Reorientasi
Politik Ekonomi Arab Saudi
Smith Alhadar ; Penasihat ISMES;
Direktur Eksekutif
Institute for Democracy Education
|
MEDIA
INDONESIA, 03 Maret 2017
LAWATAN spektakuler Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz
Al Saud bersama rombongan jumbo ke Indonesia, yang merupakan bagian dari tur
Asia sang raja selama sebulan, mencerminkan dinamika politik-ekonomi internal
yang dihadapi pemerintahan Saudi, lingkungan regional, dan situasi
internasional.
Merosotnya harga minyak dunia secara drastis sejak 2014,
yang menyebabkan APBN mengalami defisit lebih dari US$160 miliar dalam dua
tahun terakhir, memaksa pemerintah mencabut sebagian subsidi. Sementara itu,
banyak perusahaan memberhentikan pekerja mereka sehingga meningkatkan
pengangguran di negara gurun itu.
Hal itu ditakutkan akan meningkatkan perlawanan oposisi
dalam negeri. Oposisi paling menonjol di Arab Saudi ialah kelompok minoritas
Syiah yang diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Eksekusi mati
terhadap ulama besar Syiah Saudi Syeikh Nimr Baqir al-Nimr awal tahun lalu
justru semakin meningkatkan perlawanan kaum Syiah yang mendiami provinsi
timur, kawasan ladang minyak Saudi.
Setelah organisasi Al-Qaeda agak mereda, kini muncul
Islamic State (IS) yang mengancam stabilitas Saudi dengan terorisme yang
dilancarkan dalam dua tahun terakhir. Sepanjang IS di Suriah dan Irak belum
dapat ditaklukkan, keamanan internal Saudi senantiasa dalam ancaman.
Pada tingkat regional, keamanan Saudi juga dipertaruhkan.
Perang di Yaman melawan milisi Syiah Houthi dengan Saudi memimpin koalisi
Arab mengakibatkan destabilitas di kota-kota perbatasan Saudi menyusul
tembakan artileri milisi Houthi bersama unit tentara yang loyal pada mantan
Presiden Ali Abdullah Saleh.
Mengingat perang di Yaman belum akan berakhir dalam waktu
dekat, situasi di dekat perbatasan menghadapi ketidakpastian yang panjang.
Di luar itu, perang di Yaman, bersama dengan keterlibatan
Saudi dalam perang saudara Suriah, ikut menggerus keuangan pemerintah yang
kian seret.
Di atas semua itu, Saudi sangat prihatin dengan politik
sektarian yang dijalankan Iran, tetangga mereka di sebelah timur.
Pertimbangan geopolitik mendorong Iran mencengkeram Irak yang diominasi kaum
Syiah dan rezim Suriah yang didominasi Syiah Alawiyah. Hal itu mendorong
Saudi memberi bantuan pada oposisi islamis di Suriah untuk mendongkel rezim
Presiden Bashar al-Assad.
Konflik Iran-Saudi juga terjadi di Yaman setelah Iran
menyokong milisi Syiah Houthi. Perselisihan antara warga mayoritas Syiah
dukungan Iran dan pemerintahan Sunni Bahrain memaksa Saudi mengirim tentara
ke Bahrain untuk menopang kerajaan mini itu.
Permusuhan dengan Iran mendorong Saudi meningkatkan
anggaran militer mereka sampai US$65 miliar sehingga menjadi yang terbesar di
Timur Tengah, bahkan nomor empat dunia. Hal itu menggerus lebih jauh keuangan
Saudi.
Situasi ekonomi-politik internasional juga tidak
menguntungkan Saudi. Kelesuan ekonomi di Eropa dan AS, rata-rata
pertumbuhannya yang kurang dari 2% setahun, telah menyebabkan turunnya harga
minyak dunia, khususnya minyak Saudi. Padahal, sekitar 80% pendapatan luar
negeri Saudi berasal dari ekspor minyak. Berkembangnya industri minyak serpih
(shakle oil) di AS bukan saja akan melepaskan ketergantungan AS pada minyak
Saudi, melainkan juga bisa penjadi pesaing Saudi sebagai eksportir minyak
dunia.
Naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan AS merupakan
sumber kecemasan Saudi yang lain lagi. America first atau mendahulukan
kepentingan AS yang dijabarkan sebagai kebijakan nasionalistis AS tak pelak mengganggu
kerja sama ekonomi Saudi-AS.
Dalam konteks inilah Saudi melakukan reorientasi
politik-ekonomi mereka dengan menetapkan kebijakan memandang ke timur (look
east) sebagai kebijakan politik-ekonomi baru.
Lawatan Raja Salman ke Tiongkok dan Jepang tak pelak
merupakan upaya meningkatkan kerja sama ekonomi, terutama menawarkan dana
perdana (IPO) Aramco Saudi sebesar 5% (US$100 miliar) untuk menutupi defisit
sekaligus mendapatkan dana segar bagi pembangunan infrastruktur, perumahan,
pendidikan, dan kesehatan untuk menunjang transformasi dari ekonomi berbasis
minyak ke ekonomi yang lebih terdiversifikasi. Saudi pun mengharapkan
Tiongkok dan Jepang meningkatkan impor minyak mereka. Saat ini, kedua negara
itu, bersama India, mengimpor 36% dari total ekspor minyak Saudi.
Keperluan investasi besar-besaran tidak hanya dilakukan di
dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Pada konteks inilah Saudi
menanamkan dana cukup besar di Malaysia dan Indonesia, dengan Rusia juga
Saudi membangun kemitraan strategis.
Memang Saudi perlu mengikatkan diri dengan kekuatan besar
secara militer, politik, dan ekonomi, seperti Rusia, Tiongkok, Jepang, dan
India untuk mengimbangi ketergantungan mereka pada negara-negara Barat di
bidang-bidang itu demi tercapainya reorientasi poltik-ekonomi tersebut.
Dalam kaitan ini, Indonesia memiliki tempat tersendiri.
Sebagai negara Islam terbesar di dunia, dengan ekonomi tingkat menengah yang
terus tumbuh (rata-rata dia atas 5%), serta penduduknya yang besar, ekonomi
Indonesia tentu saja sangat potensial bagi investasi Saudi.
Dari segi politik, Saudi memerlukan dukungan Indonesia
bagi kebijakan mereka di Dunia Islam dan di kawasan. Indonesia bisa saja
tidak mendukung perang Saudi di Yaman dan Suriah, serta menolak bergabung
dengan Aliansi Militer Islam untuk Memerangi Terorisme yang dimotori Saudi,
tetapi diusahakan Indonesia menjauh dari Iran yang belakangan semakin dekat
dengan Indonesia. Karena itu, kita melihat investasi Iran di Indonesia di
bidang energi sebesar US$20 miliar ingin disaingi Saudi di sektor yang sama.
Pertemuan Raja Salman dengan pemimpin ormas-ormas Islam
Indonesia merupakan penggalangan dukungan Islam Indonesia terhadap kebijakan
Saudi, terutama kebijakan anti-Syiah mereka, baik di Timur Tengah maupun di
Indonesia.
Dengan sedikit memasang jarak dengan Barat, mendekatkan
diri dengan Timur, dan menjadikan dirinya sebagai pembela Dunia Sunni, Saudi
ingin terlihat sebagai pusat kekuatan baru yang harus diperhitungkan dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar