yang boleh dibilang menjadi arena terbaru kepolisian untuk beraksi, wajar
jika kita berharap kepolisian semakin berhati-hati mengatur sumber daya,
mengatur operasi kepolisian, serta mengatasi tekanan publik. ”Police
hazard” tradisional Seiring dengan wajah kriminalitas yang
canggih, jangan lupa bahwa bahaya kepolisian tradisional (traditional police
hazard) tetap menghantui. Kejahatan jalanan yang dewasa ini turun angkanya,
mengingat beberapa wilayah publik relatif sepi ditinggal masyarakat yang
banyak berada di rumah, setiap saat akan meningkat kembali. Fenomena konvensional, seperti kejahatan
narkotika dan kejahatan kekerasan, juga akan terus merepotkan kepolisian.
Belum lagi berbagai gangguan kamtibmas perkotaan, seperti demonstrasi,
kebut-kebutan, dan tawuran sekolah. Yang mau dikatakan adalah bahwa kepolisian
tidak boleh melupakan persoalan kamtibmas konvensional dan tradisional. Lebih
dari itu, kepolisian harus siap menghadapi dua wajah pemolisian yang amat
berbeda: yang canggih dan yang amat biasa. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar