Mahir,
Mahar, dan Murah
Lasarus Jehamat ; Dosen Sosiologi FISIP Undana
|
MEDIA
INDONESIA, 22 Maret 2017
POLITIK itu mahal. Mahal
karena politik pasti menghabiskan banyak uang dan beragam energi di dalamnya.
Tesis demikian bisa dibaca dan dilihat dari konteks politik lokal dan
nasional Indonesia. Untuk politik, anggaran negara harus dikucurkan demi
berjalannya sebuah proses politik. Seperti ada adagium tunggal, demokrasi
yang dijalankan dalam politik dan dipraktikkan di level masyarakat harus
dibayar mahal. Minimal itu yang terjadi di Indonesia sampai hari ini.
Kenyataan mahalnya politik
perlahan-lahan diubah. Dengan agak tertatih-tatih, beberapa lembaga politik
seperti parpol mau mengubah prasangka demikian. Di titik itulah, kita harus
menyebut Partai Nasional Demokrat (NasDem). NasDem mengajarkan sebuah nilai
baru kepada semua elemen politik negara. Bahwa politik itu tidak perlu mahal,
bahwa politik tidak perlu mengeluarkan banyak uang di dalamnya. Itulah yang
disebut politik etika Partai NasDem. Pencalonan dua bakal calon gubernur (DKI
Jakarta dan Jawa Barat) sudah cukup menunjukkan bahwa politik memang murah
jika sistem politik dibangun dengan berlandaskan etika dan mempraktikkan
moralitas politik.
Seperti diberitakan,
NasDem menetapkan calon Gubernur DKI Jakarta, Ahok, dengan tidak meminta
mahar. Yang terakhir, NasDem berani dengan cepat mendukung Wali Kota Bandung,
Ridwan Kamil, dalam kontestasi politik pilkada serentak tahap tiga pada 2018.
Benang merahnya sama. Politik tanpa mahar (Media Indonesia, 20/03). Tulisan
ini ingin menjelaskan budaya baru dalam politik. Tesis dasarnya ialah politik
tidak perlu mahal. Politik adalah kemahiran menghilangkan mahar untuk sebuah
praktik murah dalam pengambilan kebijakan penting bagi rakyat.
Pragmatisme
politik
Dalam The Priority of
Democracy: Political Consequences of Pragmatism, Knight and Johnson (2011)
menyebut parpol masa kini lebih cenderung menampakkan inkonsistensi peran
politik mereka. Beberapa inkonsistensi peran terutama dalam soal-soal berikut,
transaksi ekonomi, distribusi hak, politik konstitusional, pengambilan
keputusan, serta hak milik dan penggunaan sumber daya. Dalam praktiknya,
empat peran lain dijalankan secara vulgar dan ditunjukkan pada peran pertama
transaksi ekonomi. Realitas itu menunjukkan pragmatisme di ruang ekonomi
dipraktikkan dengan amat sangat jelas di ruang politik. Di sana, ideologi
kerakyatan tidak lagi berperan penting. Yang berperan di sana ideologi
pragmatis. Itulah alasan mengapa banyak orang menyebut parpol saat ini lebih
banyak berperan sebagai mesin penyalur tenaga kerja politik ketimbang lembaga
yang bisa melahirkan produk kebijakan prorakyat.
Di sana teori politik
bertugas untuk menganalisis dan menjelaskan beragam realitas kontradiktif.
Pandangan kritis harus dilibatkan. Tugas teori kritis ialah membantu ahli
politik membongkar kedok kepalsuan ideologis di balik perilaku konyol lembaga
politik seperti parpol. Di ruang politik Indonesia, apa yang disebut politik
konstitusional (constitutional politics) dan pengambilan keputusan
(democratic decision making) segera diubah menjadi nconstitutional politics
dan pengambilan keputusan yang tidak demokratis. Semua aset dan sumber daya
kemudian dipakai untuk tujuan politik. Politik menjadi begitu mahal dan amat
elitis. Elite partai harus disebut di sana. Dalam praktiknya, elite partai,
terutama pemimpin parpol, dikonstruksi sebagai dewa politik ketimbang aktor
demokrasi. Hanya ada satu dua elite partai yang benar-benar menjalankan tugas
dan peran demokratis mereka secara konsisten.
Melampaui
praktik politik
Politik etis Partai NasDem
hemat saya tidak hanya dibaca dalam konteks budaya politik, tetapi juga
sebagai pengejawantahan nilai-nilai politik prorakyat. Dalam dirinya, politik
etis telah memberikan efek pencerahan politik Indonesia yang kerap dianggap
mahal dan elitis itu. Praktik politik yang diterapkan Partai NasDem minimal
mengubah lima soal yang disampaikan Knight and Johnson di atas. Mengubah
praktik politik busuk dengan ekonomi biaya tinggi. Ini tentu mengubah model
politik transaksional yang bersifat ekonomistik ke transaksi politik berbasis
nilai-nilai prorakyat. Transaksi bisa saja disebutkan, tetapi itu diarahkan
untuk kepentingan rakyat banyak. Dengan kata lain, paham politik Aristotelian
minimal bisa diterapkan. Balas jasa akan segera hilang jika transaksi
berbasis etika dibumikan.
Dalam aspek distribusi
hak, politik tanpa mahar terjadi dan berdampak pada dua hal. Di level parpol,
memberi ruang bagi parpol mengontrol calon pemimpin agar melaksanakan janji-janji.
Di level calon pemimpin, bisa membuatnya mengambil kebijakan tanpa hambatan
psikologis sebab kebijakan diarahkan untuk rakyat dan bukan untuk partai. Hal
ini tentu berdampak pada diterapkannya politik konstitusional. Pembumian
nilai-nilai konstitusi akan dengan mudah diterapkan sebab baik parpol maupun
calon pemimpin tidak keluar dari rumusan umum regulasi dan aturan. Politik
tanpa mahar selanjutnya berdampak pada pengambilan keputusan dengan sangat
demokratis. Seperti yang telah dijelaskan di atas, kebijakan yang diambil
seorang pemimpin akan ditujukan bagi kesejahteraan umum. Pemimpin yang
dihasilkan melalui proses demikian tidak memiliki hambatan politik dan
psikologis dalam menetapkan kebijakan prorakyat. Penjelasan di atas dapat
meminimalkan tidak hanya penggunaan uang dalam politik, tetapi juga mereduksi
berbagai jaringan busuk masuk ke arena politik. Telah menjadi rahasia umum
jika politik di RI menggunakan aset ekonomi untuk tujuan politik.
Selanjutnya, elite politik membangun jaringan sebanyak dan seintens mungkin
agar kekuasaan didapat dan mudah diraih.
Wajar
memang. Meski demikian, penggunaan berbagai aset ekonomi tanpa kontrol parpol
dan beragam lembaga politik serta masyarakat yang lainnya bisa berdampak
penggunaan aset individu yang terlampau besar dan banyak dalam politik.
Bahayanya jelas. Ketika terpilih, pemimpin yang bersangkutan akan berjibaku
mengumpulkan kembali aset yang telah dipakainya dan membayar semua jaringan
yang telah dipakainya. Inilah yang disebut efek patron-klien dalam politik.
Gugatan selanjutnya ialah sampai kapan semua lembaga politik seperti parpol
bisa mengikuti jejak restoratif Partai NasDem? Yang pasti, Partai NasDem
bukanlah dewa. Dia bukan entitas bersih tanpa celah. Meski demikian, praktik
politik tanpa mahar Partai NasDem hemat saya bisa mengurangi beban masyarakat
dalam membangun bangsa ini. Semua yang belajar politik dan demokrasi di
Indonesia akan segera paham, bahwa politik bisa kembali ke jalan yang benar
asal elite politik mengubah perilaku politik busuk. Yang paling utama, mahir
meniadakan mahar untuk sebuah kemurahan politik. Kemurahan politik niscaya
bisa membangun peradaban politik Indonesia yang lebih beradab ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar