Jokowi
”Game Changer”
Saurip Kadi ; Mayor Jenderal TNI (Purn); Mantan Aster Kasad
|
KOMPAS, 25 Maret 2017
Dalam
2,5 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo, belasan ribu kilometer jalan
negara dan tol telah dan sedang dibangun. Dalam hitungan maksimal dua tahun
ke depan, sejumlah pelabuhan udara, laut, dan rel kereta api di sejumlah
wilayah di luar Jawa akan beroperasi. Pos-pos perbatasan telah dipermegah,
puluhan pembangkit tenaga listrik dengan ukuran puluh dan ratus megawatt
telah dan sedang dibangun secara merata di semua wilayah negeri. Harga BBM di
Papua disamakan seperti yang berlaku di wilayah lainnya.
Walau
hasilnya belum memuaskan, pada tahun pertama Presiden Jokowi telah menata
pelayanan pendidikan dan kesehatan. Ini masih ditambah banyak prestasi lain
yang tidak terekspos di media massa.
Sebagai
game changer, Presiden Jokowi seakan hendak mengatakan bahwa tanpa dibarengi
kesamaan perlakuan negara yang diwujudkan dalam bentuk kesamaan fasilitas,
infrastruktur dan pelayanan publik, kita tidak sepatutnya menyebut diri
sebagai NKRI. Pendek kata, Presiden Jokowi sedang meredefinisi makna NKRI,
bukan hanya secara politik dan hukum, melainkan juga kesamaan hak, manfaat,
dan perlakuan negara bagi segenap anak negeri tanpa kecuali.
Namun,
mengapa Presiden Jokowi hanya mengutamakan infrastruktur, padahal janji
kampanye Pilpres 2014 meliputi seluruh aspek kehidupan? Belum lagi warisan
pendahulunya yang berupa aneka praktik mafia, premanisme, kriminalisasi,
kreativitas aparat mencari-cari rezeki dan akal-akalan birokrasi, juga
hal-hal lainnya yanghingga kini belum tersentuh, bahkan terkesan dibiarkan.
Sementara
itu, persoalan megakorupsi masa lalu seolah hanya menjadi tanggung jawab KPK.
Di sisi lain, sejumlah capital violence dan state terorism masih terjadi di
sejumlah tempat.
Tontonan politik
Belenggu
sistem tata negara yang amburadul membuat presiden yang dipilih langsung oleh
rakyat dalam pemilu, tak berdaya untuk membentuk kabinet ”zaken” sebagaimana
logika politik seharusnya. Keterpaksaan menerima figur-figur sodoran pimpinan
partai pendukung dan tim-sukses Pemilu 2014 dalam pembentukan kabinet dan dua
kali reshuffle tidak terelakkan.
Berselancar
dengan keadaan, Presiden Jokowi memanfaatkan belenggu yang ada sebagai
kendali dalam menjaga perimbangan kekuasaan. Otomatis akhirnya secara natural
membuat dirinya keluar sebagai pemenang.
Begitu
juga realitas bahwa dirinya adalah pendatang baru dalam ”turbulensi”
perpolitikan nasional saat ini, dalam waktu relatif singkat Presiden Jokowi
sudah menjadi orang terkuat di republik.
Kejujuran
dan kesederhanaannya telah menghadirkan dukungan dan legitimasi luar negeri
yang luar biasa. Sebab, korporasi luar negeri yang selama ini dibebani biaya
setoran untuk para koruptor oleh korporasi mitra dalam negeri tiba-tiba
merasa ”plong” bisa menyampaikan kepada Presiden Jokowi bahwa sesungguhnya
dirinya bersih tidak korup karena transparansi di negara masing-masing
mewajibkan mereka patuh terhadap aturan main perpajakan dan pasar modal, atau
kena sanksi berat.
Bagai
sejumlah ”bisul” meletus bersamaan, berbagai korporasi mancanegara
berbondongbondong melaporkan transparansi perusahaan mereka, yang artinya
sama dengan membongkar borok mitra bisnis dalam negeri sendiri.
Sambil
senyum-senyum tampil dengan kuis sepeda, ternyata Presiden Jokowi sudah
mempunyai daftar kejahatan korporasi. Daftar ini bahkan sudah lengkap dengan
data para koruptornya berikut jumlah uang rakyat yang mereka korupsi.
Di
sisi lain, Presiden Jokowi juga banyak terkendala oleh kekacauan ”rule of the
law” dan ”rule of engagement” pemerintahannya. Jangankan pada lingkungan
kementerian sipil, di lingkungan pemangku fungsi keamanan negara saja terjadi
kekacauan aturan main.
”Konflik”
terbuka antara Panglima TNI dan Menteri Pertahanan dalam rapat kerja dengan
Komisi I DPR tanggal 6 Februari 2017 adalah fakta. Kedua pihak mempunyai
legal standing yang sama-sama sah secara yuridis formal.
Hari-hari
ini, para pembahas RUU Penyelenggaraan Pemilu kembali merekayasa untuk
melanggengkan kekuasaan elite partai. Ketika Pasal 6A UUD 1945mengamanatkan
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat (sistem presidensial), untuk
kepentingan pemilik partai, dalam pemilihananggota DPR mendatanghendak
dipaksakan menerapkan norma ”nomor urut”,layaknya sistem parlementer. Anggota
DPR akan diposisikan sebagai wakil partai yang setiap saat bisa dicopot
pimpinan partainya.
Padahal,
norma dasar pasangan presiden hasil pemilu langsung adalah anggota DPR mutlak
sebagai wakil rakyat. Lantas logika politik dari mana kelak yang akan
melahirkan kondisi ”check and balance” jika anggota DPR dalam sistem
presidensial berstatus wakil partai?
Masih
banyak lagi kekacauan aturan main yang terjadi hampir di semua urusan,
seperti di bidang pertambangan dengan kasus Freeport dan mafia migas nya,
pertanian dengan persoalan kartel impor komoditas, perumahan dengan kasus
pengelolaan rumah susun, dan lain-lainnya.
Karena
belenggu realitas dan amburadulnya sistem tata negara tersebut di atas,
sangat bisa dipahami jika pilihan Presiden Jokowi jatuh pada pembangunan
infrastruktur sebagai program unggulan. Karena di luar infrastruktur, masih
perlu waktu yang panjang untuk menaklukkan segenap ”binatang buas” yang kalau
salah perlakuan, bisa-bisa malah menerkamnya.
Wujudkan Nawacita
Adalah
mudah dimengerti jika sejumlah menteri gagal pahamdalam menerjemahkan
Nawacita. Sebab, majikannya ada dua. Pemilik partai yang menyodorkan dia
masuk kabinet dan sang presiden. Akhirnya kombinasi strategi ”silent
revolution”, ”membalik paradigma”, dan ”memanfaatkan tenaga lawan” yang tidak
membuat gejolak politik apa pun, apalagi ”perang” dengan banyak pihak,
menjadi pilihan dan telah dilakoni oleh Presiden Jokowi.
Kini,
terbukti sedang terjadi fenomena ”kelinglungan” di lingkaran kekuasaan karena
bingung harus berbuat apa. Di satu sisi pejabat takut dengan majikan pemilik
partai, di sisi lain presiden ingin Nawacita. Ketika ruang publik dibiarkan
kosong, pihak-pihak tertentu memanfaatkannya denganmenggelar ”gamelan” dan
kemudian justru birokrasi pemerintahan yang sibuk menari dengan irama kendang
mereka. Bahkan, sebagian sibuk mengurus yang bukan urusannya dan sebaliknya
tidak mengurus yang menjadi urusannya.
Publik
berharap dalam mengawali paruh kedua masa pemerintahannya, Presiden Jokowi
akan melakukanpenguatan kementerian dan lembaga yang terkait dengan reformasi
birokrasi, hukum, agraria, dan semua urusan yang terkait langsung dengan
kepentingan rakyat banyak. Inilah hal-hal yang selama ini diabaikan, padahal
seharusnya menjadi prioritas. Persoalan yang lebih mendasar adalah peran para
operator lapangan yang berani mendobrak belenggu realitas agar gong yang
ditabuh Presiden Jokowitidak menjadi sia-sia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar