Rabu, 29 Maret 2017

Reforma Agraria, Reformat Kekuatan Agraris

Reforma Agraria, Reformat Kekuatan Agraris
Enny Sri Hartati  ;   Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                        KOMPAS, 27 Maret 2017


                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama sebagian besar masyarakat Indonesia. Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2016 menunjukkan, 37,77 juta atau 31,89 persen penduduk bekerja di sektor pertanian. Sementara kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto terus menyusut tinggal 13,45 persen. Artinya, kinerja dan produktivitas sektor pertanian terus memburuk. Salah satu penyebabnya adalah konversi lahan pertanian menjadi non- pertanian yang masif. Sementara rencana pemerintah untuk mencetak lahan pertanian baru tak kunjung terealisasi secara signifikan. Akibatnya, sebagian besar petani hanyalah petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar.

Fenomena ini membuat sektor pertanian makin tak menarik bagi angkatan kerja. Selanjutnya, urbanisasi tak terbendung, sekalipun tidak ada jaminan kehidupan yang lebih baik di kota. Di sisi lain, fragmentasi lahan terus terjadi sebagai konsekuensi pembagian warisan atau sebab lain. Karena itu, petani tidak banyak pilihan sehingga harus memilih menjual lahannya. Dengan demikian, dua permasalahan terjadi sekaligus, yakni konversi dan dominasi kepemilikan lahan pertanian yang semakin masif. Tidak mengherankan, disinyalir lebih dari 60 persen petani hanyalah buruh tani dan petani penggarap. Petani yang seharusnya mengolah lahan tidak memiliki lahan sehingga kemiskinan dan kesenjangan ekonomi desa tak terelakkan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, pemerintah akan melakukan kebijakan reforma agraria yang direncanakan mencapai sekitar 9 juta hektar (ha) melalui empat skema. Keempat skema itu adalah redistribusi lahan telantar, yakni lahan yang habis hak guna lahan sekitar 400.000 ha, lahan transmigrasi sekitar 600.000 ha, legalisasi aset atau pemberian sertifikasi sekitar 3,9 juta ha, dan redistribusi lahan yang berada di sekitar kawasan hutan 4,1 juta ha.

Persoalan redistribusi lahan tentu bukan persoalan sederhana. Harus ada payung hukum yang jelas mengenai konversi lahan dan pelepasan kawasan hutan yang akan dibagikan kepada masyarakat. Jika bentuknya peraturan presiden (perpres), ketentuan itu tidak hanya dituntut transparan dalam mengatur pola, mekanisme, dan prosedur redistribusi lahan saja. Namun, juga harus mampu menyelesaikan berbagai konflik agraria karena banyak area perkebunan yang izinnya tumpang tindih dengan kehutanan. Di samping itu, basis data terkait identifikasi dan verifikasi mengenai lahan yang telantar belum tersedia secara akurat. Tentu kegagalan program serupa sebelumnya harus menjadi bahan evaluasi agar tidak terulang.

Redistribusi lahan harus memiliki aturan yang mengikat agar lahan yang telah diberikan oleh pemerintah tidak dipindahtangankan. Muara skema reforma agraria yang paling pokok adalah harus berujung pada peningkatan produktivitas lahan dan meningkatkan kesejahteraan petani. Redistribusi lahan tidak hanya sekadar membagikan lahan, tetapi juga harus memberikan nilai keekonomian bagi petani.

Perhutanan sosial

Sebelum landasan hukum dan konsep mengenai redistribusi lahan ini matang dibahas, kebijakan reforma agraria dapat dimulai dengan mengoptimalkan program perhutanan sosial. Terdapat 12,7 juta hektar hutan lindung dan hutan produksi. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat diberikan akses pengelolaan dan pemanfaatan hutan berdasarkan aturan yang legal. Beberapa skema hutan adat, hutan rakyat, atau hutan desa dapat menjadi alternatif. Selain dapat memanfaatkan hasil hutan secara lestari, masyarakat adat juga berkontribusi membantu upaya konservasi mencegah kerusakan lingkungan sesuai adat istiadat setempat. Perambahan hutan secara liar dapat dicegah dan masyarakat sekitar hutan mendapatkan manfaat ekonomi. Dengan skema hutan rakyat atau hutan desa, pemerintah dapat memberikan konsesi pemanfaatan hasil hutan produksi melalui koperasi dengan badan usaha milik desa atau organisasi petani yang bertanggung jawab.

Keberhasilan program reforma agraria harus disertai dengan program yang komprehensif. Artinya, tidak hanya berhenti pada pemberian akses kepada petani untuk mengolah lahan atau diberikan hak kepemilikan lahan. Tidak hanya ketersediaan infrastruktur pertanian, tetapi juga ketersediaan benih, pupuk, dan kepastian harga produksi. Program reforma agraria harus disinergikan dengan kementerian terkait.

Target program reforma agraria tidak hanya pada luas lahan yang menjadi obyek, tetapi juga harus disertai target output dan outcame yang terukur secara kuantitatif. Berapa tambahan luas area tanam untuk tanaman pangan dan hortikultura, termasuk berapa tambahan produksi dari pemberdayaan lahan tersebut. Reforma agraria dan perhutanan sosial diharapkan bisa menjawab persoalan ketimpangan ekonomi. Keberhasilan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah lain melalui skema hutan adat, hutan rakyat, dan hutan desa bisa menjadi model.

Masyarakat desa bisa menanam kopi, nilam, atau tanaman lain tanpa merusak hutan dan tanpa harus disertai redistribusi lahan. Kuncinya adalah petani mendapat akses faktor produksi sebagai wahana untuk mendedikasikan profesinya, yaitu mengolah lahan produktif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar