Ada
Kepala Daerah Faida
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara
dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 18
Maret 2017
Meski secara umum ada kekhawatiran bahwa sistem pemilihan
kepala daerah secara langsung bisa melahirkan kepala daerah kepala daerah yang
tidak kapabel dan korup tetapi ada kepala daerah-kepala daerah baik yang bisa
muncul.
Wali Kota Bandung Ridwan Kamil dan Wali Kota Surabaya Tri
Rismaharini sering dijadikan contoh tentang bisa munculnya kepala daerah yang
baik itu. Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dan sempat berdiskusi agak
lama dengan Bupati Jember Faida dan saya mempunyai koleksi nama lagi tentang kepala
daerah yang, menurut saya, bisa juga disebut sebagai contoh kepala daerah
yang baik.
Kita tentu masih ingat, menjelang berakhirnya pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono pada penghujung 2014 terjadi kegaduhan politik
terkait RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah. Draf yang diajukan dan
dipertahankan oleh pemerintah serta disetujui oleh sebagian besar
fraksi-fraksi di DPR adalah sistem pemilihan tidak langsung, yakni, kepala
daerah dipilih oleh DPRD di masingmasing daerah.
Akan tetapi di tengah-tengah masyarakat muncul kontroversi
panas. Selain banyak yang mendukung sistem pilkada tidak langsung itu, banyak
juga yang menolak dengan sangat keras karena dianggap telah merusak moral
politik dan harmoni di tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya, setelah mengalami bongkar pasang dengan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tetap berlakulah sistem
dan mekanisme pilkada secara langsung. Presiden SBY yang di-bully
habis-habisan dengan tudingan akan meninggalkan legacy yang buruk bagi
perkembangan demokrasi jika membiarkan UU Pilkada secara tidak langsung
berlaku, pada saat-saat terakhir pemerintahannya mengeluarkan Perppu yang
memberlakukan sistem dan mekanisme pilkada secara langsung setelah sehari
sebelumnya memberlakukan dulu UU yang memberlakukan pilkada tidak langsung.
Sebenarnya para penolak sistem pilkada langsung pada waktu
itu mempunyai argumenargumennya yang bisa dibangun berdasar fakta sehingga
tidak bisa serta merta disalahkan. Menurut data resmi yang pernah dikemukakan
oleh Mendagri Gamawan Fauzi pada saat itu, jumlah kepala daerah yang terlibat
kasus korupsi mencapai lebih dari separuh jumlah daerah yang ada di
Indonesia.
Jadi, pilkada langsung bukannya melahirkan kepala daerah
yang baik tetapi melahirkan banyak kepala daerah yang korup. Jikaproduk
pilkadalangsung yang buruk seperti itu argumennya dirunut lagi maka
ditemukanlah banyak penyebabnya. Salah satunya adalah sangat mahalnya atau
besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh para calon kepala daerah sehingga
mereka harus mengumpulkan modal atau membayar utang kepada penyandang dana.
Meskipun semua parpol mengatakan dukungan diberikan tanpa
menarik uang mahar tetapi dalam praktiknya para calon tetap harus menyediakan
biaya operasional untuk konsolidasi parpol dan atau biaya kampanye. Keharusan
itulah yang mendorong lahirnya kepala daerah-kepala daerah yang korup.
Tapi tidak demikian dengan Bupati Jember Faida. Dia
terpilih karena popularitasnya di tengah- tengah masyarakat Jember. Faida
diusung oleh beberapa parpol lebih karena hasil survei atas popularitas dan
elektabilitasnya. Pengalaman panjang keluarga Faida yang memberi pelayanan
kesehatan secara gratis kepada warga-warga miskin telah menyebabkan
popularitas dan elektabilitasnya melambung tanpa berkampanye.
Setelahdilamarolehbanyakparpol dan benar-benar terpilih
tanpa mengeluarkan biaya yang berlebihan dia tampil dengan gagah, tidak
tersandera, dan tidak bisa ditekan oleh siapa pun. Yang mau menekan melalui
mekanisme anggaran daerah dia hadapi dengan gagah, yang mengancam mau
membongkar korupsi di tubuh pemda dia persilakan.
Kalau ada oknum anggota DPRD yang menghambat pengesahan
RAPBD dengan isyarat atau pesan yang bisa diduga minta “kemenyan” atau
meminta bagian dana tertentu secara haram atau memesan proyek tertentu, dia
lawan. Ketika diancam akan diinterpelasi, Faida tidak takut. Dia yang
sebelumnya tidak belajar ilmu politik dan ketatanegaraan membuka-buka kamus
politik untuk mencari tahu apa arti interpelasi itu.
Setelah tahu bahwa arti interpelasi adalah bertanya, maka
dia hadapi DPRD dan menyatakan siap menjawab. “Diinterpelasi itu kan artinya
ditanya oleh DPRD, ya saya akan menjawab saja. Masak kalau diancam mau
diinterpelasi menjadi takut dan mau diperas? Tidak bisa,” katanya.
Pernah juga Faida diuji melalui oknum penegak hukum. Dia
didatangi oleh oknum yang mengatakan bahwa di Pemda Jember ada korupsi yang
melibatkan pejabat-pejabat tertentu. Sang oknum meminta “kemenyan” juga agar
kasus itu tak perlu dibongkar. Akan tetapi Fadia bilang, bongkar saja dan
periksa yang bersangkutan. Sang oknum pun bilang, nanti akan banyak pejabat
yang terlibat.
Faida balik menjawab, periksa saja semua. “Kalau perlu
dihukum saja semua. Saya tak akan melindungi. Kalau ada yang perlu
dibersihkan, ya bersihkan saja. Itu malah baik bagi negara,” katanya dengan
gagah. Pada kali lain, ketika akan menandatangani surat keputusan
pejabat-pejabat struktural, Faida menyatakan, yang SKnya akan ditandatangani
dan diangkat dalam jabatan-jabatan itu tidak dipungut bayaran.
Yang merasa memungut bayaran harus mengembalikan dan yang
merasa dipungut bayaran dapat meminta kembali uang yang diberikannya kepada
pemungut. “Kalau dalam sebulan tidak dikembalikan, akan saya laporkan ke Tim
Saber Pungli,” katanya. Alhasil, di tengah kegalauan kita melihat banyak
kepala daerah yang koruptif dan liar ternyata masih ada kepala daerahkepala
daerah yang bersih.
Tentu sangat berlebihan kalau saya mengatakan hanya Faida
yang seperti itu. Pasti masih ada beberapa kepala daerah-kepala daerah lain
yang juga berani melabrak koruptor yang bersarang di parpol atau DPRD. Saya
menyebut Faida sebagai contoh karena dia bisa mewakili rasa haus kita untuk
melihat kepala daerah yang tegas dan berani melawan gertakan para koruptor.
Di laut yang keruh, masih bisa ada mutiara-mutiara yang dapat kita cari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar