Reforma
Agraria, Reformat Kekuatan Agraris
Enny Sri Hartati ; Direktur Institute for Development of
Economics and Finance
|
KOMPAS, 27 Maret 2017
Sektor
pertanian masih menjadi tumpuan utama sebagian besar masyarakat Indonesia.
Data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2016 menunjukkan, 37,77 juta atau
31,89 persen penduduk bekerja di sektor pertanian. Sementara kontribusi
sektor pertanian terhadap produk domestik bruto terus menyusut tinggal 13,45
persen. Artinya, kinerja dan produktivitas sektor pertanian terus memburuk.
Salah satu penyebabnya adalah konversi lahan pertanian menjadi non- pertanian
yang masif. Sementara rencana pemerintah untuk mencetak lahan pertanian baru
tak kunjung terealisasi secara signifikan. Akibatnya, sebagian besar petani
hanyalah petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,3 hektar.
Fenomena
ini membuat sektor pertanian makin tak menarik bagi angkatan kerja.
Selanjutnya, urbanisasi tak terbendung, sekalipun tidak ada jaminan kehidupan
yang lebih baik di kota. Di sisi lain, fragmentasi lahan terus terjadi
sebagai konsekuensi pembagian warisan atau sebab lain. Karena itu, petani
tidak banyak pilihan sehingga harus memilih menjual lahannya. Dengan
demikian, dua permasalahan terjadi sekaligus, yakni konversi dan dominasi
kepemilikan lahan pertanian yang semakin masif. Tidak mengherankan,
disinyalir lebih dari 60 persen petani hanyalah buruh tani dan petani
penggarap. Petani yang seharusnya mengolah lahan tidak memiliki lahan
sehingga kemiskinan dan kesenjangan ekonomi desa tak terelakkan.
Untuk
menjawab permasalahan tersebut, pemerintah akan melakukan kebijakan reforma
agraria yang direncanakan mencapai sekitar 9 juta hektar (ha) melalui empat
skema. Keempat skema itu adalah redistribusi lahan telantar, yakni lahan yang
habis hak guna lahan sekitar 400.000 ha, lahan transmigrasi sekitar 600.000
ha, legalisasi aset atau pemberian sertifikasi sekitar 3,9 juta ha, dan
redistribusi lahan yang berada di sekitar kawasan hutan 4,1 juta ha.
Persoalan
redistribusi lahan tentu bukan persoalan sederhana. Harus ada payung hukum
yang jelas mengenai konversi lahan dan pelepasan kawasan hutan yang akan
dibagikan kepada masyarakat. Jika bentuknya peraturan presiden (perpres),
ketentuan itu tidak hanya dituntut transparan dalam mengatur pola, mekanisme,
dan prosedur redistribusi lahan saja. Namun, juga harus mampu menyelesaikan
berbagai konflik agraria karena banyak area perkebunan yang izinnya tumpang
tindih dengan kehutanan. Di samping itu, basis data terkait identifikasi dan
verifikasi mengenai lahan yang telantar belum tersedia secara akurat. Tentu
kegagalan program serupa sebelumnya harus menjadi bahan evaluasi agar tidak
terulang.
Redistribusi
lahan harus memiliki aturan yang mengikat agar lahan yang telah diberikan
oleh pemerintah tidak dipindahtangankan. Muara skema reforma agraria yang
paling pokok adalah harus berujung pada peningkatan produktivitas lahan dan
meningkatkan kesejahteraan petani. Redistribusi lahan tidak hanya sekadar
membagikan lahan, tetapi juga harus memberikan nilai keekonomian bagi petani.
Perhutanan sosial
Sebelum
landasan hukum dan konsep mengenai redistribusi lahan ini matang dibahas,
kebijakan reforma agraria dapat dimulai dengan mengoptimalkan program
perhutanan sosial. Terdapat 12,7 juta hektar hutan lindung dan hutan
produksi. Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat diberikan akses
pengelolaan dan pemanfaatan hutan berdasarkan aturan yang legal. Beberapa
skema hutan adat, hutan rakyat, atau hutan desa dapat menjadi alternatif.
Selain dapat memanfaatkan hasil hutan secara lestari, masyarakat adat juga
berkontribusi membantu upaya konservasi mencegah kerusakan lingkungan sesuai
adat istiadat setempat. Perambahan hutan secara liar dapat dicegah dan
masyarakat sekitar hutan mendapatkan manfaat ekonomi. Dengan skema hutan
rakyat atau hutan desa, pemerintah dapat memberikan konsesi pemanfaatan hasil
hutan produksi melalui koperasi dengan badan usaha milik desa atau organisasi
petani yang bertanggung jawab.
Keberhasilan
program reforma agraria harus disertai dengan program yang komprehensif.
Artinya, tidak hanya berhenti pada pemberian akses kepada petani untuk
mengolah lahan atau diberikan hak kepemilikan lahan. Tidak hanya ketersediaan
infrastruktur pertanian, tetapi juga ketersediaan benih, pupuk, dan kepastian
harga produksi. Program reforma agraria harus disinergikan dengan kementerian
terkait.
Target
program reforma agraria tidak hanya pada luas lahan yang menjadi obyek,
tetapi juga harus disertai target output dan outcame yang terukur secara kuantitatif.
Berapa tambahan luas area tanam untuk tanaman pangan dan hortikultura,
termasuk berapa tambahan produksi dari pemberdayaan lahan tersebut. Reforma
agraria dan perhutanan sosial diharapkan bisa menjawab persoalan ketimpangan
ekonomi. Keberhasilan Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, dan beberapa
daerah lain melalui skema hutan adat, hutan rakyat, dan hutan desa bisa
menjadi model.
Masyarakat
desa bisa menanam kopi, nilam, atau tanaman lain tanpa merusak hutan dan
tanpa harus disertai redistribusi lahan. Kuncinya adalah petani mendapat
akses faktor produksi sebagai wahana untuk mendedikasikan profesinya, yaitu
mengolah lahan produktif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar