Tantangan
Populisme di Eropa
Teuku Rezasyah ; Dosen Hubungan Internasional FISIP
Universitas Padjadjaran
|
MEDIA
INDONESIA, 21 Maret 2017
DALAM
banyak literatur, populisme bermakna menarik perhatian publik atas isu-isu
yang menyangkut kepentingan mereka dan selanjutnya mengarahkan mereka untuk
mendukung partai politik tertentu dan memenangkan tokoh politik tertentu.
Secara
garis besar, di Amerika Serikat dan Uni Eropa, isu yang berkembang adalah
anti-Islam, antiimigrasi, anti-Uni Eropa, antikemapanan, anti-eurozone, dan
antiglobalisasi.
Puncak
dari populisme ialah kemenangan Donald Trump sebagai presiden Amerika
Serikat, yang sejak dini menentang masuknya imigran muslim dari Timur Tengah
dan Afrika, yang dalam pandangannya membawa pemikiran yang tidak sejalan
dengan sistem demokrasi di Amerika Serikat.
Belum
genap seminggu memerintah, Trump mengeluarkan executive order atas ide
tersebut, yang walaupun ditentang pengadilan di tingkat negara bagian, ide
itu telanjur menjadi simbol kemenangan Trump di dalam negerinya dan menjadi
inspirasi bagi banyak negara di dunia.
Ternyata
banyak partai politik di Uni Eropa seperti di Belanda, Inggris, Prancis, dan
Jerman terinspirasi oleh kemenangan Trump yang membawa isu populisme
sekaligus menjadikannya momentum untuk menyelesaikan masalah multirasialisme
yang hingga saat ini belum tuntas.
Patut
diakui, banyak imigran dari kawasan yang diharamkan Trump tersebut sulit
berintegrasi dengan masyarakat setempat, hidup dalam tingkat prasejahtera,
dan mudah disulut untuk terlibat dalam isu-isu sektarian di dalam dan luar
negeri.
Namun,
ternyata fakta politik di Uni Eropa berkata lain.
Di
Belanda, partai besutan Geert Wilders yang berbasis populisme, atau Party for
Freedoms/PVV, ternyata kalah di tengah Maret 2017 ini, oleh partai perdana
menteri yang sedang menjabat.
PVV
sejak awal kampanye, dan sesuai dengan jejak pendapat, diramalkan akan
menang.
Hal
yang sama terjadi di Jerman, tempat Partai Ultra Nasionalis yang juga
menggunakan strategi populis gagal memerintah walaupun telah berusaha keras
mengerdilkan kebijakan pemerintahan Angela Merkel yang dalam pandangan mereka
terlalu lunak atas arus pengungsi dan pencari kerja.
Demikian
pula di Prancis, partai garis keras yang ada mencoba menggunakan ide-ide
populis seperti aksi terorisme yang terjadi di berbagai lahan bandara dan
museum di Prancis.
Mengapa
ide populisme unggul di AS dan sebaliknya gagal di Uni Eropa?
Ternyata
masyarakat Uni Eropa lebih dewasa daripada kerabat mereka di AS.
Di
Prancis, penduduk muslim yang mencapai angka 2 juta tersebut masih dianggap
moderat oleh masyarakat umum walaupun ada sebagian kecil muslim yang menganut
garis keras.
Kedewasaan
politik juga terlihat di Inggris, tempat terdapat 5 juta penduduk yang
menentang digunakannya isu populis oleh Donald Trump dalam kampanye
kepresidenan di AS.
Arus
deras itu akhirnya bermuara pada 2 Maret 2017, ketika parlemen Inggris
berdebat panjang, yang pada intinya menentang undangan Perdana Menteri
Theresa May atas Donald Trump.
Padahal,
undangan itu dibuat menyusul kunjungan Theresa May ke AS Februari 2017.
Pada
saat yang sama, Wali Kota London Sadiq Aman Khan dan para pendahulunya kompak
dalam ide-ide pembangunan berbasis lingkungan hidup, transportasi, dan
keamanan dan bersatu melawan Donald Trump, yang menuding London sebagai kota
yang membiarkan preman-preman Islam bercokol.
Selain
kedewasaan politik masyarakat di Uni Eropa, ternyata terdapat fakta yang
sulit terbantahkan, di saat masyarakat Islam di kawasan tersebut, yang walaupun
masih berjumlah kecil, ternyata sudah berhasil membawa citra Islam yang baik,
moderat, dan profesional.
Hal
itu menjadikan masyarakat Uni Eropa menilai Islam di sana sebagai modal
pembangunan dan bukannya masalah dalam pembangunan.
Akar
kematangan para imigran muslim di Uni Eropa ialah asal usul mereka sendiri,
yang awalnya memang ingin bersekolah dan selanjutnya bekerja dan menetap.
Terbukti,
ilmuwan muslim di lembaga pendidikan tinggi di Uni Eropa berhasil menempatkan
diri sebagai tokoh-tokoh nasional yang lekat dengan budaya Uni Eropa.
Sebaliknya
di AS, para imigram muslim yang datang ialah mereka yang ingin bekerja dan
langsung menetap.
Pergeseran
dalam alam pemikiran di atas sudah terbukti di Indonesia. Sebagaimana
terbukti dari data LPDP saat ini, lebih dari 50% mahasiswa/i kita yang
memprioritaskan diri kuliah di Uni Eropa dan bukannya di AS.
Konon,
naiknya Donal Trump yang membawa isu populisme sudah sangat mengkhawatirkan
mereka, berikut panjangnya birokrasi dalam urusan kuliah dan menetap di
Amerika Serikat.
Mengingat
globalisasi yang sudah menggurita di dunia, tak dapat dimungkiri bahwa
ide-ide populisme juga sudah berakar di Indonesia dan memiliki sisi negatif
dan positif.
Sisi
negatif populisme terbukti dari banyaknya wanita unggulan di Tanah Air yang
jelas-jelas berkualitas dan berprestasi dalam kerjanya terpaksa harus kalah
dalam pemilihan di tingkat legislatif dan eksekutif karena adanya imbauan
untuk tidak memilih pemimpin wanita.
Hal
itu masih terjadi di sejumlah provinsi di Indonesia.
Juga,
tidak terhitung profesional unggulan yang harus lebih bekerja keras untuk
menang dalam persaingan di legislatif dan eksekutif karena sulit mendapat
dukungan dari kekuatan-kekuatan politik yang berbasis primordial.
Sisi
positif dari populisme di Indonesia saat ini memang sudah ada.
Terbukti,
semua kekuatan politik menggunakan isu populis dalam persaingan mereka,
seperti pemberian fasilitas pendidikan, kesehatan, transportasi, dan
perumahan dengan harga terjangkau.
Sisi
positif dari populis juga terlihat dari kehati-hatian para pemimpin nasional
di Indonesia untuk tidak terjebak dalam permainan isu yang digenderangkan
sesama tokoh nasional.
Ke
depan, isu populisme ala Indonesia, yang menekankan primordialisme, memang
secara alamiah akan bertahan untuk jangka pendek.
Namun,
untuk jangka panjang, kalangan generasi muda kita yang lebih berpendidikan
dan dekat dengan teknologi informasi akan bersikap lebih kritis akan nasib
bangsanya.
Bukankah
mereka adalah mayoritas dalam semua pilkada, pileg, dan pilpres?
Kita
masih bisa berharap pada generasi muda kita yang semakin kritis, terdidik,
dan tidak terjebak akan isu-isu populis, terlebih lagi jika isu tersebut
dibuat kalangan luar Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar