Absurditas
Kemanusiaan
Saifur Rohman ; Pengajar Filsafat Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 22 Maret 2017
Dalam sidang perdana di Pengadilan
Malaysia, Rabu (1/3/2017), Siti Aisyah dituduh dengan Pasal 302 Undang-Undang
Hukum Pidana Malaysia tentang pembunuhan berencana dengan ancaman maksimal
hukuman mati.
Tuduhan
itu berdasarkan peristiwa kematian Kim Jong Nam di bandara Malaysia dua
minggu sebelumnya (13/2/2017). Pemerintah Malaysia menduga Siti Aisyah
merupakan pelaksana lapangan dari praktik intelijen.
Kasus
tersebut mirip dengan proses pengadilan Pollycarpus Budihari Priyanto, 12
tahun lalu. Kamis (1/12/2005), jaksa penuntut umum menuntut Pollycarpus
penjara seumur hidup karena terlibat pembunuhan berencana aktivis HAM Munir.
Munir meninggal pada 7 September 2004 di dalam pesawat jurusan Amsterdam pada
usia 38 tahun.
Kasus
pembunuhan tersebut adalah fakta yang harus dihadapi dan pengadilan adalah
simbol kemajuan kemanusiaan. Pertanyaannya, bagaimana rasionalitas manusia
menangani kasus tersebut? Ketika kasus ini menjadi ujian bagi pencapaian
rasio, bagaimana dampak terhadap pengembangan nilai kemanusiaan ke
depan? Berapa nilai kita sebagai manusia?
Nilai
manusia
Ada
beberapa kesamaan pada kedua kasus. Baik Aisyah maupun Pollycarpus adalah
warga negara dengan hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Mereka
sama-sama terlibat kasus pembunuhan berencana dan diadili oleh negara. Mereka
samasama diduga sebagai "pelaksana lapangan" dari operasi intelijen
sehingga juga sama-sama dituntut hukuman berat.
Bedanya,
apa yang dialami Siti Aisyah baru berada pada tahap pengadilan, sedangkan
Pollycarpus sudah sampai vonis dan eksekusi hukuman. Alur perjalanan Aisyah
bisa saja berbeda dengan Pollycarpus, tetapi pembunuhan berencana yang
berasal dari praktik terlatih dan sistematis ini mengikutsertakan konteks
politik dan nilai-nilai kebangsaan.
Apabila
ditempatkan dalam alur sejarah, kejahatan kemanusiaan yang berlindung di
balik kekuasaan seperti mementahkan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang
telah diperjuangkan oleh selama ini. Ada tiga pencapaian penting dalam satu
abad terakhir, yakni sistem perundang-undangan, sistem filsafat, dan sistem
kepemerintahan.
Pertama,
sistem perundangundangan untuk melindungi nilai manusia. Setelah Perang Dunia
II, dunia menghasilkan perlindungan melalui Deklarasi Universal HAM 1948 yang
ditandatangani oleh negara-negara yang terlibat perang. Mereka menyatakan
bahwa setiap manusia dilahirkan setara dengan harkat dan martabat yang sama.
Kedua,
sistem filsafat yang menjadikan manusia sebagai subyek utama kemanusiaan.
Pemikiran ontologis telah sampai pada sistem filsafat eksistensialisme
untuk menunjukkan tentang keberartian setiap individu. Jean-Paul Sartre
menerangkan pentingnya ada-untuk-diri sebagai bukti filosofis tentang nilai
penting hak untuk merdeka, hidup, dan sejahtera.
Ketiga,
perangkat kekuasaan telah menjadikan setiap orang sebagai penentu keputusan.
Hal itu dibuktikan melalui perangkat kepemerintahan yang mengatasnamakan
demokrasi untuk menunjukkan eksistensi setiap individu sebagai penentu nasib
negeri.
Persoalan
yang terjadi, pencapaian nilai-nilai kemanusiaan tersebut bukannya tanpa
perkecualian. Dalam konteks hak asasi manusia, seorang yang telah melakukan
kejahatan kemanusiaan dapat dihilangkan hak hidupnya melalui "pembunuhan
berencana". Jadi, pembunuhan sebetulnya bisa dilakukan pemerintah
asal ada amanat perundang-undangan dalam bentuk hukuman mati. Dalam skala
besar, "pembunuhan berencana" dapat pembenaran dalam kondisi
perang.
Kajian
klasik Hannah Arendt (1951) menjabarkan kasus pembunuhan individu dan
kelompok ditempatkan dalam konteks "nasionalisme". Dalam bab
"Race before Racism", kasus genosida terhadap Yahudi oleh Nazi,
kekejaman Stalin yang menyentuh ruang-ruang privat, hingga kasus-kasus
penganiayaan di wilayah kolonial Hindia Belanda di Asia Tenggara memberikan
relevansi penting antara semangat kebangsaan dan motif pembunuhan berencana.
Apabila
teori itu direfleksikan dalam kasus yang terjadi, pembunuhan berencana pada masa
sekarang juga tidak bisa dilepaskan dari rasionalitas kebangsaan. Efek
kematian Kim Jong Nam telah memperburuk hubungan diplomatik Korea Utara dan
Malaysia. Korea Utara menyebut kematian Kim Jong Nam sebagai serangan
jantung, sedangkan Pemerintah Malaysia menyebut sebagai tindak kejahatan.
Kematian
Kim Jong Nam diduga karena racun mematikan. Modus operandinya, pelaku
mendekati korban kemudian membekap dengan sapu tangan beracun. Pelakunya
diduga Siti Aisyah (25), warga negara Indonesia. Di Malaysia, ia berstatus
pramuniaga klub salon. Menurut Siti, ia sempat didekati pria misterius. Ia
mengaku diajak shooting reality show untuk mengerjai orang di bandara dan
terjadilah pembunuhan itu.
Kenyataan
tersebut menunjukkan perlunya "latihan" dan kemampuan tertentu
untuk menjalankan rencana matang. Hal itu tidak berbeda dengan kasus
pembunuhan Munir. Kronologisnya, tiga jam setelah naik pesawat dengan kode
penerbangan GA-974 dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot bahwa
penumpang pada tempat duduk 40G menderita sakit setelah Munir bolak-balik ke
toilet. Penerbangan Singapura-Amsterdam membutuhkan waktu 12 jam, tetapi dua
jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schiphol Munir tewas. Lima hari
kemudian kepolisian Belanda mengumumkan Munir diracun.
Satu
tersangka
Kematian
Munir telah membawa Pollycarpus Budihari Priyanto sebagai tersangka. Pada 20
Desember 2005, dia dijatuhi vonis 14 tahun penjara.
Delapan
tahun kemudian, Sabtu (29/11/2014), Pollycarpus bebas bersyarat dari penjara
Sukamiskin, Bandung. Sampai sejauh ini, motif pembunuhan yang terungkap ke
publik adalah rasa "nasionalisme yang tinggi" sehingga dia
bermaksud menghentikan pengkritik pemerintah.
Nyatanya
tantangan pada masa lalu berbeda dengan masa kini. Ada tiga fakta penting
untuk masa depan. Pertama, tantangan bagi rasionalitas kebangsaan.
Kasus-kasus tersebut telah menempatkan rasionalitas tentang pembunuhan dalam
konteks nilai-nilai kebangsaan. Rasionalitas itu pula yang dijadikan
legitimasi pembenar, baik bagi mereka yang tergabung dalam kepemerintahan
maupun di luarnya.
Kedua,
lolosnya para penjahat dari kerangka jerat hukum masa kini. Fakta, hasil
penelusuran rasional menunjukkan bahwa para pelaku yang dihukum berada dalam
fungsi "tenaga lapangan" dari sebuah tujuan yang ditetapkan pemegang
kekuasaan. Sejauh ini kasus pembunuhan berencana tersebut tidak pernah mampu
mengungkap para pelaku di balik pelaku lapangan.
Ketiga,
munculnya absurditas kemanusiaan. Perangkat rasionalitas yang telah terbangun
selama ini untuk mengembangkan nilai kemanusiaan menjadi benteng ringkih
ketika berhadapan dengan kejahatan terencana para pemegang kekuasaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar