Tekanan
Freeport
di
Balik Rencana Kunjungan Wapres AS
Fahmy Radhi ; Pengamat Energi UGM; Mantan Anggota Tim Antimafia Migas
|
KORAN
SINDO, 21
Maret 2017
Hasil
pertemuan antara Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia
Joseph R Donovan dan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan
(Menko Polhukkam) Wiranto mengisyaratkan adanya kemungkinan rencana kunjungan
Wakil Presiden (Wapres) AS Mike Pence ke Indonesia pada bulan depan.
Kunjungan
Pence itu merupakan rangkaian tur ke negara-negara Asia. Besar kemungkinan
Indonesia merupakan negara pertama yang akan dikunjungi Wapres AS Pence dalam
tur Asia. Kendati Dubes AS dan Menko Polhukkam tidak mengungkapkan secara
eksplisit terkait agenda pembahasan dengan pemerintah Indonesia. Namun, tidak
dapat disangkal bahwa salah satu materi yang akan dibahas dalam pertemuan
dengan pemerintah Indonesia adalah pembahasan tentang kontrak karya (KK) Freeport.
Seperti
dikutip oleh Reuters pada Senin (13/3/2017), Pence kemungkinan besar akan
membahas masalah KK Freeport yang saat ini belum tercapai kesepakatan dalam
perundingan antara pemerintah Indonesia dan Freeport McMoran. Beberapa waktu
lalu, Chief Executive Officer Freeport Mc-MoRan Richard C Adkerson datang ke
Jakarta untuk berunding dengan Menteri Energi Sumber daya Mineral (ESDM)
Ignasius Jonan. Fokus perundingan itu berkaitan dengan tuntutan Freeport
tentang relaksasi persyaratan ekspor konsentrat Freeport, yang ditetapkan
Menteri ESDM berdasarkan Undang-Undang (UU) dan peraturan berlaku.
Namun,
perundingan itu tampaknya tidak menghasilkan kesepakatan sehingga memunculkan
aksi saling ancam di antara keduanya. Adkerson melancarkan ultimatum bila
dalam waktu 120 hari tuntutan tidak dipenuhi, Freeport akan memperkarakan
pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. Seakan tidak gentar
menghadapi ancaman itu, Jonan pun balik mengancam untuk menuntut Freeport di
Arbitase Internasional.
Adanya
saling mengancam tersebut, Freeport barang kali akan menggunakan momentum
kunjungan Pence ke Indonesia untuk ikut menekan pemerintah Indonesia agar
memenuhi semua tuntutan Freeport, yang hingga kini belum ada tanda-tanda akan
dipenuhi pemerintah Indonesia. Tekanan pemerintah AS terhadap pemerintah
Indonesia sesungguhnya pernah terjadi sebelumnya pada pemerintahan SBY, saat
terjadinya perebutan Blok Cepu antara Pertamina dan Exxon Mobil pada Maret
2012.
Exxon
Mobil kala itu mengerahkan ”Pasukan Gabungan”, yang terdiri dari Pemerintah
AS melalui kedutaan besarnya di Jakarta, IMF, dan Bank Dunia serta ”komprador
Melayu”, untuk menekan habis-habisan pemerintah Indonesia agar memberikan
Blok Cepu kepada Exxon Mobil. Ditengahperundinganyangmasih alot, tiba-tiba
pemerintahan SBY memutuskan untuk memberikan pengelolaan Blok Cepu kepada
Exxon Mobil.
Entah
kebetulan, keputusan itu diputuskan oleh Presiden SBY sehari setelah
kunjungan Menteri Luar Negeri AS Condoleeza Rice era pemerintahan George W
BushkeIndonesia. Dengan modus serupa, tidak mustahil bahwa salah satu tujuan
kunjungan Wapres AS ke Indonesia untuk menekan pemerintah Indonesia agar
memenuhi semua tuntutan Freeport. Tuntutan tersebut meliputi izin ekspor
konsentrat tanpa diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri (DN) dalam
waktu lima tahun ke depan, sesuai dengan perubahan KK ke izin usaha
pertambangan khusus (IUPK).
Ironisnya,
Freeport mau menerima perubahan KK menjadi IUPK untuk bisa mengekspor
konsentrat, tetapi menolak persyaratan IUPK secara komprehensif. Kalau benar
kunjungan Wapres AS Pencet, salah satunya untuk menekan pemerintah, kali ini
pemerintah Indonesia harus berani menolak untuk memenuhi tuntutan Freeport
McMoran. Dalam menghadapi tekanan itu, keputusan Presiden Joko Widodo harus
tetap mendasarkan pada UU dan peraturan yang berlaku.
Jangan
sampai terjadi keputusan pemerintah Indonesia untuk memenuhi tuntutan
Freeport diputuskan dengan melabrak UU dan peraturan, yang secara sah berlaku
di negara Indonesia yang berdaulat. Semasif apa pun tekanan Freeport dan
pemerintah AS, serta ”Komprador Melayu” terhadap pemerintah Indonesia,
pemerintahan Joko Widodo harus tetap istiqomah dengan menawarkan dua
alternatif kepada Freeport, sesuai dengan UU dan peraturan yang berlaku.
Kalau
Freeport menghendaki untuk tetap menggunakan KK, ekspor tetap diizinkan untuk
konsentrat yang sudah diproses dan dimurnikan di smelter DN, sesuai dengan
syarat UU Nomor 4/2009. Kalau menghendaki perubahan KK menjadi IUPK, Freeport
harus memenuhi persyaratan IUPK secara komprehensif, bukan secara parsial,
sesuai dengan PP Nomor 1/2017 tentang Minerba. Persyaratan itu meliputi
divestasi saham PT Freeport Indonesia hingga mencapai 51% dalam 10 tahun,
sejak persetujuan perubahan KK menjadi IUPK.
Selain
itu, Freeport harus menerima persyaratan IUPK lainnya yang berkaitan dengan
sistem fiscal prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan
peraturan pajak di Indonesia). Adanya kemungkinan tekanan Wapres AS Pence,
bahkan tekanan dari Presiden AS Donald Trump sekalipun, pemerintah Indonesia
jangan pernah memenuhi tuntutan Freeport untuk melakukan divestasi maksimal
sebesar 30% dan tetap menggunakansistemfiskal naildown (besaran pajak tetap),
seperti yang diterapkan Freeport selama menggunakan KK dalam kurun waktu 50
tahun ini.
Kalau
Freeport dan pemerintah AS serta komprador Melayu tetap bersikukuh dengan
tekanan dan tuntutannya, barangkali ucapan Bung Karno, ”Go to hell with your
aids (investments)”, masih relevan untuk diucapkan oleh seorang Presiden
Republik Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar