UU
KPK Tak Perlu Direvisi
Rooseno Harjowidigdo ; Peneliti Hukum dan HAM;
Ketua Himpenindo Cabang
Kemenkumham
|
KOMPAS, 21 Maret 2017
Dua
minggu terakhir masyarakat disuguhi berita sosialisasi revisi UU KPK yang
dilakukan DPR. Memang betul bahwa keberadaan suatu undang-undang, termasuk
dalam hal ini UU KPK, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak terlepas dari suatu revisi. Namun,
merevisi UU harus melalui evaluasi dan analisis, dilanjutkan dengan suatu
penelitian, baru kemudian menyusun penyusunan naskah akademik. Dengan
demikian, revisi UU—dalam hal ini UU KPK—benar-benar untuk memperkuat lembaga
state auxilary body tersebut.
Kaji rencana revisi
Kurang
lebih setahun yang lalu Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa rencana
revisi UU KPK perlu dikaji lebih mendalam, termasuk sosialisasi ke
masyarakat. Untuk menindaklanjuti perintah Presiden, penulis meneliti tentang
perlu tidaknya revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi dan upaya-upaya
memperkuatnya.
Penelitan
untuk mencari jawaban mengenai: 1. sejauh mana keberlakuan pasal-pasal yang
termuat dalam UU KPK setelah uji materi (judicial review) di MK; 2. sejauh
mana efisiensi dan efektivitas pelaksanaan UU KPK oleh lembaga KPK; 3. sejauh
mana pendapat anggota DPR dan pendapat masyarakat tentang perlu tidaknya
revisi UU KPK; dan 4. bagaimana upaya-upaya untuk memperkuat UU KPK.
Penelitian
menggunakan metode yuridis-empiris. Karena penelitian ini bersifat
deskriptifanalitis, penelitian menggunakan analisis kualitatif. Semua data
yang dikumpulkan diinventaris, diklasifikasi, dan selanjutnya dianalisis
dengan metode SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, dan threats) untuk
kemudian dapat diambil suatu kesimpulan dan saran.
Penelitian
dilakukan terhadap 17 putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materi terhadap UU
KPK; pendapat KPK tentang efisiensi dan efektivitas pelaksanaan UU KPK; 6
anggota DPR yang tidak setuju revisi UU KPK; 6 fraksi yang menghendaki Revisi
UU KPK; Rancangan Undang- Undang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (revisi per 1
Februari 2016); pendapat masyarakat tentang tidak perlunya revisi UU KPK;
pendapat mahasiswa, nelayan, akademisi, hingga aktivis partai yang
ramai-ramai tolak Revisi UU KPK; dan bagaimana upaya memperkuat UU KPK.
Dari
hasil penelitian itu disimpulkan bahwa ”revisi UU KPK tidak diperlukan bahkan
perlu memperkuat keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Rekomendasi
Dari
kesimpulan itu diusulkan beberapa rekomendasi, untuk meningkatkan efektivitas
pemberantasan korupsi perlu diprioritaskan pembahasan beberapa undang-undang
pendukung KPK. Di antaranya: (1) mempercepat pembahasan amandemen UU Nomor 31
Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001; (2) mempercepat pembahasan RUU
Perampasan Aset; (3) mempercepat pembahasan RUU KUHP; dan (4) mempercepat
pembahasan RUU KUHAP.
Agar
KPK tidak dengan mudah dibubarkan, direkomendasikan agar lembaga negara
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia diatur dalam UUD 1945, pun
demikian Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Adapun Kepolisian Negara
Republik Indonesia sudah diatur dalam UUD 1945 Pasal 30 Ayat (5). Tidak
kurang penting, penelitian ini merekomendasikan agar KPK diperkuat untuk
tidak dapat mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Hal
penting lain dalam penelitian ini juga merekomendasikan agar ketentuan Pasal
43 (penyelidik), Pasal 45 (penyidik), dan Pasal 51 (penuntut umum)
dipertahankan keberadaannya.
Rekomendasi
lain agar pimpinan dan pegawai KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
selalu on the right way untuk mengevaluasi kemudian merevisi Keputusan
Pimpinan KPK KEP-06/P.KPK/02/2004 tentang Kode Etik Pimpinan KPK dan
Peraturan KPK Nomor 05 P.KPK Tahun 2006 tentang Kode Etik Pegawai KPK.
Hal
itu lebih utama dilakukan daripada merevisi UU KPK dengan mengatur masalah
Dewan Pengawas KPK. Di samping banyak mengeluarkan biaya untuk memilih
anggotanya, hasilnya juga tidak efektif dan efisien, bahkan bisa dianggap
sebagai intervensi.
Teruskan penyadapan
Selanjutnya
masalah penyadapan direkomendasikan agar diatur dengan UU tentang penyadapan
tersendiri dan KPK (juga kepada Kejaksaan Agung dan Polri serta lembaga lain
seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Badan Narkotika Nasional)
diberi kewenangan penyadapan dengan tidak perlu izin.
Alasannya
(1) hak berkomunikasi merupakan derogable rights yang pembatasannya dilakukan
dengan UU; (2) penyadapan harus: (i)memperhatikan sisi manfaat dalam
pemberantasan tindak pidana (korupsi); (ii) merujuk best practice pada
efektivitas penyadapan yang dilakukan KPK selama ini; (iii) adanya aturan
internal masalah penyadapan yang jelas dan tidak bertentangan dengan HAM;
(iv) adanya prosedur standar operasi penyadapan yang jelas dan tegas; dan (v)
adanya instansi yang mengaudit penyadapan sehingga penyadapan KPK sah menurut
hukum (lawful interception); dan (3) menurut Mahfud MD, mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi, bahwa penyadapan menjadi alat paling efektif untuk membongkar korupsi.
Hak penyadapan harus dimiliki KPK agar penyidik mudah mengejar koruptor.
Dengan
melakukan penyadapan, penyidik KPK mempunyai bukti yang sah dan tak
terbantahkan saat kasus dilimpahkan ke pengadilan. Ia tak sepakat dengan
pendapat yang menyatakan bahwa penyadapan oleh KPK merupakan pelanggaran hak
asasi manusia.
Alasannya,
KPK baru membuka hasil penyadapan jika pelaku sudah tertangkap tangan
melakukan praktik korupsi. ”Berarti, kan, penyadapan sudah benar. Untuk apa
lagi mau dihapus, kecuali itu diartikan sebagai upaya melemahkan
pemberantasan korupsi.”
Pak
Presiden, UU KPK tidak perlu direvisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar