Sabtu, 13 Maret 2021

 

Salah Urus Impor Beras 1 Juta Ton

 Khudori  ; Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

                                                        KOMPAS, 12 Maret 2021

 

 

                                                           

Sikap tegas disuarakan Kompas (6/3/2021). Lewat Tajuk Rencana ”Menyoal Rencana Impor Beras” ditulis, ”Pemerintah sebaiknya menarik kembali rencana impor beras karena berbagai fakta memperlihatkan kondisi pangan nasional tidak bermasalah atau setidaknya tak ada tanda-tanda bermasalah.”

 

Siapa pun yang membaca bisa memahami ada proses yang putus ketika pemerintah menetapkan rencana impor beras 1 juta ton: justifikasi kebijakan tidak kuat.

 

Kala justifikasi lemah, kebijakan pun digugat. Pertama, rencana impor dilakukan saat panen raya. Ini tak tepat. Dari pengalaman puluhan tahun diketahui, irama tanam padi serentak menghasilkan irama panen yang ajek: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65 persen dari total produksi), panen gadu (Juni-September dengan 25-30 persen dari total produksi), dan paceklik (Oktober-Januari).

 

Saat panen raya, produksi melimpah dan kualitas gabah/beras menurun. Harga pun turun. Saat musim gadu, kualitas membaik dan harga gabah/beras terus naik. Harga gabah/beras mencapai puncak pada musim paceklik. Selain kualitasnya bagus, produksi juga terbatas. Hukum supply-demand berlaku. Impor saat panen raya berpotensi menekan harga ke titik terendah.

 

Musim panen, apalagi panen raya, adalah waktu yang ditunggu-tunggu petani. Proses dari mengolah tanah, menanam, memupuk, dan merawat padi hingga panen merupakan perjuangan yang melelahkan.

 

Saat padi diserang hama/penyakit, petani berjibaku agar tanamannya selamat. Kala pupuk subsidi sulit didapat saat dibutuhkan, petani tak enggan merogoh kocek lebih dalam agar tanamannya tumbuh sehat.

 

Harapannya, seluruh pengeluaran itu terbayar saat panen: harga menguntungkan. Keuntungan tak hanya agar mereka bisa memenuhi kebutuhan hidup, tapi juga melanjutkan usaha tani. Harga gabah dan beras yang kini turun akan tertekan kian dalam karena impor. Ini mengkhianati usaha petani.

 

Kedua, impor dilakukan saat produksi melimpah. Pada 1 Maret lalu, BPS merilis produksi beras Januari-April 2021 diperkirakan 14,56 juta ton, lebih tinggi 26,84 persen dari 2020 (11,46 juta ton) dan 6,67 persen pada 2019 (13,63 juta ton). Ini karena ada kenaikan luas panen. La Nina membuat daerah-daerah yang biasanya kekurangan air jadi tercukupi.

 

Jika pemerintah bisa mengoptimalkan potensi ini, ada peluang besar produksi 2021 lebih baik daripada tahun-tahun sebelumnya. Artinya, surplus tahun ini berpeluang lebih besar daripada 2020: 1,90 juta ton beras. Ditambah akumulasi 2019, surplus kini 7,78 juta ton. Beras tersebar di rumah tangga, petani, pedagang, penggilingan, dan di gudang Bulog.

 

Jika produksi naik, bahkan melimpah, dan surplus besar, pertanyaannya: mengapa harus impor? Seperti dijelaskan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, 0,5 juta ton beras impor untuk cadangan beras pemerintah (CBP) bernama stok besi (iron stock). Stok ini harus ada kapan pun. Sisanya, 0,5 juta ton untuk keperluan Bulog.

 

Jika ini tujuannya, mengapa tak mengoptimalkan penyerapan produksi domestik? Saat ini waktu paling tepat memperbesar penyerapan. Pengalaman puluhan tahun mengajarkan serapan Bulog 65 persen terjadi saat panen raya. Jika panen raya terlewatkan, dipastikan target penyerapan meleset dan peluang menyelamatkan petani saat harga tertekan sirna.

 

Pada 2021, stok awal beras di gudang Bulog hanya 981.547 ton, lebih rendah daripada stok awal 2020 (2.024.006 ton) dan 2019 (2.194.009 ton). Stok awal tahun ini mirip 2017: 960.345 ton beras. Stok awal tahun di bawah 1 juta ton tergolong rendah dan riskan. Kekuatan pemerintah untuk mengintervensi jika ada kegagalan pasar akan rendah.

 

Ditilik dari sisi ini, rencana pemerintah memperbesar stok bisa diterima. Namun, sekali lagi, seharusnya stok tidak dipupuk dari impor, tetapi dari penyerapan beras domestik.

 

Mengapa stok beras awal tahun rendah? Jika dilihat lebih dalam, ada hal menarik. Stok beras awal tahun rendah beririsan dengan penyerapan domestik yang kian mengecil dan hilangnya outlet penyaluran pelayanan publik oleh Bulog.

 

Sejak 2017, penyerapan beras domestik Bulog terus turun: 2,16 juta ton (2017) menjadi 1,47 juta ton (2018), 1,20 juta ton (2019), dan 1,25 juta ton (2020). Pada saat yang sama, outlet penyaluran beras Bulog untuk rastra/bantuan pangan nontunai menciut: 2,54 juta ton (2017), 1,20 juta ton (2018), 351.000 ton (2019), dan habis pada 2020. Padahal, periode 2010-2016 rerata penyerapan beras domestik 2,4 juta ton per tahun dan penyaluran rerata 2,82 juta ton.

 

Bulog hanya operator. Kala pemerintah membuat kebijakan dengan meniadakan outlet penyaluran pasti, direksi Bulog harus melakukannya. Di sisi lain, sebagai BUMN berbentuk perum, direksi Bulog berkewajiban menyetorkan keuntungan ke kas negara. Jika merugi, setiap saat mereka bisa diganti.

 

Penurunan penyerapan beras domestik yang diikuti mengecilnya stok beras awal tahun bisa dimaknai sebagai cara direksi Bulog untuk menjaga keseimbangan: tetap menjalankan fungsi publik (yang kian minimal) dan tidak rugi.

 

Apakah ini salah? Diakui atau tidak, manajemen Bulog terlalu lama hidup dalam zona aman. Mereka lupa bertransformasi. Namun, mencabut bisnis inti Bulog tanpa proses transisi tentu tak bijak. Bulog tak hanya oleng, tetapi berpotensi bangkrut.

 

Di gudang Bulog, per 5 Maret 2021 masih ada 279.744 ton beras eks impor 2018 serta 172.988 ton beras penyerapan domestik 2018 dan 2019. Beras ini berpotensi turun mutu jika tak segera disalurkan. Jangan sampai keributan disposal 20.000 ton beras CBP akhir 2019 kembali terulang.

 

Jika pemerintah tetap mengimpor 1 juta ton beras, bagaimana nasib beras sisa impor dan hasil serapan 2018 dan 2019 itu? Bisa dipastikan, pemaksaan impor beras 1 juta ton akan membuat salah urus perberasan nasional makin akut.

 

Salah kalkulasi impor 2018, absurditas beleid harga eceran tertinggi (HET), dan kehadiran Satgas Pangan telah memukul industri perberasan. Jangan dibuat makin kusut.

 

Misi suci

 

Kebutuhan mendesak saat ini adalah memecahkan outlet beras stok lama, bukan impor. Jika disalurkan lewat skema normal di Bulog saat ini, yakni operasi pasar bernama ketersediaan pasokan dan stabilisasi harga, pasti sulit terjual.

 

Alternatifnya beras dilelang. Berapa pun harganya, beras dilepas. Jika ada kerugian, karena ini CBP, Bulog mendapat penggantian dari pemerintah. Cara ini hampir dipastikan ditolak pemerintah karena alasan tak ada anggaran.

 

Bukankah Bulog menjalankan tugas pemerintah sebagai bagian hadirnya negara? Logikanya, jika tugas dijalankan dengan prudent dan merugi, semestinya kerugian ditanggung pemerintah. Bukan diletakkan di pundak direksi Bulog.

 

Konfigurasi ini menunjukkan, tanpa banyak kita sadari, satu demi satu salah urus di industri perberasan bermunculan sejak kebijakan terfragmentasi yang ditandai tidak terintegrasi hulu-tengah-hilir. Ini terjadi sejak rastra diubah menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT) pada 2017.

 

Saat masih bernama rastra, di hulu Bulog harus melakukan pengadaan (dengan menyerap beras produksi petani domestik pada harga yang dipatok pemerintah), mengelola cadangan dan mendistribusikan stok di tengah, serta menyalurkan beras (ke sasaran) di hilir.

 

Pada BPNT, tugas di hulu dan tengah masih ada, tapi outlet penyaluran di hilir ditiadakan. Sebagai gantinya disediakan outlet operasi pasar yang tak pasti.

 

Ketika outlet dihapus, tidak relevan menugaskan Bulog menyerap beras petani. Menceraikan Bulog dari outlet penyaluran pasti sama halnya memisahkan dari kewajiban negara melakukan stabilisasi harga dan ketahanan pangan, seperti amanat konstitusi.

 

UU Pangan No 18/2012 dan UU Perdagangan No 7/2014 telah memberikan mandat tegas: negara harus menjamin ketersediaan dan akses warga terhadap pangan serta negara harus mengendalikan ketersediaan, mengatur perdagangan, stabilisasi, dan cadangan pangan (pokok).

 

Keberadaan Bulog adalah pengejawantahan dari misi suci (mission sacre) kehadiran negara sebagai penjamin terpenuhinya hak pangan warga.

 

Di Indonesia, harga pangan sering bergejolak karena struktur dan mekanisme pasar masih jauh dari persaingan sempurna. Produsen, pengusaha, atau sekelompok kecil orang yang memiliki kuasa mengendalikan pasokan dan mengatur harga di pasar masih terbuka celah melakukan kartel dan persekongkolan guna mengatur volume, harga, dan wilayah distribusi.

 

Kehadiran lembaga seperti Bulog adalah wujud keberadaan negara untuk mengoreksi watak predatorik pasar, melindungi warga dari perilaku kuasa pasar yang cenderung mengisap, dan menempatkan negara pada posisi terhormat. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar