Bahaya
Politik Plutokrasi terhadap Demokrasi Biyanto ; Guru Besar Filsafat UIN Sunan
Ampel, Wakil Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur |
KOMPAS,
08 Maret
2021
Dalam suatu kegiatan ceramah keagamaan,
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti pernah berseloroh
dengan mengatakan bahwa untuk mengikuti pemilihan legislatif atau pemilihan
kepala daerah, Anda boleh bermodal popularitas, kapasitas, bahkan integritas.
Namun, semua modal itu akan kurang berarti jika Anda tidak memiliki ”isi tas”
alias ”bergizi tinggi”. Faktor ”isi tas” atau ”bergizi” penting dimiliki
setiap calon untuk mengikuti kontestasi politik dalam pemilu. Candaan Abdul Mu’ti terasa benar jika kita
mengamati praktik politik dalam setiap pemilu. Praktik politik uang (money
politics) dalam berbagai ekspresi juga terjadi pada pemilihan kepala daerah
(pilkada) serentak pada 9 Desember 2020. Sebagian calon kepala daerah minta
supaya pemberian sesuatu kepada masyarakat tidak disebut politik uang,
melainkan ”sedekah politik”. Ungkapan ini sekadar memperhalus istilah
sehingga bernuansa religius. Mereka juga mengatakan pemberian itu dilakukan
secara ”ikhlas”. Dengan cara itu, mereka berharap apa yang dilakukan tidak
dikategorikan politik uang. Praktik politik uang yang dibungkus dalam
berbagai modus menjadikan biaya politik sangat tinggi (high cost). Sejumlah
calon kepala daerah mengeluhkan besaran dana yang harus disiapkan untuk
running dalam pilkada serentak. Apalagi pilkada diselenggarakan di tengah
pandemi Covid-19. Kondisi ekonomi rakyat yang memburuk akibat
dampak pandemi menjadikan budaya politik transaksional marak terjadi. Pada
konteks inilah faktor ”isi tas” atau ”gizi” dari calon kepala daerah menjadi
sangat menentukan. Karena biaya politik sangat tinggi, tidak
semua orang dapat mengikuti kontestasi di legislatif dan eksekutif. Tidak
berlebihan jika ada pesan bernada kritik sosial agar orang miskin tidak
mencoba-coba masuk ke gelanggang politik. Hal itu karena ongkos politik yang
harus ditanggung sangat tinggi. Disertasi Pramono Anung berjudul
”Komunikasi Politik dan Pemaknaan Anggota Legislatif terhadap Konstituen”
(2013) seakan mengafirmasi besaran ongkos politik yang harus ditanggung calon
anggota legislatif (caleg). Dalam karya itu, Pramono menyatakan bahwa
kebutuhan seorang caleg DPR untuk running pada Pemilu 2009 bisa mencapai Rp
20 miliar. Jika pada 2009 ongkos politik untuk nyaleg
sudah begitu tinggi, pertanyaannya: berapa anggaran yang dibutuhkan seorang
caleg DPR dalam pemilu 2014 dan 2019? Pertanyaan senada juga bisa diajukan
kepada calon kepala daerah yang maju dalam pilkada serentak lalu. Pada konteks itulah dapat dipahami jika
caleg atau pasangan calon yang maju dalam pilkada umumnya merupakan
figur-figur populer dan ”bergizi”. Mereka bisa berasal dari politisi mapan,
pengusaha, artis, hartawan, dan tokoh-tokoh informal di masyarakat. Sepanjang
era reformasi, calon anggota legislatif dan eksekutif yang populer lagi
bergizi juga sangat dominan. Dampaknya, kader partai yang telah berpeluh
keringat harus tersisih karena kalah bersaing dengan pendatang baru yang
lebih populer dan bergizi. Kecenderungan partai untuk merekrut caleg dari
nonkader yang populer dan bergizi jelas menyisakan pertanyaan. Ironinya,
fenomena itu tidak hanya terjadi dalam penentuan caleg. Pengusungan figur
nonkader dalam pilkada, seperti dalam pilkada serentak lalu, juga terjadi. Dalam kondisi budaya politik itulah publik
mempertanyakan sistem pengaderan partai. Padahal, partai sejatinya memiliki
tanggung jawab untuk melakukan kaderisasi. Apalagi pemerintah juga memberikan
anggaran untuk kaderisasi politik. Harapannya, pada saat pemilu legislatif,
pilkada, bahkan pemilihan presiden, partai tidak kekurangan kader. Semangat partai mengusung figur nonkader
dalam pencalegan dan pilkada dengan pertimbangan popularitas dan ”gizi” pada
saatnya dapat mengancam sistem demokrasi. Sebab, lembaga-lembaga publik di
legislatif dan eksekutif akan dikuasai kelompok elite dan hartawan. Persoalan
menjadi semakin kompleks jika mereka tidak memiliki kompetensi dan rekam
jejak yang baik. Mereka hanya mengandalkan popularitas dan gizi. Kekhawatiran terhadap kondisi politik yang
didominasi kelompok elite dan hartawan pernah dikemukakan Kevin Phillips
dalam Wealth and Democracy; A Political History of the American Rich (2002).
Dalam karya itu, Kevin menegaskan bahwa kini ada kecenderungan rezim politik
dan kekuasaan digerakkan oleh kelompok orang kaya. Rezim politik dan kekuasaan pun dibangun
dengan menggunakan logika the rule of the rich. Keberlangsungan suatu rezim
didasarkan pada keinginan orang-orang kaya. Logika the rule of the rich
meniscayakan bahwa orang yang tidak memiliki uang tidak boleh bermimpi
menjadi pejabat publik. Praktik politik yang mengandalkan kekuatan
uang disebut Kevin sebagai budaya plutokrasi. Dalam bahasa Yunani, kata
plutokrasi terdiri atas ploutos (kekayaan) dan kratos (kekuasaan). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
plutokrasi merujuk pada sistem pemerintahan yang digerakkan kelompok elite
lagi berharta. Kelompok ini membentuk budaya serba uang dalam menyelesaikan
semua urusan, termasuk politik, kekuasaan, dan hukum. Jika mengamati dinamika politik di negeri
tercinta, rasanya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa wajah politik kita
telah diwarnai budaya plutokrasi. Budaya politik plutokrasi semakin
melapangkan jalan bagi pemilik modal untuk menjadi pejabat publik. Budaya politik serba uang dapat
mengakibatkan calon yang sukses meraih kekuasaan mengalami disorientasi.
Hampir dapat dipastikan bahwa yang pertama dipikirkan tatkala kekuasaan di
tangan adalah mengembalikan modal secepat mungkin. Persoalan pemenuhan janji saat berkampanye
dapat diabaikan selama modal belum kembali. Bermula dari pola pikir inilah
budaya koruptif dan kolutif marak terjadi di lembaga-lembaga publik. Karena
itu, jangan heran jika publik terus disuguhi berita operasi tangkap tangan
pejabat negara atau pejabat daerah yang diduga melakukan korupsi dengan
berbagai ekspresinya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar