Memenangkan
Perjuangan Konstitusional Nelayan
Abdul Halim ; Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim
untuk Kemanusiaan, Center of Maritime Studies for Humanities
|
KORAN
SINDO, 21
Maret 2017
Megaproyek
properti reklamasi di Teluk Jakarta berada di ujung tanduk. Proyek pulau
buatan ini terancam dibatalkan pasca putusan Majelis Hakim PTUN (Pengadilan
Tata Usaha Negara) Jakarta yang menganulir 3 surat izin pelaksanaan reklamasi
pulau buatan yang dikeluarkan oleh Gubernur Basuki Tjahaja Purnama pada Kamis
(16/3) sore di Jakarta.
Pusat
Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mencatat, ketiga surat izin yang
ditandatangani oleh Gubernur DKI Jakarta tersebut adalah pertama, Surat
Keputusan Nomor 2268/2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau F seluas
190 hektare kepada PT Jakarta Propertindo.
Kedua,
Surat Keputusan Nomor 2269/2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau I
seluas 405 hektare kepada PT Jaladri Kartika Ekapaksi.
Ketiga,
Surat Keputusan Nomor 2485/2015 tentang Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau K
seluas 32 hektare kepada PT Pembangunan Jaya Ancol.
Dalam
putusannya, Majelis Hakim PTUN Jakarta mengabulkan keseluruhan gugatan yang
diajukan oleh nelayan tradisional bersama Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta.
Ada sejumlah pertimbangan konstitusional yang dijadikan sebagai dasar putusan
tersebut.
Yakni
Pertama, izin pelaksanaan reklamasi diterbitkan secara diam-diam oleh
Gubernur DKI Jakarta selaku tergugat. Pasalnya, keberadaan izin tersebut baru
diketahui masyarakat pesisir pada tanggal 10 Desember 2015, padahal dokumen
tersebut sudah ditandatangani sejak Oktober-November 2015.
Kedua,
kerusakan ekosistem Teluk Jakarta memproduksi kesengsaraan bagi masyarakat
pesisir. Salah satunya adalah reklamasi akan menimbulkan pencemaran terhadap
perairan laut karena adanya perubahan lingkungan sekitarnya.
Tak
pelak, aktivitas perikanan rakyat dan kinerja PLTU Muara Karang bakal
terganggu. Di sinilah perlunya mencegah kerusakan lingkungan yang lebih besar
(indubio pro natura). Karena bukan reklamasi yang dibutuhkan, melainkan
revitalisasi Teluk Jakarta. Ketiga, diabaikannya sejumlah ketentuan
Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27/2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil. Di dalam UU
tersebut, Gubernur DKI Jakarta berkewajiban untuk menyelesaikan Rancangan
Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil sebagaimana
diatur di dalam Pasal 17 ayat (1) bahwa, ”Izin Lokasi diberikan berdasarkan
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”.
Faktanya,
sejak terbongkarnya kasus korupsi pembahasan Ranperda Rencana Zonasi Wilayah
Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil, belum ada kesepakatan tertulis antara DPRD dan
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk pemberlakuan perda tersebut. Pusat
Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga menemukan fakta bahwa kewenangan
pemberian Izin Lokasi dan Izin Pelaksanaan Reklamasi merupakan otoritas
Menteri Kelautan dan Perikanan, bukan Gubernur DKI Jakarta sesuai
(a)
Peraturan Pemerintah Nomor 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional;
(b)
Peraturan Presiden Nomor 54/ 2008 tentang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur ditetapkan sebagai Kawasan Strategis
Nasional; dan
(c)
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28/2014 tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/2013 tentang Perizinan
Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Ketiga
aturan tersebut mempertegas fakta bahwa Teluk Jakarta merupakan kawasan
strategis nasional sehingga kewenangan pemberian izin berada pada Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
Demikian
pula berkaitan dengan pengambilan material urukan megaproyek reklamasi 17
pulau buatan ini. Seperti diketahui, material urukan didatangkan dari
provinsi lain, di antaranya Teluk Lontar di Kabupaten Serang (Provinsi
Banten) dan Kabupaten Tulang Bawang di Provinsi Lampung. Dengan perkataan
lain, secara prosedural Gubernur DKI Jakarta menyalahgunakan otoritasnya.
Keempat,
megaproyek reklamasi di Teluk Jakarta menomor duakan kepentingan umum
masyarakat pesisir dan warga Jakarta secara keseluruhan.
BPS
(2013) mencatat, sedikitnya ada 56.309 rumah tangga nelayan kecil yang
tersebar di tiga provinsi sekitar Teluk Jakarta, yakni DKI Jakarta, Banten,
dan Jawa Barat yang terkena dampak negatif secara langsung akibat pembangunan
proyek properti tersebut, seperti penggusuran dan kriminalisasi nelayan.
Betapa tidak, 80% areal pulau buatan akan dialokasikan untuk aktivitas
komersial, seperti apartemen eksklusif, kawasan bisnis dan pergudangan,
wisata bahari berbayar, dan permukiman mewah.
Dengan
tujuan ini, warga Ibu Kota diharuskan mengeluarkan ratusan ribu rupiah
sekadar untuk berekreasi di pantai utara Jakarta. Parahnya, meski belum
terbangun, pengembang telah memajang etalase properti di atas pulau buatan
ini melalui iklan televisi nasional dan mancanegara. Keempat pertimbangan
pokok Majelis Hakim PTUN Jakarta atas ketiga pulau buatan ini membawa ingatan
khalayak ramai kepada Putusan Nomor 193/2015 tentang Pembatalan Keputusan
Gubernur Provinsi Daerah Ibu Kota Jakarta Nomor 2238/2014 tentang Pemberian
Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.
Seperti
diketahui, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata UsahaNegara (PTTUN)
Jakartayang diketuai oleh DR Kadar Selamet SH MHum dan beranggotakan Nurnaeni
Manurung SH MHum dan DR Slamet Suparjoto SH MHum mengeluarkan pembatalan atas
putusan PTUN melalui Putusan Nomor 228/ 2016 tertanggal 17 Oktober 2016. Kini
kasasi tengah berlangsung di balik tembok Mahkamah Agung. Berkaca pada proses
hukum atas Pulau G, setidaknya terdapat beberapa hal signifikan yang perlu
dicermati guna memenangkan perjuangan konstitusional nelayan tradisional ini.
Pertama,
reklamasi di Teluk Jakarta telah dicanangkan pemerintah melalui Peraturan
PresidenNomor2/ 2015tentangRencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
2015-2019.
Proyek
ini dinamai NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), meliputi
pembangunan 17 pulau buatan dan tanggul laut raksasa. Selain Jakarta,
pembangunan proyek serupa juga bakal dilakukan di Bali dan Semarang. Meski
dibatalkan di tingkat pengadilan pertama, risiko diterbitkannya kembali izin
pelaksanaan reklamasi oleh Gubernur DKI Jakarta terbuka lebar. Apalagi jika
PresidenJokoWidodotidak mengeluarkan NCICD dari prioritas program jangka
menengah nasional 2015-2019.
Dalam
konteks inilah, kajian yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, Pemerintah Korea, Pemerintah Belanda, dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional diorientasikan. Dengan dukungan anggaran senilai Rp218
miliar, kajian ini diharapkan melegitimasi kembali megaproyek NCICD. Anggaran
ini berasal dari Korea International Cooperation Agency (KOICA) dan
pemerintah Belanda, masing-masing sebesar Rp133 miliar (setara USD 9,5 juta)
dan Rp85 miliar (setara EUR 8,5 juta). Di sinilah perlunya mengelevasi
capaian advokasi yang telah diraih melalui pengembangan kapasitas masyarakat secara
gotong-royong.
Kedua,
putusan PTUN ini mempertegas peluang masyarakat untuk terbebas dari praktik
diskriminatif saat pemberlakuan kebijakan publik dan mendapatkan
kesejahteraan kolektifnya.
Untuk
itulah, Pasal 20 ayat (1-2) Undang-Undang Nomor 1/2014 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil menyebutkan, ”Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib
memfasilitasi pemberian Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada Masyarakat
Lokal dan Masyarakat Tradisional yang melakukan pemanfaatan ruang dan sumber
daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil, untuk pemenuhan
kebutuhan hidup sehari-hari”.
Kasus
reklamasi di Teluk Jakarta merupakan cermin pertarungan perebutan ruang. Di
tengah pertarungan itulah, masyarakat pesisir dan warga Jakarta pada umumnya
dituntut untuk melibatkan diri secara proaktif guna memastikan setiap
pengambilan kebijakan atas kepentingan umum, seperti Ranperda Zonasi Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, sungguh-sungguh memprioritaskan hajat hidup
bersama.
Di
sinilah jejaring pengetahuan dan pengalaman pengelolaan lingkungan hidup,
sosial, dan ekonomi berbasis komunitas mesti dirajut bersama masyarakat
pesisir di Banten dan Jawa Barat yang tinggal di sekitar Teluk Jakarta.
Ditambah lagi apabila tiaptiap anggota masyarakat pesisir tersebut
berkemampuan untuk menghimpun kepentingan mereka ke dalam wadah usaha bersama
berbasis koperasi sebagai dipersyaratkan di dalam Pasal 22A Undang-Undang
Nomor 1/ 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
niscaya perjuangan konstitusional ini bisa dimenangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar