Haqqul
Yakin, Korupsi E-KTP Ada
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN; Ketua MK (2008-2013)
|
KORAN
SINDO, 25
Maret 2017
KALAU kita menduga dan mengemukakan ke publik bahwa telah
terjadi korupsi dan seseorang telah melakukannya, jangan dikatakan itu
melanggar asas praduga tak bersalah. Asas praduga tak bersalah bukanlah asas
yang melarang orang menduga seseorang telah melakukan kejahatan.
Orang yang menduga seseorang telah melakukan korupsi
karena ada indikasi yang kuat, misalnya, itu boleh saja dan tidak melanggar
hukum. Asas praduga tak bersalah adalah asas yang menyatakan bahwa seseorang
yang belum divonis bersalah oleh pengadilan tidak boleh diperlakukan seperti
orang yang telah bersalah, misalnya disebut terpidana, dipaksa membayar
denda, dicabut hak-hak tertentunya, dan sebagainya.
Adapun menduga seseorang telah melakukan kejahatan,
misalnya menduga seseorang telah mencuri atau membunuh atau melakukan
korupsi, itu boleh saja dan tidak melanggar hukum.
Sesungguhnya proses peradilan pidana pun secara normal
selalu dimulai dari “dugaan” yang kalau ditemukan dua alat bukti yang cukup
dilanjutkan dengan “sangkaan” dan seterusnya. Jelasnya, aparat penegak hukum
seperti polisi, jaksa, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga memulai kerja-kerjanya dengan
“praduga” dan “prasangka” bersalah.
Dengan demikian tidak ada yang salah kalau kita menduga
dan percaya telah terjadi korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP) dan
mengemukakan dugaan dan keyakinan itu kepada publik. Sampai sejauh ini kita
boleh yakin bahwa korupsi e-KTP yang spektakuler itu benar-benar terjadi.
Hal-hal yang meyakinkan, sekurang-kurangnya, ada tiga.
Pertama, para terdakwa menerima dakwaan dan tidak
melakukan eksepsi di persidangan. Kedua, beberapa saksi yang dihadirkan
mengaku memang telah menerima dana yang disebutkan dalam dakwaan meskipun ada
yang mengatakan tidak tahu bahwa dana itu dari proyek e-KTP atau mengatakan
bahwa dana itu adalah pinjaman pribadi. Ketiga, ada 14 orang yang ketika
korupsi e-KTP itu mulai diselidiki buru-buru mengembalikan dana itu melalui
KPK.
Itu semua meyakinkan bahwa korupsi yang gila-gilaan dalam
hal besarnya uang dan jamaahnya itu benar-benar terjadi secara haqqul yakin.
Bahwa dalam kenyataannya banyak dari mereka yang membantah, ya, biasa saja.
Sejak dulu mereka yang diduga dan disangka korupsi itu
selalu begitu, membantah, marah-marah, dan mengaku dizalimi serta difitnah,
tetapi kemudian di pengadilan terbukti bersalah dan dihukum. Meski begitu
memang benar juga ada beberapa bagian dari dakwaan itu yang agak meragukan,
yakni yang menyangkut penyebutan nama-nama orang yang mata rantainya tidak
jelas saat menerima.
Saya sendiri, misalnya, agak meragukan kebenaran
penyebutan nama Ganjar Pranowo, Almuzammil Yusuf, dan Yasona Laoly sebagai
orang-orang yang ikut menerima dana haram itu karena tak dijelaskan kapan
menerima, di mana menerima, siapa yang menyerahkan, dan melalui siapa serta
melalui rekening yang mana kalau ditransfer melalui bank.
Saya kenal baik mereka saat kami sama-sama duduk sebagai
anggota DPR periode 2004–2009. Mereka ini, dalam pengenalan saya, termasuk
yang tegas antikorupsi.
Diskusi-diskusi saya dengan Ganjar Pranowo yang mengutuk
korupsi di DPR, misalnya, bukan hanya kami lakukan di Gedung DPR, tetapi
sampai di pesawat udara atau saat duduk bersama di meja makan. Bahkan saya
ragu juga kalau Gamawan Fauzi yang pernah mendapat anugerah Hatta Award
sebagai tokoh antikorupsi itu juga mendapat bagian dari pesta pora haram
proyek e-KTP ini.
Namun pengakuannya bahwa dirinya pernah meminjam uang dari
orang yang dinyatakan terlibat e-KTP untuk membeli tanah itu tak sulit untuk
dilacak. Itu tinggal dilihat di Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara
(LHKPN), apakah ia memang pernah melaporkan membeli tanah dan apakah
melaporkan berutang saat menjabat.
Begitu juga tinggal dicek ketentuannya di Kementerian
Keuangan, apakah pejabat yang berceramah untuk sosialisasi itu mendapat honor
sebesar Rp10.000.000 setiap satu jam ataukah tidak. Sejauh pengalaman saya,
honorarium ceramah untuk 2 jam hanya sebesar Rp2.720.000 setelah dipotong
pajak.
Terkait dengan ini, pengakuan saksi Miriyam S Hariyani
pada sidang Kamis (23/3/2017) bahwa dirinya mencabut kesaksiannya di dalam
BAP karena diancam saat diperiksa penyidik KPK tidak sulit untuk dijernihkan.
Sejauh yang saya dengar dari mereka yang pernah diperiksa di ruang penyidikan
KPK, tak pernah ada pengancaman atau pemaksaan.
Semua yang diperiksa KPK selalu diperlakukan dengan baik,
diberi waktu rehat untuk salat, disediakan makan, dan diberi uang transpor
dan penginapan bagi mereka yang dari luar kota. Pengakuan Miriyam S Haryani
agak mengagetkan karena kalau itu benar, berarti telah terjadi perubahan dari
prosedur ramah ke prosedur kasar dalam pemeriksaan di KPK.
Tapi ini pun bisa dijernihkan di pengadilan, jangan-jangan
Miriyam bukan diancam oleh penyidik KPK, tetapi diancam oleh sindikat korupsi
e-KTP untuk menyatakan begitu di pengadilan. Pengadilan tinggal memanggil
penyidik untuk bersaksi dan menghadirkan rekaman CCTV, sebab setahu saya
pemeriksaan di KPK direkam dengan CCTV bukan hanya dari satu sudut, tetapi
lebih dari itu.
Korupsi harus diperangi dan pelakunya harus dihukum tanpa
pandang bulu. Tapi pengadilan juga harus adil, tak boleh sembarangan
menghukum orang yang mungkin hanya dicatut namanya sehingga tak ada mata
rantainya yang bisa meyakinkan.
Sejauh ini keterlibatan mereka yang disebut-sebut dalam
dakwaan kasus e-KTP ada yang meyakinkan dan ada yang meragukan. Adalah tugas
pengadilan untuk memilah dan menegakkan keadilan bagi mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar