Solilokui
Para Koruptor Seno Gumira Ajidarma ; Wartawan |
KOMPAS,
28 Februari
2021
Tahar Ben Jelloun, penulis Maroko yang
tinggal di Perancis, berada di Jakarta pada 1992. Maksud hati menemui
Pramoedya Ananta Toer, tetapi dianjurkan untuk tidak melakukannya
karena—dalam kondisi Orde Baru—akan menjadi masalah bagi penulis Indonesia
itu. Sebagai gantinya, Tahar membaca Korupsi
(1954), novel Pram yang diterjemahkan ke bahasa Perancis oleh Denys Lombard
sebagai Corruption (1969). Buku ini membuat Tahar menulis novel L’Homme rompu
(1994). Judul bahasa Perancis yang artinya Lelaki
yang Patah ini adalah permainan antara kata ”rompu” (patah) dan ”corrompu”
(korup). Okke KS Zaimar yang menerjemahkan ke bahasa Indonesia
mengembalikannya ke judul Korupsi (2010). Garis yang tumbuh melingkar bertemu
asalnya setelah 56 tahun. Solilokui
dalam jazz Saya membaca kedua buku dalam bahasa
Indonesia secara kronologis dari Pram ke Tahar, dan menemukan keserupaannya.
Masing-masing narator (”Aku” sebagai orang pertama) adalah koruptor dalam
posisi psikososial sejenis, orang jujur yang lemah, sehingga menyerah atas
desakan situasi di sekitar: lingkungan kerja (semuanya korupsi), lingkungan
pribadi (istri atau kekasih), dan kondisi finansial (terlalu miskin). Disebutkan, persamaan kondisi sosial
ekonomi Indonesia dan Maroko sebagai negara berkembang menjadi pemantik Tahar
menulis novel serupa. Namun, meski faktanya tidak keliru, perbandingan kedua
novel menunjuk fakta lain. Keserupaan itu menunjukkan, seperti dalam
musik jazz, pemain kedua telah mengulang lagu pemain pertama, dengan
permainan yang berbeda. Dalam hal Pram dan Tahar, lagu itu adalah alur yang
mirip, tapi peran tokoh-tokohnya saling bertukar. Narator masih sama
posisinya, tetapi pada Pram peran istri mengingatkan agar jangan korupsi,
pada Tahar peran istri selalu merendahkan suaminya karena tidak berani
korupsi. Kedua suami ini mempunyai kekasih di luar
rumah tangga, yang pada Pram mendorong korupsi, sedangkan pada Tahar
membuatnya merenung. Masa depan anak-anak, pada Pram maupun Tahar, menjadi
bagian pertimbangan apakah korupsi harus dilakukan, seolah-olah kedua
koruptor adalah kepala rumah tangga yang ”bertanggung jawab”. Fakta-susastra adalah naratif masing-masing
peran sebagai solilokui (soliloquy): wacana dalam kepala diutarakan, seperti
aktor di panggung berujar tanpa mesti ada peran pendengarnya. Dalam novel,
pembaca mengikuti percakapan batin orang pertama, yang kepada dirinya sendiri
terandaikan jujur, dan dalam gaya aku-an, puisi dan refleksi berkelindan. Dengan puisi artinya kalimat-kalimat
tertata dalam efek-susastra; dengan refleksi terbaca kegelisahan manusia,
yang dalam kelemahannya tiada berdaya mengatasi tekanan, dan dalam
kejujurannya tersiksa. Idealisme
dan realisme Dalam kedua novel, terdapatlah cuplikan
solilokui itu, percakapan seseorang dengan dirinya sendiri: ”Dari kaca kupandangi anak-anakku seorang
demi seorang. Kurus-kurus kurang makan, tapi mereka mengalami hidup sebagai
kanak-kanak. Tidak seperti aku dahulu. Aku tak pernah hidup sebagai
kanak-kanak. Ayahku itu – ah, dia terlampau keras dan saban waktu aku
diwajibkan belajar bekerja keras. Dan ibuku – ibuku yang keras itu juga –
selalu dia mendorong aku ke depan meja dan dialah yang mengontrol
pelajaranku. Dan apa hasilnya semua itu! Apa? : inilah yang nampak seluruhnya
di depan cermin – aku. Sudah tua, kehabisan waktu untuk hidup berbahagia
dengan usaha yang sewajarnya dan akan memilih jalan yang paling
revolusioner.” (Toer, 2002: 46). ”Kamu harus punya teman-teman baru, pergi
keluar, menunjukkan dirimu, pergi ke bar-bar, menyuguhkan minuman, mengatur
makan malam, pesta-pesta, pendeknya masuk ke dalam kulit orang-orang yang
korup. Pada mulanya, kamu tidak akan merasa nyaman. Namun, sesudah beberapa
hari akan kamu rasakan bahwa kamu dapat menempatkan diri dengan baik dalam
situasi itu. Kamu akan terbiasa dan akan kamu lihat dunia dengan mata yang
sama sekali baru. Dalam hidup, kita tak akan punya apa-apa kalau tak mau
mengambil risiko.” (Ben Jelloun, 2010: 108). Menarik untuk membandingkan akhir kedua
novel. Pada Pram, tokohnya justru lega ketika dipenjara karena anak buahnya
tetap idealis, seperti metafor keselamatan bangsa. Pada Tahar, tokohnya
berdamai dengan diri sendiri karena dirinya hanyalah sebagian dari keluarga
besar para koruptor. Pram dan Tahar seperti bertukar tempat.
Pram dengan segenap pengalaman (sampai tahun 1954) maupun realisme
penulisannya menunjukkan tokohnya masih idealis. Sebaliknya Tahar, yang
permainan ulangnya atas alur Pram berbumbu surealisme dalam solilokui
tokohnya, menjadikan tokoh itu seorang realis. Koruptor
dan konstruksi Lepas dari susastra, menengok teori-teori
korupsi, dalam konteks psikososial kedua insan koruptor ini terdorong oleh
stimuli negatif: perasaan tidak aman (insecurity) yang selain terhubung
dengan masa kanak-kanak (individual), berkombinasi dengan tekanan di tempat
kerja maupun oleh pasangan (sosial). Konsep ini bekerja sama dengan teori
peluang (opportunity theory): manusia akan mengambil keuntungan dari
munculnya peluang pada ruang dan waktu yang tepat. Juga terhubung dengan
teori pilihan rasional (rational choice theory): korupsi tetap dilakukan
setelah untung-rugi dipertimbangkan (Holmes, 2015: 56-8). Betapapun, korupsi hitam, abu-abu, bahkan
putih sekalipun (keluarga polisi disandera misalnya), semuanya berkategori
melanggar hukum. Begitulah susastra membuat pembaca mengerti
karena ikut merasakan dan mengalami pandangan subyek. Teori-teori membuat
pembaca memahami konstruksi budaya korupsi. Hukum menunjukkan betapa
pengertian dan pemahaman tidak harus berarti memaklumi, apalagi mengampuni. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar