Jumat, 05 Maret 2021

 

Pemberantasan Korupsi, antara Komitmen dan Keraguan

 Amir Syamsudin ; Mantan Menteri Hukum dan HAM

                                                        KOMPAS, 04 Maret 2021

 

 

                                                           

Akhir 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara mengejutkan berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua menteri pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

 

Keberhasilan KPK tersebut menutup tahun penuh tantangan terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi karena begitu banyak gesekan antara para pegiat antikorupsi dan pemerintah dan DPR yang diikuti dengan demo besar-besaran terkait dengan revisi UU KPK yang dianggap melemahkan KPK.

 

Di awal tahun 2021, Lembaga Transparency International Indonesia (TII) melaporkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2020 mengalami penurunan signifikan, hal mana diartikan oleh para pegiat sebagai bukti tidak jelasnya politik hukum pemerintah Jokowi di dalam upaya penegakan hukum korupsi akibat dukungan pemerintah terhadap revisi UU KPK.

 

Tentu saja publik saat ini dihadapkan pada kondisi antara fakta tentang prestasi KPK dan persepsi publik tentang upaya pemberantasan korupsi yang menurun. Pertanyaannya benarkah politik hukum pemerintah tidak jelas tentang penegakan hukum korupsi sebagaimana dinyatakan oleh ICW.

 

Antara komitmen dan keraguan antikorupsi

 

Pidato Presiden Jokowi dalam peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tertanggal 16 Desember 2020 menegaskan komitmen pemerintah di dalam upaya pemberantasan korupsi dengan mengemukakan tiga kebijakan dasar dalam upaya pemberantasan korupsi, antara lain, membangun budaya malu antikorupsi; mendorong pendidikan antikorupsi bagi generasi masa depan antikorupsi; dan pembangunan sistem antikorupsi.

 

Dari kebijakan dasarnya, pemerintah kemudian menegaskan kebijakan strategis di bidang pemberantasan korupsi, antara lain, memperkuat perizinan, tata niaga dan kelola keuangan negara dan birokrasi; memperkuat peran dan fungsi lembaga pengawasan publik termasuk dari LSM dan media massa; meningkatkan transparansi kontrak; dan memastikan partisipasi warga di ruang publik dan menjamin akses data publik.

 

Di lain pihak, para pegiat antikorupsi, antara lain ICW, meragukan komitmen pemerintah di atas mengingat persepsi publik terhadap kebijakan pemerintah di bidang penegakan hukum korupsi justru melemah akibat dukungan pemerintah terhadap revisi UU KPK, apalagi adanya pemberian grasi Presiden dan pengurangan hukuman pengadilan terhadap terpidana koruptor.

 

Menurut ICW, Laporan Lembaga Transparency International Indonesia (TII) tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia Tahun 2020 mempertegas keraguan tentang lemahnya penegakan hukum korupsi. Bahkan, ICW dengan tegas menyatakan kondisi demikian membuktikan tidak jelas arah politik hukum pemerintah terkait dengan pemberantasan korupsi.

 

Sementara itu, fakta yang terjadi ternyata KPK di akhir tahun 2020 berhasil menangkap dua pejabat setingkat menteri dalam pemerintahan Jokowi dalam selang waktu yang hampir bersamaan, yang ternyata dalam catatan kami belum pernah terjadi di era pemerintahan sebelumnya.

 

Ini prestasi yang cukup mengembirakan bagi KPK yang telah begitu diragukan kredibilitas pemimpin barunya, apalagi dengan berlakunya UU KPK yang baru. Namun, fakta ini dilihat oleh para pegiat antikorupsi, seperti ICW, sebagai hal yang bisa saja tidak sebanding dengan kuantitas penangkapan para tersangka koruptor di era kepemimpinan KPK yang lama.

 

Apa pun pendapat para pegiat antikorupsi, tentu saja publik yang selama ini selalu percaya akan persepsi antikorupsi yang selalu dominan diterima publik menjadi goyah. Ternyata KPK yang diragukan kredibilitas pemimpinnya sekalipun dengan revisi UU KPK yang baru dapat pula melakukan tugasnya dengan baik termasuk OTT dua orang menteri dari pemerintahan Jokowi.

 

Yang menarik lagi bahwa salah satu menteri tersebut ternyata berasal dari partai yang berkuasa yang boleh dianggap tak dapat disentuh mengingat begitu berkuasanya partai tersebut di parlemen. Secara obyektif, hal ini perlu dimaknai oleh publik bahwa kinerja KPK ternyata tidak bisa dilihat dari seberapa besar komitmen pemerintah dan DPR terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

 

Hal yang sama pernah terjadi di era pemerintahan sebelumnya bahwa tertangkapnya para koruptor yang dianggap dekat dengan presiden bukan berarti pemerintahan presiden saat itu korup atau komitmen pemerintah terhadap antikorupsi berkurang, tetapi justru yang terjadi bisa sebaliknya.

 

Perbedaan pendapat antara pemerintah dan para pegiat antikorupsi di atas membuka kembali persoalan dasar apa yang disebut sebagai logika antikorupsi yang telah terbangun selama ini.

 

Logika antikorupsi global termasuk Indonesia ternyata diartikulasikan sebagai agregasi masalah yang saling tumpang-tindih antara masalah sosial, hukum, politik, dan kekuasaan.

 

Tidak jarang, seperti yang dikatakan Mahfud MD, penguatan demokrasi terkadang justru melemahkan penegakan hukum akibat intervensi kekuasaan dan politik. Demikian juga masalah sosial dan ekonomi sering men-downgrade-kan kinerja aparatur dan institusi hukum.

 

Logika antikorupsi

 

Kita semua tahu bahwa logika antikorupsi dunia dan Indonesia selama ini dibentuk oleh pemahaman kita tentang korupsi sebagai kejahatan luar biasa yang sukar dijangkau oleh hukum (offences beyond the each of the law) karena melibatkan para pelaku kejahatan ekonomi (economic power) dan kekuasaan umum (public power) yang merusak tatanan kehidupan masyarakat sehingga perlu ditangani secara extra ordinary enforcement.

 

Logika antikorupsi semacam ini sangat memengaruhi persepsi masyarakat tentang korupsi sehingga menjadi sebuah jargon antikorupsi yang terlindungi dari kritik atau anti kritik. Akibatnya, gerakan antikorupsi 10 tahun terakhir sangat masif dilancarkan tanpa sikap kritis sebagai gerakan yang menyasar nilai-nilai bermasyarakat dan sistem pengelolaan negara yang dianggap korup. Ujungnya, semangat antikorupsi justru mengarah pada upaya diskriminasi dan kriminalisasi perilaku-perilaku yang tak cukup syarat untuk digolongkan sebagai tindakan korupsi.

 

Sejak berlakunya UU KPK yang baru, sebagian ahli dan pengamat beranggapan bahwa korupsi di Indonesia sudah dimaknai sebagai masalah hukum dari sebuah pelanggaran aturan negara sehingga kejahatan korupsi tidak lagi menjadi sebuah kejahatan yang luar biasa karena setiap perbuatan yang melanggar hukum atau melanggar hukum positif kita dapat segera disangkakan sebagai perbuatan korupsi.

 

Hal ini faktanya terjadi karena korupsi menurut undang-undang kita adalah perbuatan yang memenuhi unsur melawan hukum yang pada umumnya dimaknai sebagai melawan hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan. Akibatnya, tindak pidana korupsi di Indonesia sangat mudah dijangkau hukum.

 

Jangankan pelaku ecek-ecek, seorang dengan jabatan menteri saja bisa mudah ditangkap karena diduga melakukan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, perlu kita rekonstruksi istilah korupsi apakah sebagai sebuah kejahatan biasa terhadap hukum negara ataukah kejahatan kemanusiaan yang perlu ditangani dengan cara yang luar biasa.

 

Kita masih ingat ketika tejadi revisi UU Tipikor yang lalu, para pegiat antikorupsi meradang karena dianggap sebagai upaya melemahkan KPK karena dasar pemikirannya tidak ada kompromi dengan korupsi karena korupsi adalah kejahatan luar biasa, sementara teman-teman kita di parlemen tanpa disadari telah membangun konstruksi korupsi sebagai kejahatan melawan hukum negara sehingga setiap pelanggaran hukum harus melalui due process yang berdasarkan hukum.

 

Oleh karena itu, dapat dimaklumi ketika revisi UU KPK membolehkan adanya SP3, hakim pengawas dan izin pengadilan, hal mana dianggap bertentangan dengan logika antikorupsi yang ada.

 

Dengan demikian, logika antikorupsi ke depan harus dimaknai lebih kontekstual. Keberhasilan upaya penegakan hukum korupsi tidak diukur dari seberapa banyak tersangka koruptor ditangkap, atau seberapa besar hukuman yang diterima koruptor, tetapi ukurannya terletak pada indikasi seberapa jauh keberhasilan pemerintah dan institusi penegak hukum menjalankan program-programnya di bidang upaya penegakan hukum, dan seberapa besar KPK dan institusi penegak hukum lainnya dapat melakukan pencegahan terjadinya korupsi; dan seberapa jauh keberhasilan program pembentukan budaya malu korupsi dan pendidikan antikorupsi serta perbaikan sistem antikorupsi yang dijalankan pemerintah dan institusi penegak hukum.

 

Akhirnya, kita semua sepakat untuk mendukung pemerintah di dalam menjalankan program-program besar di dalam politik hukum penegakan hukum korupsi dengan upaya membangun budaya malu korupsi, pendidikan antikorupsi dan perbaikan sistem. Ini rasanya cukup jelas komitmen pemerintah di bidang penegakan hukum korupsi.

 

Kita berharap sinergi kerja pemerintah dengan institusi penegakan hukum di bidang korupsi dapat berjalan baik jauh dari intervensi kekuasaan dan kepentingan politik. Rasanya tidak adil dan tidak ada alasan bagi kita untuk meragukan komitmen pemerintah di bidang penegakan hukum korupsi sebelum kita dapat menilai keberhasilan kinerjanya setahun ke depan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar