Tantangan
Ekonomi 2017
Santo Rizal Samuelson ; Pemerhati Ekonomi dan Politik Indonesia
|
KOMPAS, 27 Maret 2017
Indonesia layak optimistis menyongsong 2017 di tengah
kondisi global yang sulit saat ini. Indonesia diprediksi oleh para ahli ekonomi
akan menjadi salah satu negara yang dapat bertahan dari tekanan eksternal
karena skala ekonomi domestik yang besar dan ditopang oleh prospek
peningkatan harga komoditas secara bertahap.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menetapkan target
pertumbuhan ekonomi 5,1 persen pada 2017, tetapi prediksi badan ekonomi dan
moneter dunia lebih optimistis. Dana Moneter Internasional (IMF), Consensus
Economics, dan Bank Dunia meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017
mencapai 5,3 persen. Adapun Bank Pembangunan Asia (ADB) memprediksikan 5,5
persen. Angka pertumbuhan ini lebih tinggi daripada 2016 yang 5,0 persen.
Faktor positif
Setidaknya ada beberapa hal positif yang membuat kita
layak optimis menyambut tahun 2017. Pertama, angka neraca perdagangan
Indonesia mencatat surplus 650 juta dollar AS per bulan pada 2015 dan 2016,
jauh lebih baik daripada rata-rata 2012-2014 yang mengalami defisit 220 juta
dollar AS. Secara kumulatif, sepanjang 2016, surplus neraca perdagangan
Indonesia 8,8 miliar dollar AS. Angka ini meningkat 14,5 persen dari 7,7
miliar dollar AS tahun 2015.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi
surplus neraca perdagangan Indonesia berdampak positif terhadap nilai tukar
rupiah yang relatif stabil tahun 2016, di mana nilai tukar spot rupiah
terhadap dollar AS menguat sekitar 1 persen dibandingkan dengan 2015 yang
melemah sekitar 0,50 persen.Berarti selama dua tahun terakhir Indonesia
mencatat surplus neraca perdagangan. Ini merupakan sinyalemen positif bahwa
kebijakan ekonomi, terutama 13 paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk
meningkatkan kinerja perekonomian Indonesia, telah berjalan dengan baik.
Kedua, meningkatnya kepercayaan dan optimisme pelaku
ekonomi untuk tahun 2017. Harian Kompas (16/1/2017)
mencatat, para eksekutif BUMN dan perusahaan seperti Garuda Indonesia, Bank
BRI,Adaro, Jababeka, dan Waskita Karya, menyampaikan semangat optimistis
dalam menyongsong 2017. Kepercayaan dan optimisme seperti ini tentu sangat
diperlukan—di samping asumsi pertumbuhan ekonomi dari badan dunia seperti
Bank Dunia dan IMF—untuk meningkatkan kepercayaan bagi para investor dan
pelaku ekonomi. Hal ini harus terus didukung peran pemerintah dalam
menciptakan iklim usaha dan investasi yang kondusif demi kemajuan ekonomi
Indonesia.
Namun, tantangan ekonomi dan politik yang dihadapi
pemerintah di 2017 tak kalah berat. Setidaknya, penulis berharap pemerintah
memfokuskan diri pada beberapa hal yang menjadi perhatian serius di 2017.
Pertama, pertumbuhan kredit dan sektor riil. Pertumbuhan
kredit perbankan harus mendapat perhatian utama, khususnya kredit sektor
komersial dan korporasi. Penurunan suku bunga kredit memang perlu, tetapi
bukan hal utama. Penciptaan iklim usaha yang baik melalui regulasi peraturan
dan kebijakan yang mendukung serta diimbangi dengan peningkatan daya beli
masyarakat—dengan menjaga inflasi tetap rendah dan nilai tukar relatif
stabil— adalah hal yang paling kritikal untuk mendorong permintaan kredit.
Rasanya agak sulit berharap kalangan pengusaha ekspansi usaha saat ini dengan
menggunakan dana kredit perbankan di tengah ketidakpastian ekonomi, terutama
permintaan pasar dan regulasi pemerintah yang kurang mendukung terciptanya
iklim usaha serta investasi yang kompetitif.
Pertumbuhan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK), terutama
dana murah bank, seperti giro dan tabungan (current account dan saving
account/CASA) juga harus lebih ditingkatkan. Peningkatan penghimpunan
CASA memang terus menunjukkan peningkatan menjadi Rp 2.510 triliun (rasio
CASA 53,59 persen) per Oktober 2016 dari Rp 2.302 triliun (rasio CASA 52,68
persen) per Oktober 2015. Artinya, telah meningkat sekitar Rp 208 triliun (9
persen). Namun, kredit per Oktober 2016 hanya tumbuh 7,4 persen (Rp 4.246,6
triliun) meski masih lebih baik dibandingkan dengan September 2016 yang
tumbuh 6,4 persen year-on-year (yoy).
Optimisme pertumbuhan DPK diyakini seiring dengan masuknya
aliran dana repatriasi dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty)
dan tumbuhnya investasi. Tahun 2017, Bank Indonesia (BI) memperkirakan
penyaluran kredit akan tumbuh 11-12 persen. Pertumbuhan DPK harus dilakukan
seiring dengan peningkatan target pertumbuhan kredit bank pada 2017. Saat ini
secara total pertumbuhan DPK per Oktober 2016 sebesar 6,5 persen. Untuk
memacu pertumbuhan kredit tersebut, setidaknya harus dicapai pertumbuhan DPK
12-13 persen pada 2017.
Sebagai imbal balik dari pertumbuhan kredit perbankan,
diharapkan sektor riil dapat bertumbuh untuk mengurangi pengangguran. Esensi
penyaluran kredit perbankan tentu untuk memacu ekspansi dan perkembangan
usaha agar tercipta permintaan angkatan kerja. Pemerintah bersama perbankan
harus berusaha menyalurkan kredit kepada sektor yang produktif dan bisa
menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar.
Sektor industri pariwisata, pertanian, perdagangan,
konstruksi, serta komunikasi dan informasi bisa menjadi pionir dalam
pengurangan angka pengangguran pada 2017 karena sektor industri ini yang
paling diharapkan untuk menyerap tenaga kerja. Tahun 2017 pemerintah telah
menargetkan tingkat pengangguran terbuka 5,3-5,6 persen dan tingkat
kemiskinan 9,5-10,5 persen karena per akhir 2016 diyakini angka pengangguran
terbuka mencapai 5,7 persen dan kemiskinan 10,6 persen.
Kedua, soal transparansi, kualitas, dan tanggung jawab
alokasi anggaran terhadap target pertumbuhan ekonomi, terutama anggaran dana
transfer ke daerah dan pembangunan infrastruktur. Harian Kompas(16/1/2017)
mencatat hal menarik bahwa selama ini tidak pernah ada pertanggungjawaban
publik terhadap capaian target dari alokasi anggaran, terutama dampaknya
terhadap ekonomi Indonesia.
Alokasi belanja negara dalam pagu APBN 2017 telah
ditetapkan Rp 2.080,5 triliun, yang akan dibiayai dari (target) pendapatan Rp
1.750,3 triliun dan utang negara Rp 330,2 triliun. Dari alokasi belanja ini,
anggaran infrastruktur Rp 317 triliun dan transfer ke daerah Rp 764,9
triliun, merupakan angka superfantastis. Ke depan, pemerintah harus
mengedepankan transparansi anggaran dan kajian untuk memastikan penggunaan
anggaran berdampak positif terhadap kemajuan kehidupan dan kesejahteraan
bangsa. Artinya, besarnya anggaran yang dialokasikan tak hanya tecermin dari
pembangunan secara kuantitas dan fisik semata, tetapi juga harus lebih
berkualitas dalam hal memperbaiki kesejahteraan bangsa.
Penulis sangat yakin bahwa alokasi dan transparansi dari
anggaran infrastruktur serta transfer ke daerah akan sangat vital dalam
menunjang pemerataan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, dan kesenjangan
sosial selama penggunaan anggaran tersebut dilakukan dengan penuh tanggung
jawab dan rasa memiliki (sense of belonging)serta terhindar dari
praktik korupsi. Selain peningkatan kajian ekonomi, diperlukan juga peran
serta masyarakat untuk mengawasi capaian target dari alokasi anggaran
tersebut. Kontrol dan pengawasan kita bersama diharapkan mampu menjaga
pemerintah berada dalam koridor arah ekonomi yang benar. Pemerintah juga
harus semakin meningkatkan keterbukaan. Saran dan kritik yang membangun dari
para ahli ekonomi dan masyarakat perlu diterima dengan baik untuk memberikan
manfaat mulia bagi kemajuan ekonomi nasional.
Aspek politik
Hal ketiga adalah terkait aspek politik. Bagaimanapun
pertumbuhan ekonomi akan dipengaruhi situasi kondisi politik, baik dalam
maupun luar negeri, terutama dalam negeri. Kondisi politik Indonesia pada
2017 kian memanas, terutama terkait agenda pilkada serentak 2017 dan
perdebatan perlu tidaknya ambang batas pilpres (presidential threshold)
pada Pemilu 2019.Energi dan perhatian pemerintah dalam menyukseskan agenda
politik besar Pilkada 2017 menjadi tantangan yang tak ringan. Sukses
penyelenggaraan pilkada serentak 2017 juga menjadi ujian demokrasi Indonesia
serta acuan bagi para pengusaha dan investor untuk mengembangkan bisnis di
Indonesia.
Kita bersyukur kondisi damai dan aman selama pilkada
umumnya dapat terwujud, dalam arti kandidat kepala daerah siap kalah dan siap
menang. Pengajuan protes atas hasil pilkada tak dilarang selama tak
menimbulkan dan tak memancing timbulnya potensi konflik komunal yang bisa
menghambat pertumbuhan ekonomi. Agenda penentuan perlu tidaknya presidential
threshold juga jangan dianggap remeh. Pembahasan perlu
tidaknya presidential threshold harus segera diputuskan
dengan baik. Harapannya, tentu saja, agar fokus dan energi pemerintah tak
banyak termakan untuk agenda politik dibandingkan dengan agenda ekonomi.
Mekanisme pemilu serentak 2019, dengan tak adanya presidential threshold, akan memungkinkan setiap
parpol, bahkan parpol pendukung pemerintah saat ini, dapat mengajukan
capres-cawapres sendiri-sendiri.
Hal ini bisa menjadi alamat buruk bagi pemerintah karena
dipastikan setiap parpol akan mengambil jalan sendiri dan mengganggu agenda
pemerintah karena parpol akan lebih sibuk dengan agenda Pemilu 2019 daripada
bekerja bersama pemerintah saat ini. Penulis yakin bahwa tahun 2017 adalah
tahun pertaruhan terakhir pemerintah periode 2017-2019 karena tahun depan
hampir dipastikan secara politik, parpol akan lebih sibuk mempersiapkan diri
untuk menghadapi agenda Pemilu 2019.
Di atas segala tantangan yang ada, penulis masih menaruh
harapan untuk tetap optimistis dalam mengarungi 2017. Segala tekanan dan
faktor negatif dari luar negeri tentu dapat diredam dengan memperkuat
ketahanan nasional melalui kerja keras, keterbukaan dan kebersamaan antara
pemerintah, pengusaha, investor, dan seluruh rakyat Indonesia.
Sekali lagi, suasana kondusif, aman, dan damai serta tidak
terpengaruh berita negatif—apalagi hoaks—sangat diperlukan demi terwujudnya
Indonesia maju, sejahtera, dan tangguh, baik secara ekonomi maupun politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar