Catatan
Politik Luar Negeri Indonesia
Hasjim Djalal ; Pakar Hukum Laut Internasional;
Mantan Duta Besar RI untuk
Jerman, Kanada, dan PBB
|
KOMPAS, 21 Maret 2017
Dewasa
ini pemerintah sedang menjalankan kebijaksanaan politik antara lain berdasarkan
konsep maritime axis, dalam arti Indonesia terletak di antara dua samudra. Karena
itu, Indonesia harus mampu menjaga posisinya sehingga dapat memainkan peranan
positif dalam mengembangkan keamanan dan kestabilan serta kerja sama di
antara negara-negara di sekitar Samudra Hindia dan Samudra Pasifik serta
laut-laut sekelilingnya, seperti Laut Andaman, Laut China Selatan, Laut
Sulawesi, Laut Arafura, dan Laut Timor.
Setelah
200 tahun dieksploitasi Verenigde Oost-Indische Compagnie, mulai abad ke-19
Indonesia dijajah Belanda. Menjelang awal 1940 mulai terjadi Perang Dunia
(PD) II melibatkan Belanda dan kemudian membuat seluruh Hindia Belanda jatuh
ke tangan Jepang. Dua hari setelah berakhirnya PD II, kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan Soekarno-Hatta, mencakup seluruh kawasan bekas Hindia
Belanda.
Pasca-kolonialisme
Proklamasi
kemerdekaan tak berjalan lancar, terutama dengan kembalinya Belanda ke
Indonesia dengan ”menunggangi” kemenangan Sekutu, terutama Inggris, dalam PD
II. Setelah Proklamasi dan perjuangan bersenjata melawan kembalinya
kolonialisme, politik luar negeri/diplomasi Indonesia ditujukan untuk
mendapatkan dukungan dunia luar terhadap kemerdekaan RI. Mohammad Hatta,
Sutan Syahrir, H Agus Salim, Ahmad Subardjo, dan lain-lain, adalah
tokoh-tokoh politik luar negeri Indonesia yang menonjol di masa ini, selain
tokoh politik lainnya, seperti Soekarno, Mohamad Yamin, dan lain-lain.
Setelah
melalui dua kali agresi Belanda, perjuangan ini akhirnya mencapai sukses
dengan digelar Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 1949, yang
mengakui kemerdekaan Indonesia meski dengan syarat Indonesia menjadi negara
federal (mengaburkan unsur ”negara kesatuan”) dan status Irian Barat baru
akan ditetapkan setahun kemudian.
Hal
ini diterima pemimpin/pejuang Indonesia waktu itu sebagai taktik. Tak sampai
setahun kemudian Indonesia yang telah merdeka meninggalkan konstitusi federal
dan kembali ke negara kesatuan pada 1950 serta tetap memperjuangkan
kembalinya Irian Barat ke pangkuan Negara Kesatuan Indonesia.
Mulai
1950, Indonesia menyadari bahwa perjuangan melawan imperialisme dan
kolonialisme akan lebih mantap jika negaranegara yang pernah terjajah atau
yang bersimpati dengan negaranegara terjajah menyatukan sikap melawan
imperialisme dan kolonialisme. Diplomasi Indonesia mulai berusaha
mempersatukan Asia-Afrika untuk mendukung dan mendorong merdekanya
negara-negara terjajah di Asia dan Afrika pada waktu itu.
Diplomasi
ini menghasilkan Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 yang banyak
membantu merdekanya negaranegara Afrika dan Asia yang masih dalam ”penjajahan
kolonialisme dan imperialisme”. Diplomat-diplomat Indonesia terkemuka seperti
Ali Sostroamidjoyo, Ahmad Subardjo, Adam Malik, Sudjarwo Condronegoro,
Chaeril Sani, Abdullah Kamil, Maramis dan lain-lain ikut berperan aktif.
Tak
lama setelah itu pecah Perang Dingin antara negara kapitalis Barat dan negara
komunis Timur. Hal ini memunculkan berkembangnya ide nonblok (non-aligned) di
kalangan negaranegara yang baru merdeka dan ingin menciptakan perdamaian
dunia dan kemajuan ekonomi dengan mengembangkan kerja sama dengan semua pihak
tanpa melibatkan diri dalam persaingan blok komunis-blok kapitalis.
Indonesia
bersama beberapa negara sealiran, khususnya India, Yugoslavia, Mesir, dan
Aljazair kemudian mengembangkan kelompok nonblok melalui Konferensi Beograd
1961. Beberapa tokoh politik luar negeri Indonesia kembali memainkan peran
sangat besar dan konstruktif di bawah pimpinan Soekarno yang mengembangkan
kerja sama, antara lain dengan Josip Broz Tito (Yugoslavia), Jawaharlal Nehru
(India), U Nu (Burma), Gamal Abdul Nasser (Mesir), Yulius Nyourere
(Tanzania), Sekou Toure (Guinea), Modibo Kaita (Mali), dan Kwame Nkrumah
(Ghana).
Indonesia
juga mulai memikirkan kepentingan negara-negara berkembang dalam memperbaiki
diri mereka dan ikut aktif mengembangkan sikap kebersamaan antarnegara
berkembang di dunia internasional termasuk Amerika Selatan.
Deklarasi Juanda
Sementara
politik di dalam negeri sendiri mulai berkembang antara lain dengan munculnya
kembali berbagai gerakan daerah. Bahkan, ada pemberontakan yang mendapatkan
bantuan kekuatan asing dengan menggunakan laut Indonesia sebagai basis
dukungan. Ini memunculkan pandangan, laut Indonesia harus menjadi unsur
pemersatu bangsa, bukan pemecah belah atau unsur yang dapat dimanfaatkan
asing untuk memecah belah Indonesia. Maka, muncullah Deklarasi Juanda 13
Desember 1957.
Deklarasi
Juanda menyatakan bahwa laut-laut antar pulau dan yang menghubungkan
pulau-pulau Indonesia adalah wilayah Indonesia dan dengan demikian mulailah
lahir konsep negara kepulauan/negara Nusantara. Deklarasi ini mendapat protes
dari beberapa negara, terutama dari negara maritim yang menganggap konsep itu
bertentangan dengan hukum internasional mengenai kelautan pada waktu itu.
Deklarasi
Juanda juga pernah disampaikan dalam Konferensi Hukum Laut PBB pertama 1958,
tetapi saat itu belum dapat dukungan karena masih perlu berbagai penjelasan.
Beberapa tahun kemudian politik luar negeri Indonesia kembali berjuang untuk
dapat pengakuan internasional dan negara tetangga atas konsep negara
kepulauan serta hak-hak dan kewenangannya di luar kesatuan Nusantara, seperti
zona tambahan, landas kontinen, zona ekonomi eksklusif, laut bebas dan dasar
samudra, dan lain-lain.
Perjuangan
yang dimotori Mochtar Kusumaatmadja dan puluhan anggota delegasi Indonesia
lain selama bertahun-tahun akhirnya dapat pengakuan internasional dalam
Konvensi Hukum Laut PBB 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.
Setelah
itu perjuangan diplomasi Indonesia adalah untuk memanfaatkan konsep negara
kepulauan guna memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia serta untuk
kemakmuran rakyat Indonesia yang dapat disumbangkan oleh lautnya, dasar
lautnya, dan wilayah udaranya yang sudah kian luas/berlipat ganda dari yang diwarisi
dari pemerintah kolonial Belanda.
Perjuangan
Indonesia untuk kembali menyatukan Irian Barat dengan NKRI juga terus
dilaksanakan melalui perang laut antara Indonesia dan Belanda di Laut Aru.
Perjuangan diplomasi juga terus dilakukan dengan gigih, dan akhirnya mencapai
persetujuan New York tahun 1962 yang meletakkan Irian Barat untuk sementara
di bawah pengawasan PBB (UNTEA) dan baru diserahkan secara menyeluruh kepada
Indonesia 1 Mei 1963.
Sementara,
situasi politik di Asia Tenggara mulai ”memanas” awal 1960-an, terutama sejak
berdirinya Federasi Malaysia 1963. Situasi di Asia Tenggara menjadi ricuh dan
baru dapat diselesaikan setelah ada Act of Free Choice di Malaysia di bawah
pengawasan PBB.Situasi di Indochina juga mulai bergejolak, menimbulkan ketakstabilan
secara menyeluruh di Asia Tenggara.Indonesia dan beberapa negara tetangga
mendorong berdirinya ASEAN tahun 1967.Politik luar negeri Indonesia setelah
itu banyak terdiri atas usaha memperkuat rasa kesatuan dan persatuan di
kalangan ASEAN dan membuat ASEAN salah satu pusat pengembangan kerja sama
dengan negara di seluruh dunia.
Tokoh
Indonesia banyak terlibat dalam proses ini, di antaranya Ali Alatas.Politik
luar negeri Indonesia juga aktif merumuskan kesepakatan perbatasan laut
dengan negara-negara tetangga yang sampai sekarang sudah mencapai lebih dari
20 kesepakatan. Indonesia juga ikut aktif mencari penyelesaian atas persoalan
di Indochina.
Sesuai
politik maritime axis, Indonesia juga diharapkan mampu memainkan peranan
konstruktif dan efektif dalam mengembangkan ASEAN sebagai sentralitas politik
dan perkembangan Asia Tenggara serta mengembangkan hubungan antara ASEAN dan
organisasi regional lain, seperti SAARC, Cooperation of Shanghai
Organization, Indian Ocean Rim Association (IORA), APEC, dan berbagai
organisasi teknis regional lainnya.
Akhirnya,
masa kini dan masa depan peranan politik luar negeri Indonesia harus mampu
menciptakan kerja sama dan pembangunan yang konstruktif di dunia terutama di
kawasan Asia Tenggara, Asia Timur, Asia Selatan, Afrika, Amerika, Samudra
Pasifik, Samudra Hindia, Laut China Selatan, dan kawasan maritim lain di
sekeliling Indonesia termasuk di Pasifik Selatan.
Indonesia
juga harus lebih banyak memberikan perhatian pada pemanfaatan kekayaan alam,
termasuk di laut. Dalam konteks ini, politik luar negeri Indonesia harus
bervisi jangka panjang dan meluas serta mampu mengembangkan kerja sama,
termasuk teknologi dan ilmu pengetahuan, dengan negara-negara lain, seperti
India, China, Korea Selatan, Jepang, Australia, Eropa dan Amerika Utara, dan
lain-lain guna memajukan Indonesia.
Dalam
hubungan ini, politik luar negeri RI juga harus mampu memanfaatkan dan
mengelola peranan ”diaspora” Indonesia sebagaimana yang juga dilakukan antara
lain oleh China, India, dan lain-lain, di samping harus tetap dapat mengamati
dan mencegah perkembangan radikalisme, terorisme, separatisme, dan
pemikiran-pemikiran lain yang dapat merongrong Pancasila dan keamanan serta
kesatuan NKRI. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar