Musik
dan Merdeka
Jean Couteau ; Penulis Kolom UDAR RASA Kompas Minggu
|
KOMPAS, 26 Maret 2017
Sabtu
(18/3) pukul 21.00. Rhapsody Brahms oleh Cascade Trio sebagai latar belakang
di Hotel Bali Padma.... Aku masih terpukau, hanyut di dalam perasaan tak
bernama, hening di dalam alunan irama tembus makna. Namun, tiba-tiba-apakah
hal itu adalah suatu penkhianatan terhadap musik atau kebalikannya suatu
penghormatan-aku terbayang suatu jenggot, disusul, makin jelas, suatu kepala,
lengkap dengan keffiyeh-nya. Tak ayal: itulah Raja Salman! Aku terjebak
musik! Tetapi, seketika dentingan piano Rhapsody mengingatkanku: aku harus
menolak.
Aku
boleh melamun, tetapi tidak akan terbawa klise tentang kekayaan Salman,
jumlah istrinya, hasrat halalnya, nasib TKI, dan aneka hal remeh serupa
lainnya. Aku tidak akan berpikir tentang geopolitik minyak, keganasan ISIS,
serta "kemustahilan" budaya Arab dan Islam pada umumnya untuk
merangkul modernitas. Aku akan merdeka. Aku boleh hanyut membayangkan Salman,
tetapi dia harus sebagai manusia biasa seperti aku, yang bisa jadi
punggungnya sakit karena uzur, dan mampu juga terharu mendengar teriakan
anak, kicauan burung, dan alunan musik yang mengheningkan.
Apakah
aku begini karena musik memang membebaskan? Aku tidak tahu. Tetapi, ayo coba!
Bagaimana jika aku menolak ditentukan oleh warisan identiter, pengaruh media,
dan latar belakang sosio-kulturalku yang membuatku-atau bahkan memaksaku
secara tak sadar-berpikir begini atau begitu, membuatku mengaitkan hidung dan
keffiyeh Salman dengan ajaran Wahabi yang sempit, wanita berpakaian burka,
kecurigaan perbuatan maksiat terselubung, dan aneka hal tak sedap lainnya
yang didasari info yang separuh benar, separuh prasangka, dan bagaimanapun
kerap keliru. Ya, susah, dong? Bagaimana cara merangkul manusia yang
dikonstruksi sebagai liyan di dalam ruang kultural asal kita? Bagaimana
memanusiakannya di dalam otak kita?
Jangan-jangan
aku putus asa. Karena, meskipun mereka "yang liyan" itu berhadapan
pula dengan prasangka yang tak kurang sempit seperti pradugaku di atas, pasti
ada kalanya mereka pula, apakah karena pengaruh musik atau kicauan burung,
ingin juga berpikir merdeka.
Bahkan,
tak mustahil Raja Salman datang ke Bali tanpa pesan apa pun, tak dihinggapi
tuntutan kaum Wahabi, tak peduli tentang siapa yang kafir, dan hanya ingin
bersenang-senang dengan anak-cucunya. Tak mustahil dia sekali- kali bosan
menjadi raja, bosan dimarahi istri, dan bisa memahami mengapa ada saja
anak-cucu Saud yang bersedia dilukat (dibersihkan) di pura Hindu ketika tur
wisatanya.
Maka,
mari bermimpi sejenak. Siapa tahu, nun di Jakarta sana, seusai mendengar
musik atau kicauan burung, seorang ulama pada saatnya tidak akan lagi memakai
sorbannya, tidak akan peduli apabila ia tampil sebagai orang botak anonim di
antara ribuan orang botak lainnya. Siapa tahu dia pun akan menjadi
"merdeka", dan berkenan bersembahyang dalam alunan musik Jawa.
Siapa tahu, terbawa musik ilahi entah asal mana, dia pun akhirnya bakal
menjadi "merdeka" tidak lagi merasa wajib dideterminasi pilihan
hidupnya oleh warisan identiter dan latar belakang sosio-kulturalnya.
Lebih
jauh lagi. Apakah aneh bin ajaib? Siapa tahu juga, di Jakarta nun di sana,
ketika tiba saatnya, tanggal 19 April nanti, semua warga kota akan tiba-tiba
mendengar, datang dari entah mana, alunan musik dan kicauan burung. Siapa
tahu mereka pun akhirnya akan merdeka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar