Negara
Versus Freeport
Siti Maimunah ; Peneliti Sajogyo Institute
|
KOMPAS, 18 Maret 2017
Setelah skandal "Papa Minta Saham", PT Freeport
Indonesia dan Pemerintah Indonesia kembali berbalas pantun. Perusahaan
tambang asal Amerika Serikat ini mengumumkan force majeur pada 17 Februari
2017 untuk menekan Indonesia agar terhindar dari kewajiban pengolahan dan
pemurnian di smelter dalam negeri dan mengubah kontrak karya sesuai dengan
perintah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
Padahal, telah berulang kali Pemerintah Indonesia mengubah
peraturannya sendiri karena gagal memaksa PT Freeport Indonesia patuh.
Freeport juga tak malu-malu menggunakan cara memperhadapkan buruh sebagai
bidak menghadapi pemerintah lewat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Sudah waktunya taktik seperti itu diakhiri.
Kontrak karya Freeport sudah berumur setengah abad,
ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 1967 sebelum UU Pertambangan
Indonesia disahkan, bahkan sebelum penentuan pendapat rakyat Papua
berlangsung. KK ini mewariskan luka mendalam bagi Indonesia dan rakyat Papua.
Model kontrak karya Freeport yang diadopsi dalam UU Nomor 11 Tahun 1967
tak hanya membuat Indonesia memberikan pelayanan luar biasa kepada investasi
asing. Model kontrak itu juga mewariskan kasus-kasus pelanggaran HAM dan
perusakan lingkungan di sekitar lokasi tambang, seperti di sekitar
tambang Rio Tinto, Newmont, Newcrest,
dan Inco/Vale di Kalimantan, Sulawesi, Sumbawa, dan Halmahera.
Bagi rakyat Papua-pemilik sebenarnya cebakan emas terkaya
di dunia itu-kehadiran PT Freeport Indonesia bagai pisau bedah yang memutus
ikatan orang Papua dengan alamnya dan
pintu terjadinya pelanggaran HAM. Pada
1972 dan 1977, lebih dari 1.000 orang Amungme meninggal karena kekerasan
(Elsham Papua, 2003).
Australian Council for Overseas Aid (1995) melaporkan
kasus-kasus pembunuhan dan penghilangan paksa oleh militer terhadap puluhan
warga asli Papua di sekitar tambang PT Freeport Indonesia sepanjang
1994-1995. Kucuran dana keamanan PT Freeport Indonesia untuk kepolisian dan TNI-sekitar Rp 711 miliar sepanjang
2001-2010 (Indonesia Corruption Watch, 2011) membuat kawasan itu menjadi
ajang kekerasan dan bisnis militer.
Selamatkan Papua, bukan Freeport
Meskipun kehadiran Freeport menjadi sumber ketidakpuasan
rakyat Papua dan Indonesia, sistem pemerintahan oligarki dan korup negeri ini
memungkinkan korporasi transnasional berkuasa dan mendapat keuntungan di atas
keselamatan rakyat dan lingkungan. Salah satunya dengan mengubah peraturan
tentang pengelolaan lingkungan hidup demi kepentingan korporasi tambang.
Pertama, pembuangan limbah. Hasil kajian dampak lingkungan
hidup pertambangan PT Freeport Indonesia menemukan, limbah tailing telah
merusak 36.000 hektar kawasan Sungai Ajkwa sepanjang 60 kilometer ke arah
laut (Walhi, 2006). Angka padatan tersuspensi total (TSS) limbah tailing pada
beberapa lokasi dalam kurun September-Desember 2010 mencapai 18 kali di atas
ambang baku mutu yang diperkenankan berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan
Hidup Nomor 202 Tahun 2004.
Namun, PT Freeport Indonesia lolos dari jerat hukum karena
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 431 Tahun 2008 yang
membolehkan perusahaan membuang tailing dengan TSS hingga 45 kali ambang baku
mutu yang diperkenankan.
Kedua, PT Freeport Indonesia dibiarkan merusak
sungai-sungai dan laut untuk pembuangan limbah dan menggunakan air permukaan
Sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi, dan Aimoe untuk pengangkutan dan
pengendapan tailing tambang tanpa membayar pajak. Pemerintah Provinsi Papua
menyatakan, PT Freeport Indonesia menunggak pajak pemanfaatan sungai dan air
permukaan Rp 32,4 triliun sejak 1991 hingga 2013.
Ketiga, pada 2004 pada masa Presiden Megawati
Soekarnoputri, PT Freeport Indonesia bersama 12 perusahaan tambang lainnya
berhasil memotori pemerintah dengan restu DPR Senayan untuk mengubah UU Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
UU yang semula melarang tambang terbuka di hutan lindung
ini diubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 yang mengizinkan 13 perusahaan menambang terbuka
seluas hampir satu juta hektar hutan lindung, termasuk 10.000 hektar di
antaranya di kawasan konsesi PT Freeport Indonesia.
Keempat, pada Februari 2015, Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan menyatakan, audit lingkungan terakhir pemerintah terhadap PT
Freeport Indonesia adalah 25 tahun lalu, sementara pengawasan tahunan
dihentikan pada 2011. Padahal, sejak pertengahan 2016, PT Freeport Indonesia
memperluas tanggul limbah tailing yang justru mengancam Sungai Tipuka (Jatam,
2017).
Hampir setiap tahun, konflik akibat ketidakpuasan terhadap
PT Freeport Indonesia muncul di permukaan. Terakhir, perusahaan ini tak mau
mematuhi UU Minerba. Lagi, pemerintah pasang badan agar PT Freeport Indonesia
tidak melanggar UU. Keluarlah PP Nomor 1 Tahun 2014 yang memungkinkan PT
Freeport Indonesia mengundurkan kewajiban pembangunan smelter hingga Januari
2017.
Disusul Peraturan Menteri ESDM Nomor 5 Tahun 2016 yang
mengubah Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2014 yang memerintahkan PT Freeport
Indonesia membangun pabriknya hingga 60 persen sebelum boleh mengekspor
konsentrat. PT Freeport Indonesia membalasnya dengan ancaman pengadilan
arbitrase.
Tak usah terlalu khawatir dibawa ke arbitrase
internasional. Presiden Joko Widodo
dengan Nawacitanya memiliki modal sosial dan politik cukup kuat untuk
menangani kasus PT Freeport Indonesia dengan cara yang berbeda, lebih
bermartabat, dan adil bagi Papua dan rakyat Indonesia. Sudah waktunya
melakukan penegakan hukum tanpa kecuali. Bukan sebatas negosiasi bentuk
perizinan, pembangunan smelter ataupun divestasi saham.
Tambang Freeport hampir setengah abad, kini waktunya
menunjukkan kuasa Indonesia di atas Freeport. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar