Anak
sebagai Korban dan Pelaku Pedofilia
Bagong Suyanto ; Dosen dan Peneliti Masalah Sosial Anak
di Departemen Sosiologi FISIP
Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 22
Maret 2017
PASCA
terkuak jaringan online komunitas pedofil Official Loli Candy’s Group, kini
aparat kepolisian tidak hanya sibuk membekuk siapa saja yang menjadi pelaku,
tetapi juga berusaha mencari anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan
seksual para pedofil.
Untuk
para pelaku, dilaporkan bahwa polisi telah menangkap lima orang tersangka.
Mereka terdiri atas empat orang pengelola akun porno dan satu anggota yang
aktif mengirimkan video maupun foto anak-anak yang menjadi korban pedofil ke
media sosial dan jejaring yang lain melalui Facebook, WhatsApp, dan Telegram.
Sedangkan
untuk anak yang menjadi korban pedofil, dilaporkan bahwa aparat kepolisian
telah berhasil mengidentifikasi sebelas anak yang menjadi korban ulah bejat
DF (17 tahun), yang diketahui telah mencabuli anak-anak berusia 3–9 tahun
dari kawasan Bogor, Sukabumi, dan Depok. Sedangkan dari keterangan W (25
tahun), pelaku yang lain, polisi telah berhasil mengidentifikasi dua anak
yang menjadi korban ulah bejatnya.
Berdasar
keterangan empat pengelola akun para pedofil yang ditangkap aparat
kepolisian, yang memprihatinkan ternyata dua orang pelaku merupakan anak di
bawah umur. Selain DF yang berusia 17 tahun, ada SHDW berusia 16 tahun.
Ketika Anak Menjadi Pelaku
Kalau
berbicara murni aspek hukum, siapa pun yang melakukan tindak kejahatan
seksual kepada anak-anak sudah sewajarnya diproses di meja hijau dan dihukum
setimpal. Cuma, yang menjadi masalah ketika sebagian pelaku pedofil adalah
anak-anak di bawah umur yang dianggap belum matang secara psikologis. Apakah
dengan diproses dan dimasukkan ke penjara akan ada jaminan bahwa setelah
bebas mereka tidak akan melakukan kesalahan yang sama?
Pertanyaan
itu penting dibahas. Sebab, ketika aparat penegak hukum memproses kasus
tersebut dan menjadikan anak-anak tersebut sebagai terdakwa, kemudian
menghukum mereka di penjara sebagai bentuk sanksi atas kejahatan yang
dilakukan, harus diakui bahwa konsekuensi yang bakal dihadapi anak yang
menjadi pelaku tindak kejahatan itu akan lebih berat. Dalam banyak kasus,
anak-anak yang berkonflik dengan hukum, kemudian dipenjara, justru menemukan
habitat yang keliru, yang malah memupuk perkembangan aspek-aspek negatif
dalam kehidupan sosialnya.
Tidak
berarti anak yang berkonflik dengan hukum, melakukan tindak kejahatan yang
mengerikan seperti memerkosa anak lain, dibiarkan bebas merdeka begitu saja.
Menyikapi kasus anak yang melakukan kekerasan seksual kepada anak yang lain,
yang harus dilakukan adalah memikirkan formula sanksi seperti apakah yang
menghukum sekaligus memberikan kesempatan kepada mereka menjalani proses
rehabilitasi yang tepat.
Kesulitan
yang harus dihadapi ketika aparat penegak hukum menghadapi kasus anak adalah
pelaku tindak kejahatan seksual adalah bagaimana memutuskan sanksi yang
benar-benar tepat, tanpa harus berisiko menjadikan keselamatan anak-anak lain
di masa depan menjadi lebih berbahaya, karena anak yang dihukum justru tumbuh
menjadi calon pelaku predator anak yang tak kalah berbahaya.
Rehabilitasi Korban
Untuk
menyelamatkan anak yang menjadi korban ulah para pedofil, yang dibutuhkan
tentu bukan sekadar rehabilitasi fisik seperti mengobati luka fisik korban
yang biasanya menjadi korban sodomi pelaku. Tetapi, yang tak kalah penting
adalah bagaimana kita melakukan rehabilitasi sosial-psikologis untuk
memastikan perkembangannya, kemudian anak yang menjadi korban tidak
terus-menerus trauma dan tumbuh dengan jiwa yang terluka.
Berbeda
dengan anak yang menjadi korban perkosaan konvensional, dalam kasus tindak
kekerasan seksual di komunitas cyberspace, kemungkinan menghapus
penyebarluasan foto atau video sexual abuse yang dialami anak-anak korban
pedofil sungguh tidak mudah. Anak yang videonya telah diunggah ke media
sosial, kemungkinan untuk menemukan jejak digital yang menampilkan apa yang
mereka alami selama ini, niscaya jauh lebih sulit.
Trauma
akut dan rehabilitasi yang tidak tuntas sering menyebabkan anak yang ketika
kecil menjadi korban ulah pedofil tumbuh dengan jiwa yang terluka dan bahkan
menganggap lingkungan sosial di sekitarnya tidak ramah. Tidak mustahil
terjadi, ketika kecil menjadi korban sexual abuse, seseorang tumbuh dengan
perasaan ditolak lingkungan sosialnya. Akibatnya, ketika besar, tanpa
disadari mereka menjadi predator seksual sebagai jalan keluar mengatasi rasa
terisolasi dan teralienasi dari lingkungan sosial di sekitarnya.
Perilaku
seksual yang patologis sering muncul ketika anak yang menjadi korban sexual
abuse tidak berhasil memutus mata rantai kekerasan yang menimpanya. Misalnya,
DF (17 tahun). Dia kepada polisi mengaku bahwa sebelum menjadi predator
seksual yang banyak memakan korban anak-anak, ternyata saat kelas V SD
dirinya pernah menjadi korban tindakan seksual yang dilakukan sesama
laki-laki. DF yang sejak kelas IV SD sudah gemar menonton film-film porno
akhirnya tumbuh dengan kepribadian yang menyimpang: mengulang penderitaan yang
pernah dialaminya dengan cara mengubah posisinya menjadi pelaku yang memegang
kendali atas anak lain yang menjadi korban seperti masa kecilnya dulu.
Mengatasi
kasus pedofilia dengan posisi anak menjadi korban sekaligus pelaku harus
diakui bukan hal yang mudah. Penanganan kasus yang dilematis seperti itu
tentu yang dibutuhkan bukan hanya pendekatan legalistik-punitif yang hanya
berbicara soal sanksi, melainkan juga yang tak kalah penting adalah bagaimana
memikirkan exit strategy yang tepat agar ancaman yang dihadapi anak-anak pada
masa depan tidak makin kelam. Menangani anak yang menjadi predator seksual
anak sungguh membutuhkan kebijakan dan pertimbangan yang matang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar