Senin, 01 Maret 2021

 

Solilokui Para Koruptor

 Seno Gumira Ajidarma  ;  Wartawan

                                                     KOMPAS, 28 Februari 2021

 

 

                                                           

Tahar Ben Jelloun, penulis Maroko yang tinggal di Perancis, berada di Jakarta pada 1992. Maksud hati menemui Pramoedya Ananta Toer, tetapi dianjurkan untuk tidak melakukannya karena—dalam kondisi Orde Baru—akan menjadi masalah bagi penulis Indonesia itu.

 

Sebagai gantinya, Tahar membaca Korupsi (1954), novel Pram yang diterjemahkan ke bahasa Perancis oleh Denys Lombard sebagai Corruption (1969). Buku ini membuat Tahar menulis novel L’Homme rompu (1994).

 

Judul bahasa Perancis yang artinya Lelaki yang Patah ini adalah permainan antara kata ”rompu” (patah) dan ”corrompu” (korup). Okke KS Zaimar yang menerjemahkan ke bahasa Indonesia mengembalikannya ke judul Korupsi (2010). Garis yang tumbuh melingkar bertemu asalnya setelah 56 tahun.

 

Solilokui dalam jazz

 

Saya membaca kedua buku dalam bahasa Indonesia secara kronologis dari Pram ke Tahar, dan menemukan keserupaannya. Masing-masing narator (”Aku” sebagai orang pertama) adalah koruptor dalam posisi psikososial sejenis, orang jujur yang lemah, sehingga menyerah atas desakan situasi di sekitar: lingkungan kerja (semuanya korupsi), lingkungan pribadi (istri atau kekasih), dan kondisi finansial (terlalu miskin).

 

Disebutkan, persamaan kondisi sosial ekonomi Indonesia dan Maroko sebagai negara berkembang menjadi pemantik Tahar menulis novel serupa. Namun, meski faktanya tidak keliru, perbandingan kedua novel menunjuk fakta lain.

 

Keserupaan itu menunjukkan, seperti dalam musik jazz, pemain kedua telah mengulang lagu pemain pertama, dengan permainan yang berbeda. Dalam hal Pram dan Tahar, lagu itu adalah alur yang mirip, tapi peran tokoh-tokohnya saling bertukar. Narator masih sama posisinya, tetapi pada Pram peran istri mengingatkan agar jangan korupsi, pada Tahar peran istri selalu merendahkan suaminya karena tidak berani korupsi.

 

Kedua suami ini mempunyai kekasih di luar rumah tangga, yang pada Pram mendorong korupsi, sedangkan pada Tahar membuatnya merenung. Masa depan anak-anak, pada Pram maupun Tahar, menjadi bagian pertimbangan apakah korupsi harus dilakukan, seolah-olah kedua koruptor adalah kepala rumah tangga yang ”bertanggung jawab”.

 

Fakta-susastra adalah naratif masing-masing peran sebagai solilokui (soliloquy): wacana dalam kepala diutarakan, seperti aktor di panggung berujar tanpa mesti ada peran pendengarnya. Dalam novel, pembaca mengikuti percakapan batin orang pertama, yang kepada dirinya sendiri terandaikan jujur, dan dalam gaya aku-an, puisi dan refleksi berkelindan.

 

Dengan puisi artinya kalimat-kalimat tertata dalam efek-susastra; dengan refleksi terbaca kegelisahan manusia, yang dalam kelemahannya tiada berdaya mengatasi tekanan, dan dalam kejujurannya tersiksa.

 

Idealisme dan realisme

 

Dalam kedua novel, terdapatlah cuplikan solilokui itu, percakapan seseorang dengan dirinya sendiri:

 

”Dari kaca kupandangi anak-anakku seorang demi seorang. Kurus-kurus kurang makan, tapi mereka mengalami hidup sebagai kanak-kanak. Tidak seperti aku dahulu. Aku tak pernah hidup sebagai kanak-kanak. Ayahku itu – ah, dia terlampau keras dan saban waktu aku diwajibkan belajar bekerja keras. Dan ibuku – ibuku yang keras itu juga – selalu dia mendorong aku ke depan meja dan dialah yang mengontrol pelajaranku. Dan apa hasilnya semua itu! Apa? : inilah yang nampak seluruhnya di depan cermin – aku. Sudah tua, kehabisan waktu untuk hidup berbahagia dengan usaha yang sewajarnya dan akan memilih jalan yang paling revolusioner.” (Toer, 2002: 46).

 

”Kamu harus punya teman-teman baru, pergi keluar, menunjukkan dirimu, pergi ke bar-bar, menyuguhkan minuman, mengatur makan malam, pesta-pesta, pendeknya masuk ke dalam kulit orang-orang yang korup. Pada mulanya, kamu tidak akan merasa nyaman. Namun, sesudah beberapa hari akan kamu rasakan bahwa kamu dapat menempatkan diri dengan baik dalam situasi itu. Kamu akan terbiasa dan akan kamu lihat dunia dengan mata yang sama sekali baru. Dalam hidup, kita tak akan punya apa-apa kalau tak mau mengambil risiko.” (Ben Jelloun, 2010: 108).

 

Menarik untuk membandingkan akhir kedua novel. Pada Pram, tokohnya justru lega ketika dipenjara karena anak buahnya tetap idealis, seperti metafor keselamatan bangsa. Pada Tahar, tokohnya berdamai dengan diri sendiri karena dirinya hanyalah sebagian dari keluarga besar para koruptor.

 

Pram dan Tahar seperti bertukar tempat. Pram dengan segenap pengalaman (sampai tahun 1954) maupun realisme penulisannya menunjukkan tokohnya masih idealis. Sebaliknya Tahar, yang permainan ulangnya atas alur Pram berbumbu surealisme dalam solilokui tokohnya, menjadikan tokoh itu seorang realis.

 

Koruptor dan konstruksi

 

Lepas dari susastra, menengok teori-teori korupsi, dalam konteks psikososial kedua insan koruptor ini terdorong oleh stimuli negatif: perasaan tidak aman (insecurity) yang selain terhubung dengan masa kanak-kanak (individual), berkombinasi dengan tekanan di tempat kerja maupun oleh pasangan (sosial).

 

Konsep ini bekerja sama dengan teori peluang (opportunity theory): manusia akan mengambil keuntungan dari munculnya peluang pada ruang dan waktu yang tepat. Juga terhubung dengan teori pilihan rasional (rational choice theory): korupsi tetap dilakukan setelah untung-rugi dipertimbangkan (Holmes, 2015: 56-8).

 

Betapapun, korupsi hitam, abu-abu, bahkan putih sekalipun (keluarga polisi disandera misalnya), semuanya berkategori melanggar hukum.

 

Begitulah susastra membuat pembaca mengerti karena ikut merasakan dan mengalami pandangan subyek. Teori-teori membuat pembaca memahami konstruksi budaya korupsi. Hukum menunjukkan betapa pengertian dan pemahaman tidak harus berarti memaklumi, apalagi mengampuni. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar