Katakan
Tidak, padahal Korupsi Anita Yossihara ; Wartawan Kompas |
KOMPAS,
07 Maret
2021
Kaget, syok, tak percaya, itulah reaksi
banyak orang saat mendengar kabar penangkapan Gubernur Sulawesi Selatan
Nurdin Abdullah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jumat-Sabtu
(27/2/2021) dini hari di Makassar. Betapa tidak, Nurdin adalah satu dari
segelintir kepala daerah di Tanah Air yang dikenal cerdas, inovatif,
berintegritas, dan punya segudang prestasi. Berbagai penghargaan dari kelompok
masyarakat sipil, kampus, media, kementerian, bahkan Presiden, diterima
Nurdin saat menjabat sebagai Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan, pada
2008-2018. Tidak sedikit penghargaan yang diberikan atas dasar prestasi
Nurdin dalam membenahi pelayanan publik hingga membangun budaya antikorupsi. Baru dua tahun menjabat sebagai Bupati
Bantaeng, Nurdin mendapat penghargaan dari Kejaksaan Agung atas kepeduliannya
terhadap pengelolaan dan pengembangan kantin kejujuran di Kabupaten Bantaeng.
Ia juga menerima penghargaan dari Ombudsman RI atas predikat kepatuhan
terhadap standar pelayanan publik pada 2017. Politikus Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan itu pun bahkan mendapatkan penghargaan Bung Hatta Anti-Corruption Award
pada 2017. Bung Hatta Award itu merupakan ajang penganugerahan penghargaan
bagi masyarakat, termasuk pejabat, yang dikenal bersih dari praktik korupsi,
tak pernah menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan, tidak pernah menyuap dan
menerima suap, serta berperan aktif dalam perang melawan korupsi. Prestasi dalam memajukan Kabupaten Bantaeng
pun membawa Nurdin dinobatkan menjadi People of The Year tahun 2012 dari
harian Seputar Indonesia, Tokoh Perubahan tahun 2014 dari harian Republika,
serta Kepala Daerah Teladan Pilihan Tempo pada 2017. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono pun memberikan penghargaan Satya Lencana bidang pertanian saat
Nurdin baru satu tahun memimpin Kabupaten Bantaeng. Prestasi dan kepercayaan
besar masyarakat itulah yang mengantarkan Nurdin menjadi orang nomor satu di
Provinsi Sulawesi Selatan. Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas
Hasanuddin itu pun dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Gubernur Sulsel pada
15 September 2018. Namun, belum genap tiga tahun menjabat
sebagai gubernur, Nurdin tersandung kasus hukum. Minggu (28/2/2021) dini
hari, penerima Bung Hatta Anti-Corruption Award itu ditetapkan sebagai
tersangka kasus dugaan suap proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah
Provinsi (Pemprov) Sulsel Tahun Anggaran 2020-2021. Berdasarkan data yang
diungkap KPK, uang komisi pelaksanaan proyek infrastruktur yang diterima
Nurdin dari sejumlah kontraktor mencapai Rp 5,4 miliar. KPK menyebut uang
suap itu diterima melalui Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang
Provinsi Sulsel Edy Rahmat. Banyak kalangan yang tidak percaya kepala
daerah dengan rekam jejak cemerlang itu terjerembab ke dalam lubang korupsi.
Apalagi, Nurdin membantah telah menerima suap dan mengaku tidak tahu-menahu
aktivitas Edy yang juga ditetapkan sebagai tersangka. ”Ternyata Edy itu
melakukan transaksi tanpa sepengetahuan saya. Sama sekali tidak tahu, demi
Allah, demi Allah,” kata Nurdin di Gedung KPK, Jakarta, Minggu lalu. Apa pun dalihnya, yang pasti saat ini
Nurdin sudah ditetapkan sebagai tersangka penerima suap. Ketua KPK Firli
Bahuri pun meminta masyarakat untuk tidak berpikir bahwa setiap orang yang
sudah menerima penghargaan tidak akan melakukan korupsi. ”Jangan berpikir
bahwa setiap orang yang sudah menerima penghargaan tidak akan melakukan
korupsi karena korupsi adalah pertemuan antara kekuasaan dan kesempatan serta
minusnya integritas,” kata Firli saat menyampaikan keterangan pers di Gedung
KPK, Minggu lalu. Pernyataan itu ada benarnya. Merujuk pada
dalil yang disampaikan politikus sekaligus sejarawan Inggris, John Emerich
Edward Dalberg Acton atau Lord Acton (1833-1902), kekuasaan memang cenderung
korup dan kekuasaan absolut pasti korup. Sejarah mencatat, tidak sedikit
pejabat yang berniat menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan jabatan atau
kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan pribadi. Jamak Praktik semacam itu pun jamak terjadi di
Indonesia. Berteriak paling kencang menolak segala bentuk korupsi, tetapi
akhirnya terlibat korupsi juga. Mantan Menteri Sosial Juliari P Batubara
yang menjadi tersangka kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial, salah
satunya. Perang terhadap korupsi menjadi isu yang diusung Juliari saat
berkampanye untuk pencalonannya dalam pemilihan umum anggota legislasi
(pileg) tahun 2019. Politikus PDI-P itu menyebarkan pamflet gambar wajah
dirinya beserta tulisan ”Korupsi Dibabat, pasti Indonesia Hebat!” kepada
masyarakat di Daerah Pemilihan Jawa Tengah 1. Untuk menunjukkan komitmennya terhadap
pemberantasan korupsi di negeri ini, Juliari pun langsung menyambangi Gedung
KPK hanya beberapa jam setelah dilantik menjadi Menteri Sosial, 4 November
2019. Selain bersilaturahim, kedatangannya ke KPK juga dimaksudkan untuk
menjalin kerja sama dalam upaya pemberantasan korupsi di lingkungan
Kementerian Sosial. ”Kami sebagai Menteri Sosial yang baru
ingin memantapkan komitmen kami untuk bersinergi dalam rangka pemberantasan
korupsi, khususnya di lingkungan Kementerian Sosial,” katanya kala itu. Suara lantang tentang bahaya korupsi juga
pernah disampaikan Juliari pada peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tahun
2019. Menurut dia, korupsi terjadi karena keserakahan orang yang tak pernah
merasa cukup. Karena itu, pemberantasan korupsi harus dimulai dari mental.
”Jadi, mau sebagus apa pun sistem, seketat apa pun sistem, kalau mentalnya sudah
bobrok, ya, tetap saja korup,” tuturnya. Namun, satu tahun kemudian, tepatnya pada 5
Desember, Juliari ikut terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK.
Pejabat yang memiliki harta kekayaan sekitar Rp 50 miliar itu disangka
mengutip imbalan dari rekanan proyek pengadaan bansos untuk masyarakat
terdampak pandemi Covid-19. Besarnya Rp 10.000 untuk satu paket bahan pokok
yang akan dibagikan kepada masyarakat. Akibatnya, tak hanya menghadapi proses
hukum, Juliari pun harus melepas jabatannya sebagai Menteri Sosial. Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy
Prabowo juga tak jauh berbeda. Politikus Partai Gerakan Indonesia Raya itu
pun lumayan vokal menyerukan pemberantasan korupsi. Pada peringatan Hari
Antikorupsi Sedunia tahun 2019, misalnya, ia menyampaikan komitmen perang
melawan korupsi melalui akun twitter @Edhy_Prabowo. ”Korupsi adalah musuh
utama yang harus kita perangi. Bersama-sama membangun komitmen KKP menjadi
birokrat yang bersih dan melayani untuk mewujudkan masyarakat kelautan dan perikanan
yang sejahtera,” tulisnya. Kurang dari setahun kemudian, tepatnya 25
November 2020, Edhy ditangkap tim KPK saat baru mendarat di Bandara
Soekarno-Hatta. Edhy yang baru saja kembali dari kunjungan kerja ke Hawaii
ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan suap terkait perizinan ekspor benur
atau benih lobster. Partai
politik Kamuflase komitmen antikorupsi sebenarnya
sudah terjadi sejak lama. Tidak sedikit partai politik (parpol) yang gencar
mengampanyekan perang melawan korupsi justru terjebak dalam pusaran korupsi.
Partai Demokrat, misalnya, gencar mengampanyekan perang terhadap korupsi satu
tahun menjelang Pemilu 2009. Kala itu, hampir setiap hari, masyarakat
disuguhi iklan kampanye Demokrat di layar kaca. Dalam iklan itu, sejumlah
politikus Demokrat, seperti Edhie Baskoro Yudhoyono, Anas Urbaningrum,
Angelina Sondakh, Andi Alfian Malarangeng, dan Iti Octavia Jayabaya,
menegaskan tidak untuk korupsi. Kenyataannya, beberapa tahun kemudian, partai
besutan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono itu masuk ke dalam pusaran
korupsi. Tiga bintang iklan antikorupsi, yakni Anas,
Angelina, dan Andi Malarangeng, ditahan KPK karena terjerat kasus korupsi
berbagai proyek di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian
Pendidikan Nasional. Anggelina lebih dulu ditahap KPK, yakni pada 27 April
2012, karena disangka terlibat korupsi proyek pembangunan Wisma Atlet SEA
Games dan proyek di Kemendiknas. Disusul kemudian oleh Andi Mallarangeng,
yang resmi ditahan pada 17 Oktober 2013 karena disangka terlibat korupsi
proyek Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di
Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Terakhir, yakni pada 10 Januari 2014, Anas
menyusul mengenakan rompi oranye. Saat ditahan KPK, Anas yang kala itu
merupakan Ketua Umum Partai Demokrat, sudah dua tahun ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi proyek P3SON Hambalang. Kasus korupsi yang menimpa para bintang
iklan antikorupsi itu berawal dari penetapan Bendahara Umum Partai Demokrat M
Nazaruddin sebagai tersangka kasus korupsi sejumlah proyek di Kemenpora dan
Kemendiknas. Dalam berbagai kesempatan pemeriksaan di KPK sampai persidangan,
Nazaruddin menyebut Anas, Anggelina, dan Andi terlibat korupsi proyek
Hambalang, Wisma Atlet, dan juga proyek pembangunan gedung perguruan tinggi.
Dari ketiga orang itu, baru Andi yang sudah bebas dari penjara. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sejak
awal berdirinya di tahun 1999 mengusung jargon Bersih dan Peduli pun tak
luput dari jerat korupsi. Pada akhir Januari 2013, Presiden PKS (kala itu)
Luthfi Hasan Ishaaq, ditahan KPK karena terlibat suap pemberian rekomendasi
kuota impor daging pada Kementerian Pertanian. Demokrasi
elitis Profesor riset Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Syarif Hidayat, berpandangan, maraknya korupsi yang dilakukan
pejabat publik yang mengaku antikorupsi merupakan fenomena dari paham
demokrasi elitis. Salah satu ciri khas demokrasi elitis adalah menjual janji
untuk mendapatkan kekuasaan. ”Itu merupakan fenomena dari democratic
elistism, satu demokrasi yang sangat elitis. Dalam rangka mendapatkan
legitimasi atau dukungan, tentu dia harus menjual janji. Menjual janji itu
ciri khas democratic elitism,” kata Syarif. Dalam praktik demokrasi elitis, para elite
atau politisi memperoleh kekuasaan melalui mekanisme demokrasi, seperti
pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, untuk
memperoleh dukungan dan memenangkan kontestasi, para elite rela melakukan
berbagai macam cara, termasuk membeli suara. Upaya pertama yang dilakukan untuk memperoleh
kekuasaan adalah melakukan politik populis, seperti memanipulasi isu
primordialisme. Jika upaya itu dirasa tidak cukup untuk menarik dukungan
suara, maka melakukan politik uang dengan membeli suara menjadi pilihan. ”Itulah yang kemudian menyebabkan mereka
terjebak korupsi,” kata Syarif. Sebab, saat menjalankan politik populis,
politisi pasti menebar janji yang harus dipenuhi saat kekuasaan sudah di
tangan. Begitu pula saat mempraktikkan politik transaksional, politisi akan
mengeluarkan modal yang harus dikembalikan. Akibatnya visi yang disampaikan saat
kampanye, seperti antikorupsi, prorakyat, dan berpihak kepada rakyat, hanya
menjadi dokumen belaka. Pada akhirnya, untuk mengembalikan modal yang
dikeluarkan, mereka pun rela menyelewengkan kekuasaan yang sudah didapat,
baik modal untuk membeli suara maupun modal untuk memperoleh dukungan dan
promosi dari parpol sebagai kendaraan politik. Praktik korupsi pejabat publik pun menjadi
jamak karena parpol pun menuntut kontribusi yang biasanya berbentuk dana ataupun
kebijakan yang menguntungkan kelompoknya. ”Jadi, setelah menjadi pejabat
publik pun, mereka harus mengisi ulang (dana) untuk parpol,” kata Syarif. Karena itu, jalan keluar utama untuk
memutus praktik korupsi di kalangan pejabat publik adalah dengan membenahi
parpol karena parpol merupakan dapur semua pejabat dan elite negeri. Oligarki
di tubuh parpol harus dihilangkan karena merupakan akar dari politik berbiaya
tinggi. Jika semua parpol di negeri ini telah
membebaskan diri dari praktik oligarki, iklan antikorupsi tak akan
diplesetkan menjadi ”Katakan tidak, padahal korupsi”. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar