Rabu, 03 Maret 2021

 

Mencari Pertumbuhan yang Berkeadilan dan Berkelanjutan

 Krisdyatmiko  ;  Ketua Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM; Peneliti di Institute for Research and Empowerment

                                                        KOMPAS, 01 Maret 2021

 

 

                                                           

Upaya memenuhi kebutuhan energi nasional secara mandiri sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi harus diletakkan dalam kerangka pemberdayaan untuk kesejahteraan rakyat.

 

Hampir setahun pandemi Covid-19 melanda Indonesia, di tengah keterpurukan perekonomian masyarakat, tiba-tiba muncul fenomena pembelian mobil  besar-besaran. Pembelinya adalah  warga beberapa desa di Kabupaten Tuban. Mereka memperoleh ganti untung dari tanah yang terkena proyek pembangunan kilang pengolahan minyak Pertamina, bekerja sama dengan Rosneft Rusia.

 

Proyek kilang Tuban strategis bagi pemenuhan kebutuhan energi nasional, sebab akan memberi tambahan pasokan kebutuhan BBM, LPG, dan petrokimia berkualitas untuk konsumsi dalam negeri. Sampai saat ini, kebutuhan BBM Indonesia masih tergantung impor yang berpotensi  membahayakan stabilitas energi dan aspek-aspek lanjutannya.

 

Ada tiga desa yang terkena dampak langsung pembangunan kilang Tuban, yaitu Desa Wadung, Desa Kali Untu, dan Desa Sumurgeneng. Beberapa warga semula menolak menjual tanahnya, tetapi akhirnya menerima begitu tahu  kompensasi ganti untung mencapai miliaran rupiah. Ratusan kepala keluarga menjadi orang kaya baru, sampai-sampai desanya pun punya sebutan baru ”Desa Miliarder”.

 

Mobilitas vertikal dan kesejahteraan semu

 

Saat menerima uang dalam jumlah besar, warga umumnya memaknai sebagai kesempatan mobilitas vertikal dengan mengonsumsi simbol-simbol yang merepresentasikan kalangan menengah ke atas.

 

Kuatnya penetrasi industri otomotif mampu membangun persepsi di masyarakat bahwa mobil bukan lagi sekadar alat transportasi, melainkan juga simbol kesejahteraan dan status sosial. Wajar jika pilihan mobil-mobil yang dibeli warga pun tergolong mobil mewah, bisa jadi untuk  menunjukkan bahwa mereka bukan lagi ”orang biasa”.

 

Namun, mobilitas vertikal seperti ini sangat rentan apabila tidak ada pendampingan sosial. Tanpa disadari, banyak yang sebenarnya tengah mengalami kesejahteraan semu, tidak terjamin keberlanjutannya.

 

Mereka telah kehilangan tanahnya, aset utama penopang keberlanjutan penghidupan. Padahal, desa-desa tersebut merupakan wilayah pertanian sehingga lahan pertanian merupakan modal utama untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga tani.

 

Apa yang harus mereka lakukan jika modal utama sudah hilang? Bagaimana sebaiknya mereka mengelola keuangannya—termasuk merintis usaha baru di luar sektor pertanian yang butuh proses yang panjang—agar tumbuh dan berkembang?

 

Persoalan ternyata tidak terhenti pada petani penjual lahan pertanian. Karakteristik petani di Indonesia yang banyak terdiri dari petani penggarap dan buruh tani membawa dampak lain.

 

Jika petani penjual lahan masih punya kesempatan alih profesi, lain halnya dengan penggarap dan buruh yang sepenuhnya kehilangan mata pencarian. Mereka sulit untuk pindah profesi karena tiadanya modal. Pandemi saat ini semakin mempersulit akses karena banyak sektor justru mengurangi tenaga kerjanya.

 

Amdal sosial dan riset aksi

 

Fenomena di Tuban ini menunjukkan cara pandang yang keliru dalam pengembangan kawasan industri di Indonesia. Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) cenderung mencakup aspek lingkungan fisik saja, tetapi miskin kajian tentang dampak sosial. Akibatnya, solusi yang diberikan untuk meminimalisasi dampak sosial juga bersifat parsial dan pragmatis.

 

Jika dampak sosial bagi petani adalah kehilangan lahan pertanian, solusi yang diberikan pun dengan memberi kompensasi yang layak atas lahan tersebut. Tanpa upaya lebih lanjut dalam konteks yang lebih luas tentang keberlanjutan penghidupan mereka dan pihak-pihak lain yang berkaitan dengan keberadaan lahan tersebut.

 

Aspek sosial dalam amdal, jika dilakukan secara serius, akan mampu memberi pemetaan sosial yang menyangkut analisis potensi penghidupan, analisis aktor, kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat. Dari hasil pemetaan sosial dirumuskan beragam program sebagai realisasi tanggung jawab sosial perusahaan.

 

Mengiringi kompensasi finansial, Pertamina-Rosneft sebenarnya membuat program pelatihan kepada warga desa untuk penguatan ekonomi dan pengelolaan uang agar tidak konsumtif. Namun, dalam perspektif pemberdayaan masyarakat, pelatihan yang pada umumnya hanya dilakukan beberapa jam atau hari, baru merupakan bagian kecil dari strategi untuk mencapai kemandirian.

 

Dibutuhkan pendampingan atau fasilitasi untuk mengawal tindak lanjut dari hasil pelatihan, di mana hari demi hari dan tahap demi tahap para community development officer dari Pertamina-Rosneft tumbuh berkembang bersama warga serta membangun kerja berjaringan lintas stakeholder.

 

Dengan demikian, program-program untuk masyarakat harus dilakukan sejak awal, tidak menunggu setelah kilang/industri beroperasi. Kekurangan ini rupanya telah disadari oleh Presiden Direktur PT Pertamina-Rosneft.

 

Pengolahan dan Petrokimia yang akan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk melakukan riset dan pemetaan kondisi warga dalam rangka membangun cetak biru CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) berbasis kearifan lokal (Kompas, 19 Februari 2021).

 

Semestinya, kajian sudah dilakukan jauh hari sebelum proyek dimulai dan dana kompensasi diberikan. Tetapi, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Hal yang harus dipastikan adalah kajian tidak hanya berhenti di kajian, tetapi menjadi aksi nyata pengembangan untuk pemberdayaan masyarakat. Riset aksi (action reseacrh) bisa menjadi alternatif metode kajiannya.

 

Permen LHK Nomor 1 Tahun 2021

 

Sebagai upaya mendorong perusahaan di Indonesia beroperasi dengan mengedepankan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah merumuskan Permen tentang Proper (Program Penilaian Kinerja Pengelolaan Lingkungan).

 

Proper telah berlangsung puluhan tahun dan dari waktu ke waktu terus diperbarui kriterianya sesuai dengan perkembangan zaman. Proper saat ini mampu menjadi rujukan sekaligus pemacu perusahaan di Indonesia untuk mengembangkan kinerja pengelolaan lingkungan dan sosial.

 

Salah satu kriteria dalam Proper berkaitan dengan tanggung jawab sosial agar perusahaan memiliki kepedulian terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat,  sekaligus menjamin pertumbuhan ekonomi yang menjadi tujuan juga dinikmati oleh masyarakat sebagai bagian dari shareholder.

 

Proper bisa menjadi panduan dalam tata kelola program CSR yang berorientasi pada pemberdayaan melalui inovasi sosial yang mengoptimalkan potensi lokal sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dan pemecahan masalah sosial.

 

Dengan cara ini, cita-cita untuk mewujudkan rakyat yang sejahtera dalam kerangka pluralisme kesejahteraan (welfare pluralism) melalui kolaborasi peran pemerintah, swasta, dan masyarakat akan menjadi keniscayaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar