Menyelamatkan
Keadilan Pilkada
Khairul Fahmi ; Dosen HTN;
Peneliti Pemilu Pusat Studi
Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
KOMPAS, 24 Maret 2017
Masih
segar dalam ingatan betapa putusan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian
perselisihan hasil Pemilihan Kepala Daerah 2015 telah membuat nanar ratusan
pemohon.
Kala
itu, dari 151 perkara sengketa hasil pilkada yang diajukan, 137 perkara
dinyatakan tidak dapat diterima. Alasannya, ada permohonan yang telah lampau
waktu, tetapi mayoritas penolakan adalah ambang batas selisih suara sesuai
Pasal 158 UU Pilkada tidak terpenuhi.
Kejadian
itu di luar perkiraan banyak orang, sebab dalam sejarah penyelesaian sengketa
pilkada, baru kali ini MK menerapkan syarat formal permohonan secara
zakelijk.
Walaupun
demikian, pilihan sikap MK tersebut tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang
final. Bagaimanapun, berbagai perkembangan penyelenggaraan pilkada mesti
dijadikan referensi untuk terus memperbaiki posisi hukum lembaga peradilan
guna memenuhi rasa keadilan dalam kontestasi politik lokal.
Lebih-lebih,
hingga saat ini loophole dalam UU Pilkada sangat memungkinkan kontestan
bertanding secara curang. Walau UU telah menyediakan perangkat penyelesaian
masalah hukum, hal itu belum secara rapi mengurangi peluang permainan serong
seperti politik uang. Alih-alih dapat disentuh, dalam pilkada serentak 2017,
sangat terasa pelanggaran diselundupkan sedemikian rupa dan hendak pula
berlindung di balik ambang batas pengajuan permohonan penyelesaian sengketa
hasil.
Impunitas politik uang
Ambang
batas selisih suara telah memunculkan rumus baru dalam Pilkada 2017: lakukan
politik uang untuk kemenangan dengan selisih diatas 2 persen, maka
pelanggaran tak akan tersentuh, bahkan oleh MK sekalipun.
Aspek
normatif pun turut menunjang proliferasi politik uang dengan rumus itu.
Betapa tidak, walaupun UU No 10/2016 mengatur sanksi tegas pembatalan bagi
calon yang terbukti melakukan politik uang, ketentuan dimaksud sama sekali
tidak implementatif.
Dikatakan
begitu karena politik uang sebagai pelanggaran administratif baru dapat
ditindak ketika ia terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif. Dalam
arti, hanya politik uang yang terencana secara baik, melibatkan aparat
struktural, dan berdampak luas terhadap hasil pilkada yang dapat dihukum
dengan pembatalan calon.
Sebaliknya,
jika hanya dilakukan oleh calon dengan dukungan tim pemenangan, sekalipun
berdampak luas terhadap kemenangannya, Pasal 73 dan Pasal 135A UU Pilkada
sama sekali tidak dapat diterapkan. Akhirnya, norma itu pun tak lebih sekadar
aturan basa-basi.
Lebih
jauh, dalam Peraturan Bawaslu No 13/2016 terkait penanganan politik uang
diatur, Bawaslu hanya dapat menerima dan memeriksa dugaan pelanggaran yang
bersifat terstruktur, sistematis, dan masif paling lambat 60 hari sebelum
pemungutan suara. Dengan batasan itu, ada dua hal yang dapat dipastikan.
Pertama, politik uang yang terjadi dua bulan sebelum pemungutan suara tidak
akan pernah terjangkau. Kedua, dampak politik uang terhadap hasil pilkada
mustahil dibuktikan. Sebab, sebelum dampak dapat diukur, tenggang waktu
pemeriksaan telah terlebih dahulu berakhir.
Fakta
hukum di atas mengonfirmasi, sekalipun instrumen peraturan telah disediakan
sedemikian rupa, ia ternyata mandul. Akibatnya, praktik politik uang terus
terjadi tanpa penanganan yang memadai bagi sebuah pilkada yang adil.
Pada
gilirannya, regulasi justru melanggengkan adanya pelanggaran tanpa hukuman
atau impunitas dalam pilkada serentak 15 Februari 2017.
Membuka diri
Rantai
impunitas dalam kontestasi pilkada tentu harus diputus. Hanya saja, pada mata
rantai mana langkah itu mesti dimulai? Ketika pemungutan suara pilkada
selesai dilakukan, Bawaslu provinsi tidak lagi dapat berperan untuk menghukum
pasangan calon pelaku politik uang.
MK
juga telah secara ketat membatasi dirinya hanya akan memeriksa sengketa hasil
pilkada dengan selisih suara tak lebih dari 2 persen sesuai ketentuan Pasal
158 UU Pilkada. Sikap MK didasarkan alasan bahwa kewenangan penyelesaian
sengketa pilkada hanya wewenang tambahan yang bersifat non-permanen dan
transisional.
Dalam
kondisi semua jalan sudah tertutup, sebagai penjaga konstitusi dan pengawal
hak-hak konstitusional warga negara, MK seharusnya membuka diri untuk
memberikan solusi. Pintu keadilan bagi peserta pilkada tidak boleh ditutup
hanya sekadar mengikuti restriksi yang ada.
Alasan
bahwa penyelesaian sengketa pilkada hanyalah kewenangan sementara dan
transisional pun tidak tepat lagi dipertahankan. Sebab, kesementaraan
wewenang tidak dapat mengesampingkan tugas pelaku kekuasaan kehakiman untuk
menegakkan hukum dan keadilan.
Atas
pertimbangan itu, sudah selayaknya ambang batas selisih suara tidak
diterapkan secara kaku. Dalam arti, signifikansi selisih suara dalam Pasal
156 dan persentase jarak perolehan suara menurut Pasal 158 UU Pilkada cukup
diadopsi secara relatif.
Caranya,
syarat selisih suara hanya diterapkan setelah pemeriksaan dalil dan
bukti-bukti politik uang dilakukan dalam persidangan. Dengan begitu, sebelum
suatu permohonan dinyatakan tidak memenuhi syarat, pemeriksaan terhadap
signifikansi selisih perolehan suara sudah dilakukan lebih dahulu.
Dalam
konteks itu, langkah yang perlu diambil MK hanyalah menggeser waktu
pengambilan keputusan terhadap keterpenuhan syarat selisih suara, di mana
kontestan yang merasa dicurangi diberi kesempatan membuktikan signifikan atau
tidaknya praktik politik uang terhadap hasil yang diperoleh peraih suara
terbanyak. Saat alat bukti mengonfirmasi bahwa politik uang menyertai
kemenangan pasangan calon, demi keadilan, MK mesti mengesampingkan syarat
selisih suara untuk kasus itu.
Sebaliknya,
apabila tidak didukung bukti-bukti meyakinkan, bersamaan dengan putusan
akhir, MK kemudian menyatakan suatu permohonan tidak dapat diterima. Inilah
kiranya jalan tengah antara sikap yang telah diambil MK sebelumnya dan
perkembangan yang terjadi sepanjang Pilkada 2017.
Dalam
praktik hukum acara penyelesaian sengketa, langkah itu dapat dibenarkan.
Sebagai rujukan, dalam penyelesaian sengketa di peradilan umum, hal-hal
menyangkut syarat formal gugatan selain kompetensi absolut hampir selalu
diputus bersamaan dengan putusan akhir. Mengapa MK tidak coba menerapkan hal
yang sama dalam menyelesaikan sengketa Pilkada 2017 yang mulai bergulir pekan
ini?
Bukankah
selisih suara hanya sebuah syarat formal? Sementara yang hendak dituju dalam
penyelesaian sengketa hasil adalah terwujudnya keadilan pilkada, termasuk
dengan jalan memutus impunitas politik uang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar