Mencari
Ruang Kritik Sastra S. Prasetyo Utomo ; Sastrawan, Doktor Ilmu Pendidikan
Bahasa Unnes |
KOMPAS,
07 Maret
2021
Skeptisisme Maneke Budiman bahwa kritik
sastra surut, tertinggal jauh dari perkembangan sastra, mati atau sekarat
diakuinya ternyata keliru. Kesadaran bahwa kritik sastra Indonesia tidak mati
suri muncul ketika Badan Bahasa menyelenggarakan Sayembara Kritik Sastra
2020. Kualitas tulisan yang terpilih dalam sayembara,
yang kemudian dibukukan dalam Teks, Pengarang, dan Masyarakat (Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2020), memberi kesadaran juri, seperti
Seno Gumira Ajidarma, bahwa ”kritik sastra ternyata bukan sesuatu yang
terlalu asing”. Teks-teks kritik sastra itu, dalam bahasa Maneke Budiman,
”berbobot isinya, membuka wawasan, dan mencerahkan”. Pergeseran kritik sastra ke ruang media
sosial, seperti Facebook, dan surutnya gagasan polemik sastra setelah
perdebatan sastra kontekstual, revitalisasi sastra pedalaman dan sastra
”wangi”, tetaplah menghadirkan kritik sastra yang, dalam bahasa Seno Gumira
Ajidarma, membongkar teks untuk menunjukkan bagaimana gejala susastra
merupakan sumber pengetahuan atas gejala kebudayaan dalam pengertian luas:
sosial, politik, agama. Badan Bahasa menggelar sayembara kritik
sastra yang menyerap kreativitas berbagai kalangan masyarakat, yang selama
ini gencar berpolemik di media sosial, pada kubu-kubu kecil,
kelompok-kelompok kecil, bahkan kadang isu-isu kecil. Yang membahagiakan, sayembara kritik sastra
ini diarahkan untuk menemukan ”kebaruan pemikiran, kekuatan argumentasi,
ketajaman analisis, dan kreativitas penyajian”. Tantangan para peserta kritik sastra
terutama pada tuntutan ”kebaruan pemikiran”. Karena itu, pilihan teks yang
dianalisis kritikus menjadi pertaruhan utama, selain teori sastra yang
diterapkan dan ketajaman analisis. Tak mengherankan apabila kelima juri
memilih naskah kritik sastra ”Puisi-puisi Afrizal Malna: Bahasa yang
Diam-diam Meninggalkan Tubuh” karya Dwi Pranoto sebagai yang terbaik pertama.
Naskah terbaik kedua ”Forgulos, Kambing dan Hujan: Ketika Pemabuk Cinta
Menabok Pemabuk Teks Agama” karya Wahyu Kris. Naskah terbaik ketiga ”Poetika
Pelenyapan Diri ala Zhang Daqian dan Lompatan Puitik Puji Pistols” yang
ditulis Dwi Cipta. Ketiga pemenang Sayembara Kritik Sastra
Badan Bahasa 2020 sangat tepat dalam memilih teks sastra sebagai bahan
kajian: Afrizal Malna, Aveus Har, dan Puji Pistols (Pujianto). Afrizal Malna dikenal sebagai penyair
dengan dekonstruksi diksi, logika, dan menyingkap kehidupan postmodern, yang
paradoks, hedonis, dan materialis. Dalam bahasa Dwi Pranoto dikatakan bahwa
bahasa yang dikespresikan Afrizal Malna dalam puisi-puisinya meninggalkan
tubuh. Aveus Har mencipta novel Forgulos (Basabasi,
2019) merupakan juara pertama Sayembara Novel Basabasi 2019. Aveus Har
menyingkap fantasi-fantasi tak terduga, serupa dongeng. Novel ini mengisahkan
anomali hidup, eksotisme, dengan ide-ide yang cemerlang tentang perubahan
tradisi yang dibawa Arthur. Aveus Har mencipta satire fenomena sosial
dan religiositas. Wahyu Kris menemukan kekuatan ”kebaruan pikiran” pada novel
yang memiliki ”kebaruan cara pandang” dalam menyingkap tabir kehidupan. Lompatan puitik Puji Pistols (Pujianto),
dalam pandangan Dwi Cipta, mengekspresikan pemahaman sang penyair terhadap
teks-teks yang dibaca sesuai dengan ekosistem pengetahuan dan orientasi
puitiknya. Puji Pistols menyadari cekaman warna kelabu
dan riwayat dirinya sendiri, yang hanya bisa dibebaskan lewat pengembaraan
intelektual. Sebagai seorang otodidak dalam penulisan puisi, ia
mempertaruhkan pilihan pada dunia Timur, yang kemudian dianalisis Dwi Cipta. Dua puluh teks yang dianalisis para
kritikus dalam buku ini menandai keberagaman: dongeng, serat, novel, puisi,
cerpen, dan esai. Tentu keragaman teori, ketajaman analisis, pengembangan
ide, struktur, dan style yang mereka geluti kemudian mencapai ragam
”kritik-esai”. Isu sosial-politik, agama, gender,
menantang para kritikus untuk beradaptasi dengan tanggapan terhadap genre
baru. Bahkan, mereka beradaptasi dengan obyek sastra yang beragam, tak lagi
melakukan oposisi biner antara ”pusat” dan ”pinggiran”, sastra ”lama” dan
sastra ”mutakhir”. Para kritikus sastra yang memenangi
Sayembara Kritik Sastra Badan Bahasa 2020, dan juga 17 penulis kritik
terpilih, telah memanfaatkan berbagai teori untuk menganalisis teks-teks
sastra. Dua puluh penulis kritik sastra itu berasal
dari berbagai profesi, pendidikan, umur, dan lapisan sosial. Karena itu,
teori yang diterapkan pun beragam, disesuaikan dengan teks sastra yang
dianalisis dan cakrawala pengetahuan yang mereka miliki. Latar kedua puluh kritikus sastra, yang
kemudian dibukukan, di antaranya tokoh-tokoh yang dikenal dalam penciptaan
sastra, kritik, esai, dan pemikiran kebudayaan. Setidaknya, saya mencatat enam tokoh: Dwi
Cipta, Nirwan Ahmad Arsuka, Bandung Mawardi, Heru Joni Putra, Niduparas
Erlang, dan Yusri Fajar. Dwi Cipta dikenal sebagai penulis cerita dan esai.
Ia menulis cerpen, menerjemahkan karya-karya sastra, menulis esai-esai
budaya, esai politik, dan novel. Ia seorang pegiat literasi. Nirwan Ahmad Arsuka dikenal sebagai penulis
esai berbasis budaya, sejarah, yang diterbitkan International Journal of
Asian Studies, dan Inter-Asia Cultural Studies Journal. Bandung Mawardi
sangat produktif menulis esai, pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi. Heru Joni Putra merupakan seorang sastrawan
kebanggaan yang aktif menulis esai, puisi, kritik sastra di forum nasional
dan internasional. Niduparas Erlang mencipta novel Burung Kayu (Teroka Press,
2020) yang meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2020. Yusri Fajar
dikenal sebagai seorang dosen, kritikus, sastrawan, dan pemenang pertama
Lomba Kritik Sastra HISKI dan Balai Bahasa Bali 2020. Ketika dua puluh naskah terpilih Sayembara
Kritik Badan Bahasa 2020 dibukukan pada Desember 2020, dan beredar di
kalangan pembaca, hal ini mengakhiri keterpasungan kritik sastra dari
masyarakat pembacanya. Persoalannya kemudian, berapa banyak lapis
masyarakat yang dapat menikmati buku kritik sastra yang ditulis dari kalangan
yang beragam dengan ”kebaruan pemikiran”, dan memetakan aneka ragam teks
sastra dengan keluwesan menyampaikan argumentasi, bahkan retorika dan
penggunaan gaya bahasa. Apabila dulu dunia sastra kita mengikuti
patron kritikus sastra HB Jassin, kemudian Korrie Layun Rampan, kini
sebenarnya kita memiliki kritikus sastra dari berbagai profesi dengan
menerapkan teori yang beragam. Kritik sastra ini mengisi ruang ekspresi
yang kurang maksimal karena hilangnya ruang publikasi media massa dan majalah
sastra. Tentu diharapkan buku kritik sastra ini bisa dinikmati berbagai lapis
masyarakat. Sungguh sangat disayangkan apabila buku ini hanya dicetak secara
terbatas dan hanya dinikmati kalangan masyarakat secara terbatas. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar