Mencegah
Kebablasan Demokrasi
Ali Rido ; Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta
|
KOMPAS, 25 Maret 2017
Sulit
rasanya menolak fakta bahwa lembaran demokrasi kita hari ini cenderung
bergerak secara liar ke arah kebebasan dan begitu lamban bergerak pada area
kesejahteraan.
Demokrasi
saat ini juga cenderung memberikan tekanan pembangunan pada lapis negara,
tetapi pada saat yang sama gagal melakukan internalisasi nilai dan kultur
demokrasi yang berkeadaban pada level massa.
Akibatnya,
gerakan ekspresif tetapi kental anarkistis menjadi fenomena lazim dalam
perjalanan demokrasi saat ini. Trayek demokrasi pun saat ini dapat dikatakan
seolah hanya terfokus pada kebebasan, tetapi abai terhadap kesejahteraan.
Akibatnya, sulit menutup mata untuk tidak melihat masih banyaknya kaum
proletar bertebaran di bumi pertiwi Indonesia.
Hakikat demokrasi
Padahal,
hakikat demokrasi menurut Amartya Sen (2009) adalah: (1) terdorongnya fungsi
pembangun dalam pembentukan nilai-nilai; dan (2) pentingnya hakikat kehidupan
manusia (kesejahteraan). Demokrasi Indonesia seharusnya dapat diarahkan pada
kedua hakikat tersebut.
Sesungguhnya,
banyak negara yang bisa dijadikan cermin untuk mengubah kompas demokrasi yang
dianggap kebablasan saat ini dan dapat diorbitkan pada kesejahteraan.
Republik Rakyat China adalah salah satu negara yang sukses membawa nilai
demokrasi ke taraf kesejahteraan yang lebih baik. Malah, saat ini China
merupakan negara yang bisa dikatakan makmur jika dibandingkan dengan
negara-negara komunisme lainnya.
Di
sisi lain, contoh negara yang gagal mewujudkan nilai demokrasi ke arah
kesejahteraan jumlahnya tidak sedikit. Negara di Amerika Latin, seperti
Argentina, dan Afrika Timur, seperti Mozambik, bisa menjadi representasi
bahwa ketika pintu demokrasi dibuka, yang terjadi adalah kekacauan politik,
kerusuhan horizontal antarwarga negara, perang saudara, kerusuhan etnis, dan
lain-lain.
Mengonversi watak
Kunci
keberhasilan China dalam mengonversi watak demokrasi yang seakan liar adalah
dengan membangun internalisasi atas nilai dan kultur demokrasi secara kontinu
pada lapisan massa. Sementara negara yang gagal justru menyuburkan demokrasi
hanya pada lapis kebebasan dan elitis.
Berkaca
pada praktik negara di atas, agar dalam menapaki demokrasi tidak memunculkan
antitesis terhadap demokrasi itu sendiri, pemaknaan terhadap demokrasi tidak
semata pada hadirnya proses liberalisasi politik dalam kehidupan masyarakat,
tetapi juga hadirnya norma-norma politik berkeadaban.
Kemudian,
euforia demokrasi yang merupakan ciri dalam transisi demokrasi juga harus
segera diakhiri. Membiarkan fase transisi tanpa kenal waktu justru hanya akan
mendogma masyarakat pada apatisme politik. Hal ini jelas berdampak negatif
karena akan memicu titik balik demokrasi yang selama ini sudah dibangun
dengan susah payah.
Titik
balik demokrasi, bagaimanapun, adalah tahap yang amat menyakitkan. Selain
memberikan beban pada ongkos sejarah yang mahal, juga dapat membawa bernegara
ke arah terowongan labirin yang berliku dan amat gelap.
Hak dan kewajiban
Tidak
kalah pentingnya dalam mencegah demokrasi yang kebablasan, maka perwujudan
antara hak dan kewajiban yang berimbang harus menjadi prioritas dalam
bernegara.
Pemerintah
bersama jaringan organisasi non-pemerintah secara proaktif bekerja
mendampingi masyarakat agar masyarakat dapat memperoleh hak dan menunaikan
kewajibannya secara seimbang. Artinya, ketika masyarakat sudah menentukan
pilihannya, dalam hal bisa disebut sebagai hak, mereka sekaligus akan diikat
oleh suatu kewajiban.
Suatu
kewajiban yang menjadikan setiap warga negara secara relatif akan memperoleh
peluang yang sama dalam menikmati kesejahteraan. Oleh karena itu, tahap ini
merupakan tahap yang ditandai dengan kesejahteraan sosial yang semakin
meluas. Inilah yang sesungguhnya disebut hakikat demokrasi.
Hakikat
demokrasi adalah mengantarkan suatu bangsa untuk dapat menikmati kesejahteraan
sosial.
Hindari ”demoriter”
Meski
demikian, penting untuk menjadi catatan bahwa mewujudkan kesejahteraan dalam
demokrasi jangan sampai terjebak pada rezim demoriter (bentuk demokratis,
tetapi isinya otoriter).
Dengan
jaminan kesejahteraan yang diberikan, rakyat tidak mempermasalahkan apakah
negara tersebut menjadi demokratis atau tidak. Guna menghindarinya,
partisipasi dan ekspresi politik tetap diberikan dengan cara dilepaskan
secara perlahan-lahan.
Kemudian,
masyarakat juga harus belajar dan diajarkan tentang konsep demokrasi sebelum
mereka menerapkan demokrasi. Akhirnya, masalah demokrasi bagi negara
Indonesia yang saat ini dianggap kebablasan, ujungnya harus berpulang pada
sebuah pertanyaan klasik: demokrasi itu menjadi tujuan atau sekadar menjadi
sarana?
Secara
ideal, demokrasi adalah sarana untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Oleh
karena itu, jika nilai dan kultur demokrasi mampu diinternalisasikan ke dalam
semua lapisan, demokrasi yang mencipta kesejahteraan merupakan sebuah keniscayaan
untuk diwujudkan.
Semoga.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar