Memagari
Mahkamah Konstitusi
Abdul Ghoffar ; Peneliti Mahkamah Konstitusi
|
DETIKNEWS, 23 Maret 2017
Mahkamah
Konstitusi (MK) kembali merasakan peristiwa pilu. Kali ini terkait raibnya
berkas permohonan Pemohon Pilkada Dogiyai dari ruang penyimpanan berkas.
Dalam
konferensi pers rabu (22/3), Ketua MK Prof. Arief Hidayat membenarkan bahwa
MK telah kehilangan berkas permohonan (awal) Pemohon dalam perkara Pilkada
Dogiyai.
Menurut
Ketua MK, sesaat setelah menyadari ada berkas permohonan yang hilang,
pihaknya langsung membentuk Tim Investigasi Internal yang kemudian berhasil
menemukan 4 orang yang diyakini menjadi pelakunya: 2 orang Petugas Keamanan
MK, dan 2 orang PNS MK. Keempatnya, kini sudah diberhentikan.
Secara
pribadi saya sangat mengapresiasi tindakan tegas yang dilakukan oleh Ketua
MK. Langkah ini menunjukkan sikap pimpinan yang tidak mentolerir berbagai
bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh anak buahnya. Sebab perbuatan yang
dilakukan—dengan tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah—sudah
menyalahi sumpah janji jabatan yang telah diucapkan.
Namun
sebagai orang yang juga bekerja di MK, saya sendiri masih menyisakan
pertanyaan, "buat apa berkas itu?". Pertanyaan ini muncul karena
selama ini MK begitu terbuka terhadap para pihak.
Berbagai
dokumen, termasuk permohonan pemohon, pada waktunya akan di-upload di laman
MK. Yang itu berarti semua masyarakat bisa mengaksesnya.
Bahkan
terhadap pihak terkait dan termohon, seharusnya tinggal duduk manis di rumah
menunggu kiriman salinan permohonan tersebut. Yang lebih mengherankan lagi,
berkas yang dicuri tersebut adalah berkas permohonan permohonan awal, yang
lazimnya tidak digunakan dalam persidangan di MK.
Berkas
permohonan awal, biasanya belum sempurna. Permohonan awal ini biasanya
disampaikan oleh pemohon agar tidak ketinggalan tenggat waktu pengajuan
permohonan.
Biasanya
setelah itu, pemohon masih diberti waktu untuk memperbaiki kembali. Laa,
hasil perbaikan inilah yang biasanya dipakai dalam persidangan. Sedikit
sekali pemohon yang tidak melakukan perbaikan. Jika demikian maka permohonan
yang dipakai adalah permohonan (awal).
Dalam
kasus perkara Pilkada Dogiyai, pemohon melakukan perbaikan permohonannya. Itu
artinya, yang dipakai adalah permohonan yang sudah diperbaiki. Oleh karennya,
penting bagi penegak hukum untuk mengungkap apa yang mendasari tindakan dari
terduga para pelaku tersebut.
Peristiwa
tercurinya berkas permohonan Dogiyai tersebut harusnya menjadi pelajaran yang
sangat berharga. Agar kejadian serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari, ada
beberapa hal yang perlu dilakukan.
Perbaikan Sistem
Dalam
penanganan perkara "special" seperti Pemilihan Legislatif (Pileg),
Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pilkada Serentak seperti saat ini, MK
selalu membuat Gugus Tugas (Task Force) yang itu melibatkan pegawai lintas
unit. Semua unit, baik dari Kesekjenan maupun dari Kepaniteraan dilibatkan
semua.
Hampir
tidak ada pegawai MK yang tidak ikut dalam proses penangan perkara. Hal
tersebut dilakukan guna memastikan bahwa penyelenggaraan persidangan berjalan
lancar dan sukses.
Langkah
dan strategi seperti ini sudah berulang kali dilakukan. Dan, selalu berhasil.
Saya sengaja menggunakan kata: berhasil, sebab nyatanya memang belum ada
kebocoran yang terjadi sebelumnya. Semua aman dan lancar jaya.
Terkait
dengan metode pengelolaan berkas—setahu saya—model yang diterapkan oleh MK
sudah cukup bagus. Seluruh berkas dipusatkan pada satu tempat, yaitu di
sebuah aula besar di lantai dasar. Berkas perkara yang jumlahnya tidak
terkira banyaknya itu, ditata rapi. Ada tempat yang menerima berkas di depan.
Lalu berkas tersebut dilakukan oleh verifikasi oleh tenaga yang profesional.
Selanjutnya
dilakukan pemilahan lagi untuk diberikan kode-kode khusus yang dalam hal ini
biasanya dilakukan oleh Arsiparis. Setelah semua sudah tertata berurutan,
baru kemudian dibagikan kepada para pihak, dan tentunya juga kepada para
hakim konstitusi.
Untuk
memastikan bahwa berkas tersebut tidak hilang, tiap sudut ruangan tersebut
dipasangi CCTV yang aktif selama 24 jam. Bukan hanya di Aula, CCTV tersebut
juga terpasang di semua ruangan pegawai. Satu-satunya ruangan yang dipastikan
tidak ada CCTV-nya adalah toilet. Sebab kalau ada, menurut saya itu
berbahaya, hehe.
Melihat
ikhtiar pengamanan dokumen perkara tersebut, rasanya sudah cukup maksimal.
Namun mengapa masih saja kebobolan?
Memperkuat Pengawasan
Menjawab
pertanyaan di atas, saya tertarik dengan usulan Deputi Pengawasan KPK, Pahala
Nainggolan, dalam acara "Diskusi Publik MK Mendengar: Ikhtiar Menjaga
Integritas dan Profesionalitas Mahkamah Konstitusi", yang diselenggaran
oleh MK pada Kamis (9/3) di Hotel Borobudur, Jakarta.
Dalam
kesempatan tersebut, Pahala mengusulkan agar MK perlu meningkatkan sistem
pengawasan internal pegawai. Caranya dengan meningkatkan Kepala Pengawas
Internal menjadi Eselon Satu.
Saat
ini, Sistem Pengawasan Internal (SPI) untuk pegawai memang belum dipimpin
oleh Eselon Satu. Setahu saya baru dipimpin Eselon Empat.
Kelemahan
ini sebenarnya sudah disadari oleh MK jauh sebelumnya. Oleh karenanya, pihak
MK sudah mengajukan perubahan tata organisasi MK kepada Presiden. Kalau
usulan tersebut disetujui, maka ke depan SPI akan dipimpin oleh Eselon Dua
atau Inspektur.
Dengan
dipimpin oleh seorang Inspektur, maka bisa dipastikan SDM yang ada dalam
pengawasan tersebut juga akan bertambah banyak. Dan, tentunya diharapkan akan
lebih efektif dalam memastikan semua pegawai akan bekerja sesuai dengan tugas
pokok dan fungisnya.
Langkah
lainnya, menurut Pahala, sebagai lembaga tinggi yang mengawal konstitusi dan
demokrasi di Indonesia, MK harus menerapkan standar etik di atas rata-rata.
Misalnya, melakukan pemecatan secara langsung terhadap pegawai yang terbukti
menerima sesuatu yang berbau gratifikasi.
Bahkan
kriteria gratifikasi juga harus ditingkatkan. Misalnya, larangan untuk
menerima teraktiran makan sama teman atau pihak tertentu yang meskipun pada
saat itu tidak sedang berperkara.
Langkah
preventif seperti ini, menurut saya penting untuk dilakukan guna menjaga
perasaan hutang budi yang dimiliki oleh pegawai MK kepada pihak lain. Rasa
seperti ini menjadi sangat berbahaya, sebab akan potensial dikemudian hari
akan disalahgunakan.
Contoh
lain, ketika melakukan kunjungan kerja ke daerah, pegawai MK juga harus
dilarang untuk dilakukan penjemputan di bandara atau stasiun. Saat ini,
penjemputan seperti itu dianggap lazim di Indonesia.
Kelaziman
didasarkan pada alasan sang pegawai yang datang dari Jakarta tidak menguasai
peta daerah yang dituju. Namun lagi-lagi, hal ini harus dilarang guna
membunuh perasaan berhutang budi kepada pihak lain.
Dengan
demikian, diharapkan kejadian-kajadian serupa yang merusak citra dan
kepercayaan MK di masa yang akan datang tidak terulang lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar