Membenahi
Komunikasi Politik Jokowi Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan, penulis |
DETIKNEWS,
08 Maret
2021
Presiden Jokowi akhirnya mencabut sebagian
lampiran Perpres No 10/2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal. Bagian yang
dicabut adalah lampiran yang mengatur soal investasi produksi dan perdagangan
minuman beralkohol. Semula Perpres ini membuka investasi di bidang tersebut
di 4 provinsi. Atas desakan sejumlah kalangan, bagian tersebut ditutup.
Investasi minuman beralkohol kembali menjadi investasi tertutup. Apa sebetulnya masalahnya? Protes utamanya
berasal dari umat Islam, yaitu MUI, NU, Muhammadiyah, dan banyak organisasi
maupun kelompok lain. Apa keberatan mereka? Tentu saja sumber keberatannya
adalah minuman beralkohol itu haram. Ditambah, akan merusak generasi muda.
Mereka keberatan kalau ada kebijakan "legalisasi miras". Poin penting persoalannya ada pada kata
kunci itu, yaitu "legalisasi miras". Seakan ada usaha untuk mengubah
sesuatu, dari yang tidak legal menjadi legal. Apa yang tidak legal? Minuman
keras atau minuman yang mengandung alkohol selama ini sudah legal untuk
diproduksi dan diperdagangkan. Bahkan pemerintah DKI Jakarta punya saham di
pabrik bir, dan mendapatkan dividen dari saham itu setiap tahun. Pemerintah
juga memungut cukai dari perdagangan minuman beralkohol. Jadi apa masalahnya? Perpres yang tujuannya
membuka investasi itu dikesankan seolah hendak membuka seluas-luasnya
perdagangan minuman beralkohol, membebaskan penjualannya kepada siapa saja.
Tentu saja hal itu menimbulkan penolakan. Tapi bukankah minuman beralkohol itu haram
dan pemerintah tak sepatutnya membuka investasi untuk barang haram itu? Kalau
soalnya haram, banyak hal yang haram bagi umat Islam. Bunga bank itu haram. Tapi
apakah pemerintah harus menutup investasi untuk bank konvensional? Ada 2 hal penting yang gagal
dikomunikasikan Presiden, baik secara langsung maupun melalui para
pembantunya. Pertama, bahwa negara ini tidak diatur dengan syariat Islam,
melainkan dengan konstitusi dan undang-undang. Kebutuhan umat beragama
diperhatikan dalam pembuatan keputusan, tapi dasar pengambilan keputusan
bukanlah hukum yang berlaku di suatu agama. Kedua, bahwa pembukaan investasi
tidak berarti pembebasan penjualan minuman beralkohol. Komunikasi soal itu seharusnya dilakukan
sebelum Presiden menandatangani Perpres. Seharusnya ada penjelasan kepada
pihak-pihak yang berpotensi keberatan. Presiden seharusnya bertanya kepada
Wakil Presiden, yang mantan Ketua Umum MUI, atau bahkan menugaskannya untuk
memberikan penjelasan. Dengan demikian penolakan dapat diredam. Setelah terjadi penolakan, tidak ada upaya
penjelasan yang memadai. Yang bergaung adalah pemerintah hendak melegalkan
minuman keras. Ini membuat citra Jokowi, yang selama ini oleh sejumlah
kalangan dianggap jauh dari umar Islam atau bahkan musuh umat Islam, makin
terpuruk. Legalisasi minuman keras bagi mereka adalah bukti betapa buruknya
Jokowii. Padahal substansi masalahnya tidak begitu. Apakah pembatalan itu menyelesaikan
masalah? Tidak. Bagi negara ini adalah preseden yang sangat buruk. Sebuah
Peraturan Presiden bisa diubah substansinya oleh desakan masyarakat. Presiden
tidak serius dalam pengelolaan administrasi negara. Secara politis ini adalah
catatan buruk untuk Jokowi. Pembatalan lampiran Peraturan Presiden ini tidak
membuat Jokowi tampak seperti seorang presiden yang mau mendengar aspirasi.
Ia hanya tampak seperti seseorang yang membatalkan keburukan yang hendak ia
lakukan karena ketahuan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar