Senin, 01 Maret 2021

 

Oh, Jakarta

 Bre Redana  ;  Penulis kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu

                                                     KOMPAS, 28 Februari 2021

 

 

                                                           

Banyak rumah teman saya di Jakarta kebanjiran pekan lalu. Di antaranya rumah sahabat saya, Ceka, di Kemang. Rumah dia berhadap-hadapan dengan rumah budayawan kondang yang juga saya kenal baik, Sardono W Kusumo.

 

Air surut dalam semalam. Saya bersiap untuk membantu bersih-bersih andai kata dibutuhkan, tapi ia menentukan menyewa jasa pihak profesional. Saya yakin rumahnya saat ini sudah bersih dan kinclong kembali. Selain pintar masak dan menata rumah, Ceka adalah wanita yang sangat mandiri.

 

Di Jakarta yang sebagian wilayahnya langganan banjir, yang lebih sukar surut menurut saya bukan air, tapi kebencian. Ketika sejumlah kota terlanda banjir dan Jakarta tampak lumayan baik-baik saja, bahkan ada penghuni Jakarta berujar, lihat aja ntar. Sindroma patologi sosial: tidak lega kalau kotanya tidak banjir dan bisa punya kesempatan untuk saling menyalahkan.

 

Betullah Umberto Eco. Dalam Chronicles of a Liquid Society, dia menulis antara lain soal benci dan cinta (On hatred and on love). Menurut Eco, kebencian bisa bersifat kolektif dan mudah dikembangbiakkan.

 

Rezim totaliter jelas membutuhkan kebencian. Begitupun rezim-rezim lain entah itu diktatoriat kapitalis, sosialisme proletar, tidak ketinggalan tentu saja fundamentalisme agama. Mereka menanamkan dan menyebarluaskan kebencian sebab kebencian memiliki daya menyatukan rakyat. Orang yang bersedia meledakkan diri dengan bom sulit dibayangkan bahwa ia mencintai sesuatu. Lebih mungkin dia membenci sesuatu secara mendalam.

 

Eco mengenang masa kecil di Italia. Rezim fasis mengajarkan para murid untuk membenci pihak-pihak yang dikategorikan layak dibenci. Umpatan-umpatannya rasis.

 

Di Indonesia, fasisme dianggap tidak ada dan sama sekali dianggap bukan ancaman. Ancaman paling serius yang ditanamkan pada rakyat adalah komunisme. Orang memburu komunis, mencari-cari dan menghidupkannya ketika binatangnya telah tiada, mengambil risiko ditertawakan anak-anak ”zaman now”.

 

Tentu saja dalam hal banjir tadi pandangan saya kemungkinan terdistorsi bias media sosial. Media sosial kebanyakan isinya melulu pemujaan membabi buta pada satu pihak atau seseorang, dan kebencian tidak kalah dahsyat kepada pihak atau pribadi yang lain. Yang satu dianggap malaikat, satu lagi dianggap setan, bahkan andaikan sebutlah dua-duanya gemar bohong dan doyan kamera. Buzzer mana peduli.

 

Saya yakin di dunia nyata masih banyak orang waras dan gemar tolong-menolong. Jadi ingat pengalaman beberapa tahun lalu ketika banjir besar melanda Jakarta. Seorang teman perempuan bertahan di rumahnya di Kelapa Gading yang terkepung banjir. Teman-teman, tanpa seragam bertulis bakti sosial, bergiliran menyuplai kebutuhan pokok setiap hari.

 

Giliran para cowok piket, hari itu teman perempuan tadi menyatakan hanya butuh dibelikan pembalut wanita. Kami ke supermarket mencari pembalut. Ternyata pembalut ada ukurannya. Model dan bentuknya pun beda-beda. Tak terlupakan, kami malah kena semprot ketika menelepon dan dengan bahasa lugu bertanya ukuran dia.

 

Berbeda dari yang sering diucapkan orang bahwa benci dan cinta adalah dua sisi dari satu mata uang, kembali menurut Eco, cinta bukanlah kebalikan dari benci. Jika saya mencintai istri saya, bukan berarti saya membenci yang bukan istri saya.

 

Orangtua yang mencintai anak-anaknya juga bukan berarti membenci anak-anak yang bukan anaknya. Tepatnya, mereka mencintai anaknya, kurang cinta atau kurang peduli pada anak-anak yang bukan anaknya.

 

Cinta sifatnya eksklusif, posesif, sulit dibikin jadi produk massal seperti kebencian. Meski dalam sistem kepercayaan saya ada perintah untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri, saya rasa tidak masuk akal seseorang sanggup mencintai delapan miliar penduduk bumi secara sama rata sama rasa.

 

Tidak peduli teman atau bukan, apa pun agama dan pilihan politiknya, semoga semua bisa mengatasi dan keluar dari keadaan sulit sekarang ini. Jangkauan tangan manusia terbatas, barangkali hanya bisa memeluk satu dua orang saja yang dicinta.

 

Menurut saya, itu jauh lebih baik daripada mengumbar kebencian yang diam-diam sejatinya menggerogoti kemanusiaan kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar