Titik
Nol Islam Nusantara
Teuku Kemal Fasya ; Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh; Antropolog Aceh
|
KOMPAS, 23 Maret 2017
Tiba-tiba
terdengar kabar bahwa Presiden Joko Widodo akan meresmikan Tugu Titik Nol
Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Acara itu
dirangkai dengan Silaturahim Nasional Jam’iyah Batak Muslim Indonesia, 24-25
Maret 2017, di Mandailing Natal. Kabar ini dipublikasi di situs Sekretariat
Kabinet Republik Indonesia (setkab.go.id).
Penentuan
ini tentu tidak jatuh begitu saja. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama kabarnya
ikut mendukung program Barus sebagai pusat masuknya Islam pertama di
Nusantara.
Rekonstruksi sejarah atau
etnografis?
Tentu
penetapan Barus sebagai titik awal Islam di Nusantara akan melahirkan perdebatan
terkait basis ilmiahnya. Jika digunakan pendekatan sejarah, yaitu pengetahuan
rekonstruksi masa lalu yang berpegang pada obyektivitas dan fakta ilmiah, ia
terikat pada metodologi yang ketat menurut sejarawan. Tentu juga harus
diingat nasihat sejarawan Inggris, RG Collingwood, fakta sejarah tidak pernah
akan sampai kepada kita secara murni. Dia selalu memiliki bias di dalam
pemikiran para perekamnya, termasuk upaya sejarawan menuliskannya.
Dari
sisi rekonstruksi sejarah, arus utama tentang sejarah mula Islam Nusantara
menyebutkan Samudera Pasai sebagai kerajaan Islam pertama. Kerajaan ini
merupakan gabungan dua kerajaan Hindu, yaitu Samudra dan Pasai, dengan Raja
Meurah Silue yang kemudian bergelar Malik as-Salih (1267-1297) {Muhammad
Said, 1981; Anthony Reid (ed), 1995; Robert Pringle, 2010}.
Pengukuhan
Pasai sebagai peradaban Islam Melayu pertama di Nusantara juga terjadi dalam
dua momentum seminar nasional, yaitu 17-20 Maret 1963 di Medan dan 10-16 Juli
1978 di Banda Aceh. Bahkan, dalam seminar ditemukan juga dalil-dalil tentang
jejak kekuasaan Pasai sejak abad ke-11.
Salah
satu dokumen tertua tentang keberadaan Kerajaan Pasai ditulis oleh pelancong
Venesia, Marco Polo, yang masih sempat bertemu dengan Sultan Malik as-Salih
(1292). Kesaksian etnografis Marco Polo tentang Pasai dan tujuh ”kerajaan”
lainnya di Sumatera (hanya enam yang sempat disinggahinya) memiliki kesan
berbeda. Ia menyiratkan Pasai yang terbesar. Penyebutan Perlak adalah tempat
pertama yang ia jelajahi. Selain Pasai dan Perlak yang Muslim, kerajaan lain
dikatakan masih menganut agama pagan dan bertradisi kanibal (Reid, Sumatera
Tempo Doeloe, 2010: 8-10).
Beberapa
bukti arkeologis seperti ingin mencecar tentang kesahihan Pasai sebagai
kerajaan tertua Islam Nusantara. Ada upaya untuk menjadikan Perlak sebagai
kerajaan Islam pertama dengan menggunakan pseudofakta, yaitu makam
berpenanggalan 840 M. Demikian pula memajukan Barus sebagai kerajaan tertua
Islam di Nusantara dengan dalil bahwa pedagang Muslim telah masuk di daerah
ini sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M (625-642 M), tapi tidak
memiliki bukti arus utama sejarah.
Tak kunjung berhasil
Saya
pernah menjadi pembahas riset Kerajaan Perlak oleh sebuah tim perguruan
tinggi di Langsa, beberapa tahun lalu. Hasil riset itu tak kunjung berhasil
menunjukkan dokumen valid bahwa Perlak telah berdiri sebagai sebuah
pemerintahan dibandingkan dengan sekadar komunitas etnis-agama. Hal ini tentu
berbeda dengan Kerajaan Pasai yang telah dikenal memiliki pemerintahan yang
relatif modern, penggunaan mata uang emas pertama di kerajaan Islam Asia
Tenggara, kekuatan kemiliteran, juga hubungan perdagangan dan politik
internasional (Teuku Ibrahim Alfian, Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah, 1999:
3-4).
Selama
ini, peneguhan orbit selain Pasai dilakukan tidak dengan pendekatan historis,
tetapi etnografis, yaitu melalui sejarah tuturan. Masyarakat di sana (Perlak
dan Barus) memercayai bahwa daerah merekalah yang menjadi titik awal Islam,
bukan Pasai.
Sebenarnya
penggunaan sejarah tuturan demi mengungkap kebenaran masa lalu sah ketika
tidak ada upaya lain untuk membongkar bangunan borjuisme sejarah (Paul
Thompson, Oral History : Voice of the Past, 2000: 28). Namun, penentuan
sejarah Pasai tidak terjadi dalam ruang politik, tapi pembuktian saintifis.
Antropolog pada era kolonial, seperti Snouck Hurgronje dan sejarawan Jean
Pierre Mouquette, ikut menunjukkan bukti-bukti keberadaan Kerajaan Pasai
sebelum ditaklukkan Kerajaan Aceh pada 1524.
Pasai layu, Barus mekar
Meski
demikian, bukan berarti Barus tidak penting dalam sejarah Nusantara. Kota tua
Barus telah dikenal di Timur Jauh, Eropa, dan Afrika Utara berabad- abad
sebelum Masehi serta menjadi pelintasan penting perdagangan kamper, kemenyan,
cendana, dan emas. Kota metropolis Sumatera itu mencapai puncaknya pada abad
ke-10, kemudian terus menurun menjadi hanya kota kecamatan lusuh dan sepi
(Kompas, 1 April 2005).
Namun,
bukti-bukti arkeologis pertama Barus tidak merujuk pada khazanah Islam. Jauh
sebelum Islam, Barus telah dikenal sebagai asal daerah Batak Toba. Pada abad
ke-11, berdasarkan penelitian epigrafi dan arkeologi, terkuak fakta
makam-makam Hindu berbahasa Tamil di daerah ini (Claude Guillot, 2002).
Makam-makam ulama di Papan Tenggi yang berpenanggalan abad ke-13 terjadi pada
fase lain, ketika Barus mulai sepi sebagai kota perdagangan dunia.
Sejak
Kerajaan Pasai melemah dan redup pada akhir abad ke-15, poros peradaban dan
sastra Melayu akhirnya pindah ke pantai barat-selatan, yaitu wilayah Barus
dan Singkil. Di daerah inilah dua hal berkembang secara bersamaan, yaitu
filsafat Islam wujudiyah dan kesusastraan Melayu.
Tokoh
utama sejarah Melayu dari Barus adalah Hamzah al-Fansuri yang diperkirakan
lahir 1570-an dan meninggal pada 1630-an. Fansur sendiri berarti ’kapur
barus’. Dulunya daerah Barus masuk wilayah Kerajaan Aceh. Pemikir besar lain
yang lahir 120 kilometer dari Barus (Singkil) ialah Syekh Abdurrauf
as-Singkili (1615-1693).
Berbeda
dengan pengembangan Islam di wilayah Pasai yang berporos pada fikih mazhab
Syafi’iyah, Barus dan Singkil menjadi tempat bersemainya gagasan tasawuf,
terutama tarekat sattariyah. Tasawuf sebagai ilmu agama batin menjadi
katalisator berkembangnya Islam toleran, inklusif, dan progresif.
Berkembangnya tradisi zikir dan suluk di Nusantara sangat dipengaruhi pemikiran
sufisme dari Barus dan Singkil.
Meski
demikian, ada hal yang masih menghubungkan antara Pasai dan Barus.
Karya-karya tokoh tasawuf, seperti Syarab al-’Asyikin, Mir’atul Thulab,
Tarjuman Mustafid, atau Umdat al-Muhatajin Suluk Maslak al-Mufridin dituliskan
dalam bahasa Melayu dan beraksara Arab yang diserupakan dengan bahasa Pasai.
Gagasan
pengembangan Islam Nusantara tidak bisa dilepaskan dari kesusastraan Melayu
Pasai pada abad ke-13 hingga ke-14. Ini merupakan pembabakan perkembangan
sastra Melayu Islam pertama di dunia atau perkembangan kedua setelah sastra
Melayu Buddha di Sriwijaya pada abad ke-7 hingga ke-13 (Abdul Hadi WM dalam
Sardono, 2005).
Akhirnya,
secara genealogis, Islam Nusantara tidak boleh melupakan Pasai sebagai titik
air pertama peradaban Islam-Melayu, bukan sekadar replikasi ”agama Mekkah”
yang dibawa pedagang-pelawat India, Arab, dan China.
Akan
tetapi, jika yang dimaksudkan di sini adalah Islam sufisme, tepatlah menyebut
Barus tanpa mengecilkan Singkil. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar