Kendala
Mencopot Ahok
Djohermansyah Djohan ; Dirjen OTDA Kemendagri (2010-2014);
Presiden i-OTDA
|
REPUBLIKA, 20 Maret 2017
Isu pemberhentian kepala daerah pada era otonomi daerah
dewasa ini selalu menjadi perhatian publik. Pemerintah tentu “kenyang”
menghadapi perkara ini. Misalnya, kasus Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo yang
memenangi pilkada pada tahun 2010 walaupun menjadi terdakwa. Yang
bersangkutan dilantik dulu dan pada hari yang sama diberhentikan sementara.
Lalu wakilnya ditunjuk sebagai pelaksana tugas bupati supaya pemerintahan
tetap berjalan. Publik mengeritik, “terdakwa kok dilantik”, “itu tidak etis”,
teriak pengamat.
Gubernur Sumatera Utara Syamsul Arifin dan Gubernur Banten
Ratu Atut Chosiyah ditahan KPK karena tindak pidana korupsi. Mereka meskipun
dalam tahanan namun tetap memimpin provinsinya, karena masih berstatus
tersangka (belum terdakwa), sehingga tidak bisa diberhentikan sementara.
Penyelenggaraan pemerintahan provinsipun terganggu. Wakil gubernur tidak
berwenang menandatangani surat, apalagi peraturan daerah.
Pemerintah keluar dengan solusinya melalui UU No.23/2014,
bila kepala daerah menjadi tersangka dan ditahan, maka wakilnya melaksanakan
tugas dan wewenang kepala daerah. Gubernur Riau Annas Ma’mun “korban” pertamanya.
Publik mengapresiasi pemerintah.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,
dengan register Pengadilan Negeri Jakarta Utara No.1537/Pid.B/2016/Pn.Jkt-Ut
ditetapkan sebagai terdakwa penistaan agama dan telah pula disidangkan
perkaranya sejak 13 Desember 2016. Tetapi dia tidak ditahan.
Pertanyaannya kemudian, bukankah Ahok telah berstatus
terdakwa? Bukankah ancaman hukumannya sudah 5 (lima) tahun penjara? Mengapa
Presiden Joko Widodo belum memberhentikan dan Mendagri Tjahjo Kumolo sampai
“pasang badan”. Publik pun menyoal “beleid” pemerintah. Bahkan, empat fraksi
di DPR mengusulkan hak angket.
Filosofi Pemberhentian
Gubernur adalah primus
inter pares atau first among equal,
yaitu orang nomor satu di daerahnya. Di wajahnya cermin keteladanan dan
kewibawaan (gezag) pemerintahan.
Dia pemimpin penyelenggaraan pemerintahan provinsi sekaligus wakil pemerintah
pusat yang bertanggungjawab atas tata kelola pemerintahan yang baik dan
mengawal segala kepentingan nasional.
Itulah sebabnya kalau ada “arang tercoreng di keningnya”
seperti terkena ancaman pidana berat dan/atau melakukan perbuatan memecah
belah NKRI, maka dia tidak boleh “memegang” pemerintahan sampai perkaranya
selesai tuntas. Dengan begitu, pemerintahan “aman” dan yang bersangkutan bisa
fokus mengurus kasus hukumnya. Jika nanti terbukti dia tidak bersalah (inkracht), presiden merehabilitasinya.
Dia bisa diaktifkan kembali.
Bagaimana kalau dia sedang mencalonkan diri dalam pilkada?
Hak politiknya untuk dipilih, memilih, dan berkampanye tidak gugur walaupun
menyandang predikat terdakwa. Malahan, kalau dia hebat sekali, dia bisa
memenangkan pemilihan.
Dakwaan atau tuntutan?
Kapan kepala daerah diberhentikan sementara? Norma di
dalam pasal 83 ayat (1) UU Pemda No.23/2014 cukup jelas kepala daerah
diberhentikan sementara ketika “didakwa” melakukan tidak pidana kejahatan
yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, bukan
ketika dituntut jaksa atau divonis hakim.
Memang dalam pasal 30 ayat (1) UU Pemda terdahulu
No.32/2004, khususnya pemberhentian sementara kepala daerah yang melakukan
tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5
(lima) tahun, dilakukan setelah ada putusan pengadilan tingkat pertama
(Pengadilan Negeri). Tetapi, bagi yang melakukan tindak pidana korupsi,
terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara, sesuai
ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU Pemda No.32/2004, mereka diberhentikan
sementara ketika berkas perkaranya telah dilimpahkan ke pengadilan (didakwa).
Di dalam UU Pemda yang baru No.23/2014 waktu pemberhentian
sementara kepala daerah baik yang melakukan tindak pidana korupsi dan
lain-lain, maupun tindak pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun, adalah ketika yang bersangkutan menjadi terdakwa yang
dibuktikan dengan register perkara dari pengadilan. Jadi, UU Pemda No.23/2014
telah mengoreksi ketentuan pasal 30 ayat (1) UU Pemda No.32/2004, karena bila
pemberhentian sementara kepala daerah menunggu vonis maka berdampak pada
efektivitas pelaksanaan tugas kepala daerah.
Dalam kasus Gubernur DKI Ahok, pemerintah menghadapi
kendala untuk mencopotnya sementara, karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU)
tidak tegas tetapi memakai dua alternatif. Pertama, pasal 156a KUHP dengan
ancaman pidana penjara paling lama 5 tahun. Kedua, pasal 156 KUHP dengan
ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun.
Seingat saya, belum pernah ada dakwaan Jaksa terhadap
kepala daerah seperti ini. Karena itu, pemerintah tampak bingung. Mendagri
Tjahjo Kumolo mencoba meminta fatwa ke Mahkamah Agung, namun ditolak.
Kebijakan pemerintah kemudian menunggu dibacakannya tuntutan. Bila
tuntutannya 5 tahun barulah Gubernur Ahok diberhentikan sementara, tetapi
jika kurang dari 5 tahun, maka dia tetap memimpin DKI Jakarta hingga akhir
masa jabatannya 15 Oktober 2017.
Implikasi Politik
Empat fraksi dan sekitar 100 orang anggota DPR telah
mengusulkan penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan terjadinya
pelanggaran Pasal 83 ayat (1) UU Pemda No.23/2014 oleh Presiden, karena tidak
memberhentikan sementara Gubernur Ahok.
Tentu saja tidak mudah menggolkan hak angket ini di DPR
yang kekuatan mayoritasnya dikuasai oleh parpol pendukung pemerintah. Sebab
untuk bisa diterima menjadi hak angket, harus disetujui oleh separoh plus
satu anggota dewan yang hadir.
Ke depan, kalau ada revisi UU Pemda No.23/2014 sebaiknya
pasal 83 ayat (1) diubah. Pertama, kalimat “paling singkat 5 tahun” diganti
menjadi “5 tahun atau lebih”. Kedua, dibuat ayat (2) baru, apabila JPU mendakwa
secara alternatif, maka pemberhentian sementara kepala daerah dan/atau wakil
kepala daerah dilakukan setelah tuntutan dibacakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar