Rabu, 03 Maret 2021

 

Data untuk Vaksinasi

 Agus Pramono ; Statistisi Badan Pusat Statistik RI

                                                        KOMPAS, 02 Maret 2021

 

 

                                                           

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin akan menggunakan data pemilih di Komisi Pemilihan Umum sebagai acuan program vaksinasi Covid-19. Data ini disebut paling terbarukan, lebih lagi belum lama digunakan untuk Pilkada 2020. Tantangan besar dari sebuah program massal memang akurasi data sehingga ini perlu dikawal bersama.

 

Secara regulasi, data pemilih hanya diperkenankan untuk kepentingan pemilu atau pilkada. Oleh karena itu, alih-alih menyerahkan data pemilih, anggota KPU, Hasyim Asy’ari, 29 Januari 2021, menyebutkan, mekanisme yang akan dilakukan bersama Kementerian Kesehatan hanya berupa pencocokan data atau sinkronisasi.

 

Sejauh ini belum disampaikan data mana yang akan disinkronkan dengan data KPU, tetapi dengan tenggat yang direncanakan selama 15 bulan dan skala vaksinasi yang menarget 181,5 juta orang jelas ini bukan tantangan mudah. Kita berharap kedua lembaga bisa mematangkan operasionalisasi teknisnya sesegera mungkin.

 

Tiga catatan

 

Di luar itu, paling tidak ada tiga hal yang perlu diantisipasi Kemenkes saat menggunakan data pemilih KPU sebagai validator. Situasi ini tak lepas dari peruntukan data pemilih KPU yang disusun dengan tujuan khusus (pemilu) sehingga memiliki filter tertentu dari data penduduk secara umum yang jadi target vaksinasi.

 

Pertama, cakupan data pemilih KPU lebih sedikit dari penduduk secara umum. Data pemilih KPU tak memuat data TNI/Polri yang tak memiliki hak pilih sehingga pembaruan data di kedua instansi perlu disiapkan secara beriringan. Data KPU juga tak termasuk penduduk WNA yang secara riil tinggal di Indonesia. Secara hak, tentu WNI harus didahulukan, tetapi sumber penyebaran virus tidak memandang kewarganegaraan.

 

Sembari menyiapkan kebijakan vaksinasi untuk WNA, pembaruan data untuk kelompok ini perlu disiapkan bersama instansi terkait, seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Ketenagakerjaan.

 

Kelompok lain adalah warga negara yang tak memiliki identitas kependudukan, seperti gelandangan atau tunawisma. Kelompok ini hak atas identitasnya belum terpenuhi. Jika kondisi itu menyebabkan hilangnya hak atas kesehatan (vaksinasi), maka ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula.

 

Kedua, perbedaan data administrasi dengan domisili. Data pemilih KPU berasal dari daftar penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang disusun Kementerian Dalam Negeri. Basis data ini adalah administrasi kependudukan, salah satunya alamat yang tercantum di KTP/kartu keluarga (KK).

 

Sejauh tak mengurus surat pindah, penduduk yang berdomisili di tempat lain masih tercatat sebagai pemilih di alamat KTP/KK-nya. Memang ada sebagian yang mengurus pindah memilih ke TPS sesuai domisili (tetap atau sementara) sehingga namanya masuk daftar pemilih tetap tambahan (DPTb).

 

Pada Pemilu 2019, menurut anggota KPU, Viryan Aziz, 21 Maret 2019, jumlah yang masuk dalam daftar ini 569.451 pemilih. Padahal, berdasarkan hasil sensus penduduk September 2020, jumlah penduduk yang domisilinya tak sesuai alamat KK sebanyak 23,47 juta orang atau 8,68 persen dari total populasi.

 

Jika tidak menghitung penduduk usia di bawah 17 tahun dari jumlah tersebut sekalipun, jumlahnya masih amat besar. Upaya pemetaan domisili riil penduduk dapat memudahkan distribusi dan alokasi vaksin dengan lebih tepat. Mekanisme pendaftaran pindah memilih yang digunakan KPU bisa diadopsi untuk pendaftaran pindah lokasi vaksinasi.

 

Ketiga, ketidaksempurnaan data pemilih KPU. Perbaikan data kependudukan Indonesia secara komprehensif ditandai dengan peluncuran program nomor induk kependudukan (NIK) nasional dan KTP elektronik oleh Kemendagri tahun 2010. Dalam kurun satu dasawarsa, menurut Dirjen Dukcapil, 3 November 2020, tinggal 2,7 juta masyarakat Indonesia yang belum memiliki KTP elektronik.

 

Ketidaksempurnaan seperti ini juga terjadi pada data pemilih KPU. Baik pada Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020, masih ditemukan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT sehingga harus memilih menggunakan KTP elektronik atau yang disebut masuk di daftar pemilih khusus (DPK).

 

Jika data DPK ini sudah diperbaiki dan masuk DPT, maka pembaruan telah dilakukan. Namun, jika belum, proses integrasi perlu dilakukan terlebih dahulu di data KPU. Pada dua hajatan politik ini juga masih ditemukan adanya pemilih ganda, sudah meninggal, atau masih di bawah umur.

 

Untuk melakukan pembaruan dengan pengecekan lapangan rasanya sudah tak tersedia cukup waktu. Oleh karena itu, rekomendasi/temuan Bawaslu yang sudah disampaikan ke KPU saat Pemilu 2019 dan Pilkada 2020 dapat digunakan untuk memperbaiki kekurangan seperti ini.

 

Kualitas data

 

Perhatian pada ketiga hal ini akan membantu meningkatkan kualitas data untuk vaksinasi di Indonesia. Lebih lagi belum lama ini muncul riset dari John Hopkins University yang memprediksi vaksinasi Indonesia baru bisa tuntas dalam waktu sepuluh tahun. Prediksi ini berpatokan pada laju vaksinasi yang hanya 60.433 dosis per hari.

 

Kondisi ini tentu merisaukan,karena dalam kurun waktu tersebut tak terbayang berapa banyak nyawa yang mungkin jadi korban. Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes dr Siti Nadia Tarmidzi, 7 Februari 2021, tak setuju dengan prediksi ini dan menegaskan target vaksinasi Covid-19 di Indonesia masih on track, yakni 12 bulan.

 

Sanggahan ini perlu dibuktikan dengan data yang akurat dan pelaksanaan yang lebih cepat sekaligus tepat. Upaya ini bukan semata-mata untuk membuktikan kita bisa, melainkan memastikan perlindungan pada segenap tumpah darah Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar