Kamis, 23 Maret 2017

Mahir, Mahar, dan Murah

Mahir, Mahar, dan Murah
Lasarus Jehamat  ;   Dosen Sosiologi FISIP Undana
                                             MEDIA INDONESIA, 22 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

POLITIK itu mahal. Mahal karena politik pasti menghabiskan banyak uang dan beragam energi di dalamnya. Tesis demikian bisa dibaca dan dilihat dari konteks politik lokal dan nasional Indonesia. Untuk politik, anggaran negara harus dikucurkan demi berjalannya sebuah proses politik. Seperti ada adagium tunggal, demokrasi yang dijalankan dalam politik dan dipraktikkan di level masyarakat harus dibayar mahal. Minimal itu yang terjadi di Indonesia sampai hari ini.

Kenyataan mahalnya politik perlahan-lahan diubah. Dengan agak tertatih-tatih, beberapa lembaga politik seperti parpol mau mengubah prasangka demikian. Di titik itulah, kita harus menyebut Partai Nasional Demokrat (NasDem). NasDem mengajarkan sebuah nilai baru kepada semua elemen politik negara. Bahwa politik itu tidak perlu mahal, bahwa politik tidak perlu mengeluarkan banyak uang di dalamnya. Itulah yang disebut politik etika Partai NasDem. Pencalonan dua bakal calon gubernur (DKI Jakarta dan Jawa Barat) sudah cukup menunjukkan bahwa politik memang murah jika sistem politik dibangun dengan berlandaskan etika dan mempraktikkan moralitas politik.

Seperti diberitakan, NasDem menetapkan calon Gubernur DKI Jakarta, Ahok, dengan tidak meminta mahar. Yang terakhir, NasDem berani dengan cepat mendukung Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, dalam kontestasi politik pilkada serentak tahap tiga pada 2018. Benang merahnya sama. Politik tanpa mahar (Media Indonesia, 20/03). Tulisan ini ingin menjelaskan budaya baru dalam politik. Tesis dasarnya ialah politik tidak perlu mahal. Politik adalah kemahiran menghilangkan mahar untuk sebuah praktik murah dalam pengambilan kebijakan penting bagi rakyat.

Pragmatisme politik

Dalam The Priority of Democracy: Political Consequences of Pragmatism, Knight and Johnson (2011) menyebut parpol masa kini lebih cenderung menampakkan inkonsistensi peran politik mereka. Beberapa inkonsistensi peran terutama dalam soal-soal berikut, transaksi ekonomi, distribusi hak, politik konstitusional, pengambilan keputusan, serta hak milik dan penggunaan sumber daya. Dalam praktiknya, empat peran lain dijalankan secara vulgar dan ditunjukkan pada peran pertama transaksi ekonomi. Realitas itu menunjukkan pragmatisme di ruang ekonomi dipraktikkan dengan amat sangat jelas di ruang politik. Di sana, ideologi kerakyatan tidak lagi berperan penting. Yang berperan di sana ideologi pragmatis. Itulah alasan mengapa banyak orang menyebut parpol saat ini lebih banyak berperan sebagai mesin penyalur tenaga kerja politik ketimbang lembaga yang bisa melahirkan produk kebijakan prorakyat.

Di sana teori politik bertugas untuk menganalisis dan menjelaskan beragam realitas kontradiktif. Pandangan kritis harus dilibatkan. Tugas teori kritis ialah membantu ahli politik membongkar kedok kepalsuan ideologis di balik perilaku konyol lembaga politik seperti parpol. Di ruang politik Indonesia, apa yang disebut politik konstitusional (constitutional politics) dan pengambilan keputusan (democratic decision making) segera diubah menjadi nconstitutional politics dan pengambilan keputusan yang tidak demokratis. Semua aset dan sumber daya kemudian dipakai untuk tujuan politik. Politik menjadi begitu mahal dan amat elitis. Elite partai harus disebut di sana. Dalam praktiknya, elite partai, terutama pemimpin parpol, dikonstruksi sebagai dewa politik ketimbang aktor demokrasi. Hanya ada satu dua elite partai yang benar-benar menjalankan tugas dan peran demokratis mereka secara konsisten.

Melampaui praktik politik

Politik etis Partai NasDem hemat saya tidak hanya dibaca dalam konteks budaya politik, tetapi juga sebagai pengejawantahan nilai-nilai politik prorakyat. Dalam dirinya, politik etis telah memberikan efek pencerahan politik Indonesia yang kerap dianggap mahal dan elitis itu. Praktik politik yang diterapkan Partai NasDem minimal mengubah lima soal yang disampaikan Knight and Johnson di atas. Mengubah praktik politik busuk dengan ekonomi biaya tinggi. Ini tentu mengubah model politik transaksional yang bersifat ekonomistik ke transaksi politik berbasis nilai-nilai prorakyat. Transaksi bisa saja disebutkan, tetapi itu diarahkan untuk kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, paham politik Aristotelian minimal bisa diterapkan. Balas jasa akan segera hilang jika transaksi berbasis etika dibumikan.

Dalam aspek distribusi hak, politik tanpa mahar terjadi dan berdampak pada dua hal. Di level parpol, memberi ruang bagi parpol mengontrol calon pemimpin agar melaksanakan janji-janji. Di level calon pemimpin, bisa membuatnya mengambil kebijakan tanpa hambatan psikologis sebab kebijakan diarahkan untuk rakyat dan bukan untuk partai. Hal ini tentu berdampak pada diterapkannya politik konstitusional. Pembumian nilai-nilai konstitusi akan dengan mudah diterapkan sebab baik parpol maupun calon pemimpin tidak keluar dari rumusan umum regulasi dan aturan. Politik tanpa mahar selanjutnya berdampak pada pengambilan keputusan dengan sangat demokratis. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kebijakan yang diambil seorang pemimpin akan ditujukan bagi kesejahteraan umum. Pemimpin yang dihasilkan melalui proses demikian tidak memiliki hambatan politik dan psikologis dalam menetapkan kebijakan prorakyat. Penjelasan di atas dapat meminimalkan tidak hanya penggunaan uang dalam politik, tetapi juga mereduksi berbagai jaringan busuk masuk ke arena politik. Telah menjadi rahasia umum jika politik di RI menggunakan aset ekonomi untuk tujuan politik. Selanjutnya, elite politik membangun jaringan sebanyak dan seintens mungkin agar kekuasaan didapat dan mudah diraih.

Wajar memang. Meski demikian, penggunaan berbagai aset ekonomi tanpa kontrol parpol dan beragam lembaga politik serta masyarakat yang lainnya bisa berdampak penggunaan aset individu yang terlampau besar dan banyak dalam politik. Bahayanya jelas. Ketika terpilih, pemimpin yang bersangkutan akan berjibaku mengumpulkan kembali aset yang telah dipakainya dan membayar semua jaringan yang telah dipakainya. Inilah yang disebut efek patron-klien dalam politik. Gugatan selanjutnya ialah sampai kapan semua lembaga politik seperti parpol bisa mengikuti jejak restoratif Partai NasDem? Yang pasti, Partai NasDem bukanlah dewa. Dia bukan entitas bersih tanpa celah. Meski demikian, praktik politik tanpa mahar Partai NasDem hemat saya bisa mengurangi beban masyarakat dalam membangun bangsa ini. Semua yang belajar politik dan demokrasi di Indonesia akan segera paham, bahwa politik bisa kembali ke jalan yang benar asal elite politik mengubah perilaku politik busuk. Yang paling utama, mahir meniadakan mahar untuk sebuah kemurahan politik. Kemurahan politik niscaya bisa membangun peradaban politik Indonesia yang lebih beradab ke depan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar