Dramaturgi
Wakil Rakyat
W Wempy Hadir ; Peneliti; Direktur Komunikasi Indopolling
Network
|
MEDIA
INDONESIA, 25 Maret 2017
ERVING
Goffman, seorang sosiolog berkebangsaan Kanada-Amerika, menjelaskan soal
dramaturgi. Intinya dia menjelaskan bahwa dalam drama terdapat dua panggung,
yakni panggung belakang (back stage) dan panggung depan (front stage). Antara
panggung belakang dan depan menampilkan perbedaan. Perbedaan tersebut ialah
panggung depan merupakan sandiwara, sedangkan panggung belakang ialah
autentisitas dari sang aktor. Apa yang dipertontonkan wakil rakyat kita
seolah mengingatkan kita pada dramaturgi tersebut. Wakil rakyat di hadapan
publik bicara kepentingan rakyat, tetapi pada panggung belakang bicara soal
kepentingan partai dan kelompoknya. Wakil rakyat seolah menampilkan wajah
ganda.
Mereka
bisa memainkan peran ganda sebagai wakil rakyat dan peran sebagai wakil
partai dan kelompok. Dramaturgi tecermin dalam agenda RUU Pemilu yang mana
wajah ganda dimainkan dalam pembahasan tersebut. Wajah ganda yang dimaksudkan
ialah bahwa wakil rakyat mengabdi kepada dua tuan, yaitu partai dan rakyat.
Mestinya mereka hanya mengabdi kepada satu tuan, yaitu rakyat itu sendiri
karena kekuasaan adalah milik rakyat. Kalau kekuasaan adalah milik rakyat,
tidak ada alasan lain bagi mereka untuk tidak tunduk dan patuh terhadap
keinginan rakyat.
Ketika
wakil rakyat menampilkan wajah ganda, pada saat yang sama mereka sedang
mengkhianati rakyat yang mereka wakili. \Lalu dramaturgi ini mendorong saya
untuk mengaitkan dengan apa yang terjadi dalam ruang publik belakangan ini.
Dramaturgi tersebut terlihat ketika dewan terhormat membahas RUU Pemilu yang
sudah hampir sebulan berada di tangan dewan. Seolah mereka kehabisan akal dan
mencoba melakukan studi banding untuk melakukan komparasi sistem pemilu di
negara lain. Kunjungan yang dilakukan ke Meksiko dan Jerman itu diikuti 30
anggota DPR RI. Sebanyak 15 orang ke Meksiko dan 15 orang ke Jerman.
Lalu
apa esensi dari kunjungan tersebut? Esensinya ialah terwujudnya sistem pemilu
Indonesia yang mampu menjawab tantangan zaman dalam konteks kekinian
Indonesia. Misalnya adanya gagasan soal e-voting. Saya kira ini menjadi
pertimbangan yang perlu didiskusikan sehingga kendala penghitungan suara
selama ini yang kerap juga bermasalah bisa diatasi. Apakah dalam konteks
Indonesia dengan tantangan demografi yang yang tidak mudah dapat menggunakan
konsep e-voting. Namun, perlu juga dikritisi bahwa jika tujuan studi banding
tersebut untuk mengubah UU Pemilu dengan memasukkan kepentingan partai di
atas kepentingan nasional, ketidakefektifan dari studi banding tersebut perlu
dicurigai.
Ketidakefektifan
tersebut bisa terlihat dari munculnya gagasan bahwa anggota Komisi Pemilihan
Umum dan Badan Pengawasan Pemilu perlu diisi kader partai. Bagi saya, ini
merupakan langkah mundur dan rentan terhadap konflik kepentingan (conflict of
interest). Bagaimanapun juga, rencana kader dari partai yang mengisi ruang
penyelenggara pemilu sangat rentan dengan kepentingan partai dan bisa memicu
disintegritas penyelenggara pemilu nantinya. Mestinya wakil rakyat kita
belajar dari masa lalu.
Misalnya
saja pada Pemilu 1999. Pada saat itu, anggota KPU terdiri dari berbagai kader
partai politik. Representasi partai politik telah menimbulkan deadlock dalam
setiap pengambilan keputusan. Ini terjadi tentunya karena setiap partai
mempunyai kepentingan yang ingin diperjuangkan/dipertahankan. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa anggota KPU dan Bawaslu yang berasal dari
partai politik bisa terjebak dalam conflict of interest, sebab mereka berasal
dari partai. Jika ini yang terjadi, jangan berharap kita akan menghasilkan
pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. RUU Pemilu
untuk siapa? Pemilu ialah salah satu mekanisme yang diatur negara dalam
rangka melakukan pengisian kursi legislatif dan eksekutif pada setiap
tingkatan.
Oleh
karena itu, dalam rangka pelaksanaan pemilu yang bisa menghasilkan legislatif
dan eksekutif yang memiliki legitimasi, hal itu perlu diatur dalam UU Pemilu.
RUU Pemilu yang sedang dibahas wakil rakyat saat ini bertujuan untuk memenuhi
harapan publik yang merindukan sistem pemilu Indonesia yang stabil. Stabil
yang dimaksud ialah kita mempunyai sistem pemilu yang bisa dipakai dalam
kurun waktu yang cukup lama ke depannya. Hal ini tentu sangat bermanfaat
sehingga kita tidak terjebak dalam urusan teknis setiap menjelang pemilu.
Akan tetapi, kita mestinya bergeser ke persoalan strategis bangsa ini
sehingga apa yang menjadi cita-cita sebuah bangsa tidak ditenggelamkan persoalan
teknis yang seolah menjadi prioritas wakil rakyat dari waktu ke waktu. Pemilu
seharusnya untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai.
Dengan
demikian, itu mestinya diejawantahkan dalam UU Pemilu yang akan datang
melalui afirmasi kepentingan publik dalam RUU Pemilu dimaksud. Afrimasi
kepentingan publik menjadi hal yang penting untuk menegasikan kepentingan
sesaat partai politik. Dengan demikian, kita akan menghasilkan UU Pemilu yang
stabil. Menuju sistem pemilu yang stabil Indonesia akan memasuki usia 72
tahun. Artinya bahwa bangsa ini bukan lagi bangsa yang muda. Sudah seharusnya
bangsa ini mempunyai sistem pemilu yang stabil sehingga setiap periode wakil
rakyat tidak terjebak dalam rutinitas pembahasan UU Pemilu. Sistem pemilu
yang stabil ialah sistem yang bisa dipakai untuk jangka waktu yang panjang
sehingga fokus kita tidak lagi pada persoalan teknis penyelenggaraan pemilu,
tetapi lebih kepada hal-hal yang jauh lebih strategis.
Selain
itu, sistem yang stabil memberikan dorongan yang positif bagi perkembangan
demokrasi. Sistem yang tidak stabil dan cenderung berubah-ubah menggambarkan
ketidakstabilan negara tersebut. Oleh karena itu, dalam rangka menuju pemilu
yang stabil, sudah saatnya wakil rakyat berdiri di atas semua kepentingan
partai untuk mendesain UU Pemilu yang dapat digunakan untuk jangka waktu ke
depan. Hal ini tentu menjadi harapan seluruh rakyat Indonesia. Jika bukan
sekarang, kapan lagi? Sebagai bangsa yang besar dengan negara demokrasi
terbesar ketiga di dunia, sudah saatnya UU Pemilu dirancang untuk kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan pragmatis partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar