Para
Perusak Demokrasi
Masdar Hilmy ; Guru Besar Ilmu-ilmu Sosial dan Wakil
Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel, Surabaya
|
KOMPAS, 24 Maret 2017
Musuh
demokrasi yang sedang kita hadapi sebenarnya bukanlah pihak asing yang dengan
sengaja merusak, menggerogoti, dan kemudian merobohkan demokrasi. Mereka
tidak lain adalah anggota keluarga bangsa ini yang telah tega memakan bangkai
saudaranya sendiri: para koruptor. Mereka adalah perusak sendi-sendi
demokrasi yang bisa menghancurkan dan menenggelamkan NKRI, bukan orang lain.
Ironisnya,
para koruptor adalah mereka yang terlalu bebal terhadap cara-cara busuk yang
ditempuh para pendahulu mereka. Lebih tepatnya, mereka tidak mengambil
pelajaran dari jalan hidup para koruptor sebelumnya. Akibatnya, jalan cerita
korupsi di negeri ini cenderung repetitif, copy-paste, dan tidak kreatif.
Daur ulang korupsi
Di
negeri ini tindakan korupsi hampir selalu mengambil bentuk, pola, dan modus
yang sama: korupsi politik. Dibandingkan dengan korupsi konvensional, korupsi
politik paling banyak dilakukan di sektor pelayanan publik. Dalam konteks
ini, kasus korupsi KTP elektronik yang menimbulkan kerugian negara Rp 2,3
triliun merupakan contoh korupsi di sektor pelayanan publik dimaksud.
Transparansi Internasional dalam Laporan Korupsi Global tahun 2004
mendefinisikan korupsi politik sebagai the abuse of entrusted power by
political leaders for private gain.
Dalam
rezim demokrasi, korupsi kerap terjadi karena ”transkrip demokrasi” telah
dikhianati, yakni ketika prinsip-prinsip demokrasi seperti akuntabilitas dan
transparansi publik telah dikebiri (Philp, 1997: 438).
Di
Indonesia, korupsi politik telah menjangkiti semua lembaga negara: eksekutif,
legislatif, dan yudikatif. Dalam melakukan kejahatan korupsi, para koruptor
hampir selalu melakukannya secara ”berjemaah”. Dari semua lembaga negara yang
ada, hanya KPK yang masih steril dan menjadi tumpuan terakhir bangsa ini
untuk menghadang laju korupsi.
Oleh
karena itu, korupsi di era demokrasi tidak mungkin dilakukan oleh rakyat
secara perseorangan, partikelir, atau terpisah dari konteks politik-kekuasaan.
Rakyat justru lebih banyak menjadi korban atau tumbal dari mata rantai
siklikal kejahatan ko- rupsi ”berjemaah” tersebut. Mengapa? Karena korupsi
politik dapat dipastikan akan menggerus dan mendegradasi kualitas layanan
publik yang harus diterima oleh rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan,
infrastruktur publik, dan semacamnya. Dengan demikian, korupsi politik tidak
mungkin dilakukan di luar struktur ekonomi-politik yang ada.
Dalam
konteks ini, memahami perilaku korupsi di kalangan elite politik dalam
perspektif Darwinian menjadi imperatif. Konsekuensinya, seorang elite
politik, betapa bersih pun dia, niscaya akan melakukan korupsi karena
dorongan struktur yang bersifat koersif secara berantai untuk memenuhi
tuntutan struktur politik yang korup.
Dalam
derajat tertentu, bisa saja tindakan korupsi merupakan bentuk strategi
mekanisme pertahanan diri seorang koruptor untuk menghadapi kontestasi dan
kompetisi politik. Dengan kata lain, para koruptor adalah ”penyintas politik”
yang bisa dipahami dalam konteksnya sebagai bagian dari sebuah sistem atau
struktur besar yang korup.
Di
era demokrasi, pola dan modus korupsi semestinya semakin canggih, subtil, dan
kompleks. Kenyataannya, para koruptor di negeri ini tidak mau belajar dari
sejarah sehingga mereka mereplikasi jalan korupsi para pendahulu mereka.
Akibatnya, modus pembocoran APBN hampir pasti selalu berulang. Mereka selalu
beraksi di setiap proyek besar nasional. Proyek-proyek tersebut selalu
melahirkan wajah-wajah baru koruptor di kemudian hari. Modusnya pun hampir
selalu sama: penggelembungan anggaran, pengadaan barang fiktif, hingga jual
beli hukum.
Saya
yakin para koruptor bukan tidak menyadari sepenuhnya akibat dan dampak buruk
perilaku mereka. Mereka pasti tahu bahwa jalan yang ditempuh dapat
mengantarkan mereka dan bangsa ini ke jurang kehancuran. Namun, kekuatan
struktur korupsi yang sistemik telanjur mengatasi dan melumpuhkan kapasitas
individu-individu yang bersih. Akibatnya, kapasitas diri seorang koruptor
tidak kuasa di hadapan kekuatan struktur besar yang mengerdilkan mereka. Hati
nurani menjadi buta, akal budi menjadi tumpul. Hasrat hidup bersih
terkalahkan oleh solidaritas korupsi ”berjemaah” tersebut.
Memartabatkan demokrasi
Dalam
konteks relasi antara demokrasi dan korupsi, tidak ada satu pun ilmuwan yang
meniscayakan absennya hubungan di antara keduanya. Demokrasi dan korupsi
berhubungan dalam pengertiannya yang negatif dan kontradiktif; keduanya
saling menegasikan. Korupsi adalah antitesis demokrasi. Korupsi dapat
menggerogoti dan merontokkan rezim demokrasi (lihat Warren, 2004; Johnston,
2005; Rock, 2009).
Yang
perlu digarisbawahi, korupsi di lingkungan semua lembaga negara merupakan
kejahatan ganda; menikam kepercayaan rakyat sekaligus membunuh mereka
pelan-pelan. Kasus-kasus besar korupsi yang terungkap belakangan ini
semestinya menyadarkan semua elemen bangsa ini, terutama para elite politik,
untuk mampu mengidentifikasi dan mewaspadai bagaimana jebakan atau
jerat-jerat korupsi bekerja.
Memartabatkan
demokrasi dalam pengertiannya yang in optima forma merupakan satu-satunya
kata kunci yang dapat menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran akibat
korupsi. Namun, jangan salah, dengan memartabatkan demokrasi, kita tidak
sedang memberhalakan demokrasi. Mengapa? Karena demokrasi bukanlah tujuan,
melainkan alat mencapai tujuan. Maksud dari ungkapan tersebut adalah: hanya
dengan memartabatkan demokrasi, kita akan memartabatkan semua elemen bangsa,
terutama rakyat sebagai satu-satunya pemangku kepentingan republik ini.
Mendekonstruksi
budaya politik bangsa ke arah budaya politik yang bersih, transparan, dan
akuntabel merupakan sebuah keniscayaan jika kita hendak memartabatkan
demokrasi. Persoalannya, bagaimana mungkin kita bisa membangun budaya politik
demikian di tengah kepungan struktur ekonomi-politik yang korup? Itulah
tantangan sekaligus rintangan pertama sebelum kita membangun budaya politik
yang bersih, transparan, dan akuntabel.
Upaya
memartabatkan demokrasi, dengan demikian, meniscayakan dua langkah sekaligus:
top-down dan bottom-up. Di tingkat atas, sudah saatnya para elite dan parpol
memelopori pola hidup bersih, transparan, dan akuntabel. Mereka jangan lagi
melihat realitas APBN yang dikucurkan lewat kementerian sebagai sumber
pendanaan kegiatan politik karena penjarahan APBN yang dilakukan hari ini
pasti—sekali lagi, pasti!—akan terkuak di kemudian hari.
Sementara
itu, di tingkat akar rumput, rakyat jangan diajari untuk menerima politik
uang, terutama menjelang pemilu dan pilkada.
Di
sisi lain, rakyat harus kritis terhadap sumbangan dari elite politik dalam
bentuk apa pun karena pada ujungnya para elite harus mencari gantinya dari
sumber-sumber keuangan negara (baca: APBN). Politik uang yang diterima rakyat
sebenarnya merupakan panjar yang dapat menunda dan menggadaikan kesejahteraan
mereka sendiri. Hanya dengan kedua cara itu, demokrasi akan dapat memuliakan
tuannya: kita semua. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar