Pemberantasan
Korupsi, antara Komitmen dan Keraguan Amir Syamsudin ; Mantan Menteri Hukum dan HAM |
KOMPAS,
04 Maret
2021
Akhir 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) secara mengejutkan berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT)
terhadap dua menteri pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Keberhasilan KPK tersebut menutup tahun
penuh tantangan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi karena
begitu banyak gesekan antara para pegiat antikorupsi dan pemerintah dan DPR
yang diikuti dengan demo besar-besaran terkait dengan revisi UU KPK yang
dianggap melemahkan KPK. Di awal tahun 2021, Lembaga Transparency
International Indonesia (TII) melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
Indonesia Tahun 2020 mengalami penurunan signifikan, hal mana diartikan oleh
para pegiat sebagai bukti tidak jelasnya politik hukum pemerintah Jokowi di
dalam upaya penegakan hukum korupsi akibat dukungan pemerintah terhadap
revisi UU KPK. Tentu saja publik saat ini dihadapkan pada
kondisi antara fakta tentang prestasi KPK dan persepsi publik tentang upaya
pemberantasan korupsi yang menurun. Pertanyaannya benarkah politik hukum
pemerintah tidak jelas tentang penegakan hukum korupsi sebagaimana dinyatakan
oleh ICW. Antara
komitmen dan keraguan antikorupsi Pidato Presiden Jokowi dalam peringatan
Hari Antikorupsi Sedunia tertanggal 16 Desember 2020 menegaskan komitmen
pemerintah di dalam upaya pemberantasan korupsi dengan mengemukakan tiga
kebijakan dasar dalam upaya pemberantasan korupsi, antara lain, membangun
budaya malu antikorupsi; mendorong pendidikan antikorupsi bagi generasi masa
depan antikorupsi; dan pembangunan sistem antikorupsi. Dari kebijakan dasarnya, pemerintah
kemudian menegaskan kebijakan strategis di bidang pemberantasan korupsi,
antara lain, memperkuat perizinan, tata niaga dan kelola keuangan negara dan
birokrasi; memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawasan publik termasuk
dari LSM dan media massa; meningkatkan transparansi kontrak; dan memastikan
partisipasi warga di ruang publik dan menjamin akses data publik. Di lain pihak, para pegiat antikorupsi,
antara lain ICW, meragukan komitmen pemerintah di atas mengingat persepsi
publik terhadap kebijakan pemerintah di bidang penegakan hukum korupsi justru
melemah akibat dukungan pemerintah terhadap revisi UU KPK, apalagi adanya
pemberian grasi Presiden dan pengurangan hukuman pengadilan terhadap
terpidana koruptor. Menurut ICW, Laporan Lembaga Transparency
International Indonesia (TII) tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia
Tahun 2020 mempertegas keraguan tentang lemahnya penegakan hukum korupsi.
Bahkan, ICW dengan tegas menyatakan kondisi demikian membuktikan tidak jelas
arah politik hukum pemerintah terkait dengan pemberantasan korupsi. Sementara itu, fakta yang terjadi ternyata
KPK di akhir tahun 2020 berhasil menangkap dua pejabat setingkat menteri
dalam pemerintahan Jokowi dalam selang waktu yang hampir bersamaan, yang
ternyata dalam catatan kami belum pernah terjadi di era pemerintahan
sebelumnya. Ini prestasi yang cukup mengembirakan bagi
KPK yang telah begitu diragukan kredibilitas pemimpin barunya, apalagi dengan
berlakunya UU KPK yang baru. Namun, fakta ini dilihat oleh para pegiat
antikorupsi, seperti ICW, sebagai hal yang bisa saja tidak sebanding dengan
kuantitas penangkapan para tersangka koruptor di era kepemimpinan KPK yang
lama. Apa pun pendapat para pegiat antikorupsi,
tentu saja publik yang selama ini selalu percaya akan persepsi antikorupsi
yang selalu dominan diterima publik menjadi goyah. Ternyata KPK yang
diragukan kredibilitas pemimpinnya sekalipun dengan revisi UU KPK yang baru
dapat pula melakukan tugasnya dengan baik termasuk OTT dua orang menteri dari
pemerintahan Jokowi. Yang menarik lagi bahwa salah satu menteri
tersebut ternyata berasal dari partai yang berkuasa yang boleh dianggap tak
dapat disentuh mengingat begitu berkuasanya partai tersebut di parlemen.
Secara obyektif, hal ini perlu dimaknai oleh publik bahwa kinerja KPK
ternyata tidak bisa dilihat dari seberapa besar komitmen pemerintah dan DPR
terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal yang sama pernah terjadi di era
pemerintahan sebelumnya bahwa tertangkapnya para koruptor yang dianggap dekat
dengan presiden bukan berarti pemerintahan presiden saat itu korup atau
komitmen pemerintah terhadap antikorupsi berkurang, tetapi justru yang
terjadi bisa sebaliknya. Perbedaan pendapat antara pemerintah dan
para pegiat antikorupsi di atas membuka kembali persoalan dasar apa yang
disebut sebagai logika antikorupsi yang telah terbangun selama ini. Logika antikorupsi global termasuk
Indonesia ternyata diartikulasikan sebagai agregasi masalah yang saling
tumpang-tindih antara masalah sosial, hukum, politik, dan kekuasaan. Tidak jarang, seperti yang dikatakan Mahfud
MD, penguatan demokrasi terkadang justru melemahkan penegakan hukum akibat
intervensi kekuasaan dan politik. Demikian juga masalah sosial dan ekonomi
sering men-downgrade-kan kinerja aparatur dan institusi hukum. Logika
antikorupsi Kita semua tahu bahwa logika antikorupsi
dunia dan Indonesia selama ini dibentuk oleh pemahaman kita tentang korupsi
sebagai kejahatan luar biasa yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond
the each of the law) karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi
(economic power) dan kekuasaan umum (public power) yang merusak tatanan
kehidupan masyarakat sehingga perlu ditangani secara extra ordinary
enforcement. Logika antikorupsi semacam ini sangat
memengaruhi persepsi masyarakat tentang korupsi sehingga menjadi sebuah
jargon antikorupsi yang terlindungi dari kritik atau anti kritik. Akibatnya,
gerakan antikorupsi 10 tahun terakhir sangat masif dilancarkan tanpa sikap
kritis sebagai gerakan yang menyasar nilai-nilai bermasyarakat dan sistem
pengelolaan negara yang dianggap korup. Ujungnya, semangat antikorupsi justru
mengarah pada upaya diskriminasi dan kriminalisasi perilaku-perilaku yang tak
cukup syarat untuk digolongkan sebagai tindakan korupsi. Sejak berlakunya UU KPK yang baru, sebagian
ahli dan pengamat beranggapan bahwa korupsi di Indonesia sudah dimaknai
sebagai masalah hukum dari sebuah pelanggaran aturan negara sehingga
kejahatan korupsi tidak lagi menjadi sebuah kejahatan yang luar biasa karena
setiap perbuatan yang melanggar hukum atau melanggar hukum positif kita dapat
segera disangkakan sebagai perbuatan korupsi. Hal ini faktanya terjadi karena korupsi
menurut undang-undang kita adalah perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum
yang pada umumnya dimaknai sebagai melawan hukum tertulis atau peraturan
perundang-undangan. Akibatnya, tindak pidana korupsi di Indonesia sangat
mudah dijangkau hukum. Jangankan pelaku ecek-ecek, seorang dengan
jabatan menteri saja bisa mudah ditangkap karena diduga melakukan tindak
pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu kita rekonstruksi istilah korupsi
apakah sebagai sebuah kejahatan biasa terhadap hukum negara ataukah kejahatan
kemanusiaan yang perlu ditangani dengan cara yang luar biasa. Kita masih ingat ketika tejadi revisi UU
Tipikor yang lalu, para pegiat antikorupsi meradang karena dianggap sebagai
upaya melemahkan KPK karena dasar pemikirannya tidak ada kompromi dengan
korupsi karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, sementara teman-teman
kita di parlemen tanpa disadari telah membangun konstruksi korupsi sebagai
kejahatan melawan hukum negara sehingga setiap pelanggaran hukum harus
melalui due process yang berdasarkan hukum. Oleh karena itu, dapat dimaklumi ketika
revisi UU KPK membolehkan adanya SP3, hakim pengawas dan izin pengadilan, hal
mana dianggap bertentangan dengan logika antikorupsi yang ada. Dengan demikian, logika antikorupsi ke
depan harus dimaknai lebih kontekstual. Keberhasilan upaya penegakan hukum
korupsi tidak diukur dari seberapa banyak tersangka koruptor ditangkap, atau
seberapa besar hukuman yang diterima koruptor, tetapi ukurannya terletak pada
indikasi seberapa jauh keberhasilan pemerintah dan institusi penegak hukum
menjalankan program-programnya di bidang upaya penegakan hukum, dan seberapa
besar KPK dan institusi penegak hukum lainnya dapat melakukan pencegahan
terjadinya korupsi; dan seberapa jauh keberhasilan program pembentukan budaya
malu korupsi dan pendidikan antikorupsi serta perbaikan sistem antikorupsi
yang dijalankan pemerintah dan institusi penegak hukum. Akhirnya, kita semua sepakat untuk
mendukung pemerintah di dalam menjalankan program-program besar di dalam
politik hukum penegakan hukum korupsi dengan upaya membangun budaya malu
korupsi, pendidikan antikorupsi dan perbaikan sistem. Ini rasanya cukup jelas
komitmen pemerintah di bidang penegakan hukum korupsi. Kita berharap sinergi kerja pemerintah
dengan institusi penegakan hukum di bidang korupsi dapat berjalan baik jauh
dari intervensi kekuasaan dan kepentingan politik. Rasanya tidak adil dan
tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan komitmen pemerintah di bidang
penegakan hukum korupsi sebelum kita dapat menilai keberhasilan kinerjanya
setahun ke depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar