Kesenjangan
dan Neraca Sosial
Achmad Maulani ; Pemerhati Ekonomi Politik;
Kandidat Doktor Universitas
Indonesia
|
KOMPAS, 27 Maret 2017
Presiden Joko Widodo dalam pidato perayaan hari jadi ke-44
PDI-P, beberapa waktu lalu, secara tegas menyatakan pentingnya ekonomi yang
berkeadilan dan pemerataan (Kompas, 11/1/2017). Kepala negara bahkan
menegaskan, percuma saja pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi dinikmati
segelintir orang dan hanya menciptakan kesenjangan.
Apresiasi tentu kita berikan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkomitmen membangun Indonesia dari pinggiran. Alokasi anggaran dana
desa terus mengalami peningkatan. Mulai dari Rp 20,5 triliun pada 2015, Rp 47
triliun pada 2016, dan meningkat menjadi Rp 60 triliun pada 2017. Tahun 2017
juga dicanangkan sebagai tahun konsolidasi fiskal dan akselerasi pertumbuhan
berkelanjutan dan berkeadilan.
Seluruh kebijakan yang telah dicanangkan tentu tidak akan
berarti tanpa strategi dan kebijakan tepat sebagai upaya membangun
keseimbangan neraca sosial pembangunan yang ditetapkan. Tanpa kebijakan yang
mendorong pertumbuhan berasas keadilan, nisbah pembangunan hanya akan
menyebabkan masyarakat miskin terus tersudut di tepi pembangunan tanpa
kehadiran negara.
Contoh paling nyata adalah visi membangun Indonesia dari
pinggiran yang menjadi jargon utama pemerintah, ternyata belum berkorelasi
positif dengan kantong-kantong kemiskinan yang ada di desa. Saat ini desa
ternyata masih menjadi kantong kemiskinan karena penghasilan petani dan buruh
tani yang masih sangat rendah. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, jumlah
penduduk miskin di desa per September 2016 mencapai 17,28 juta jiwa atau
62,23 persen dari total populasi penduduk miskin di Indonesia. Satu hal
penting yang harus digarisbawahi, 90 persen penduduk desa adalah petani.
Di Jawa, misalnya, petani gurem bahkan mencapai 75 persen
dari seluruh total rumah tangga petani. Karena itu, pilihan strategi
kebijakan yang tepat, misalnya reformasi tanah, harus segera dilakukan.
Pemerintah harus berani berdiri di garda depan untuk memastikan bahwa posisi
sektor pertanian tidak boleh berada pada posisi subordinat: selalu terdesak
secara mengenaskan.
Oleh karena itu, kebijakan berbasis data yang akurat dan
satu pintu menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar ketika pemerintah hendak
mengurai kesenjangan melalui akselerasi pertumbuhan berkeadilan dan
berkelanjutan. Ilustrasi paling sederhana, target tingkat pengangguran pada
2019 sebesar 4-5 persen dan tingkat kemiskinan 7-8 persen, tentu tak bisa
dilepaskan begitu saja dari garis pergerakan ekonomi yang berjalan saat ini.
Pertumbuhan ekonomi triwulan II-2016 sebesar 5,18 persen
dan triwulan III-2016 sebesar 5,02 persen. Perlu perumusan strategi yang
lebih tepat untuk mencapai pertumbuhan berkeadilan dan tingkat pertumbuhan 7
persen seperti diimpikan Presiden Jokowi.
Poin utamanya, pemerintah perlu membuat dan merumuskan
kebijakan yang koheren dan konsisten dalam menghadapi situasi ketidakpastian.
Beberapa sektor perlu mendapat perhatian serius di 2017, antara lain soal
pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan sosial; soal pertanian, kedaulatan
pangan, dan energi; soal pembangunan industri dan daya saing; serta soal
investasi dan infrastruktur.
Saat ini disparitas dan ketimpangan memang masih menjadi
paradoks yang selalu menyertai pembangunan di Indonesia yang selama ini lebih
mengedepankan kuantitas pertumbuhan ekonomi ketimbang kualitas pembangunan
itu sendiri. Akibatnya, ketimpangan terjadi secara multidimensi:
antarwilayah, antarsektor, dan antarkelompok pendapatan.
Nilai moral yang tak boleh ditawar adalah negara wajib
mengemban peran etisnya untuk menyelamatkan setiap jengkal wilayah dan
penduduk yang menjadi tanggung jawabnya.
Program-program rasional pembangunan pada ujungnya tetap
harus dihadapkan dengan pertanggungjawaban etis negara, yakni apakah program
itu mampu mengajak seluruh rakyat mengalami mobilitas bersama atau hanya
mengajak segelintir kelompok dan pelaku ekonomi saja. Karena itu, rona
kebijakan publik yang diproduksi tak boleh kehilangan sari pati sosialnya.
Ruang-ruang perdebatan publik yang terhampar di seluruh
lini birokrasi negara tidak boleh habis hanya untuk memperbincangkan jatah
kursi pemilu, anggaran negara untuk belanja fasilitas pegawai, ataupun
perdebatan dangkal soal pilkada. Semua itu adalah isu penting, tetapi ketika
lalu lintas perbincangan tidak bersinggungan dengan kondisi riil rakyat, ia
justru akan kian memperlebar jarak kesenjangan.
Keberlangsungan kebijakan pembangunan tidak boleh
melahirkan bencana sosial ketimpangan, yang justru menodai proses pembangunan
itu sendiri. Pakta utama yang wajib menjadi rambu adalah kebijakan yang
diambil harus mulai diformulasikan bukan sekadar untuk bersanding dengan
pasar, melainkan juga bertarung untuk menyelamatkan sendi-sendi sosial
kehidupan rakyat. Dengan itulah neraca sosial pembangunan yang sering kali
mengalami defisit dalam perjalanannya bisa dicegah.
Distribusi dan alokasi
Pembangunan selalu berada dalam konteks distribusi dan
alokasi kekuasaan atas hasil-hasilnya. Idealnya tentu pembangunan untuk semua
warga. Namun, kenyataannya sering kali distribusi dan alokasi manfaat
pembangunan sulit merata. Tepat pada ranah inilah negara harus mewujudkan
peran etisnya melalui apa yang oleh Evans (1998) disebut peran husbandry.
Peran ini berkenaan dengan campur tangan negara untuk menjaga kesinambungan
pertumbuhan ekonomi secara seimbang dan adil.
Dalam konteks ini negara harus terus diyakinkan bahwa
pembangunan bukan sekadar wahana transaksi kekuasaan para elite dan pemilik
modal. Negara harus berperan untuk melindungi, mengawasi, dan mencegah
terjadinya perilaku ekonomi yang dipandang merugikan bagi sebagian kelompok
masyarakat.
Ketika peran-peran tersebut bisa dilakukan, di situlah
negara mampu menunjukkan sebagai institusi rasional yang bisa mengawal
seluruh proses pembangunan secara tepat. Celakanya, di banyak kasus, negara
sering kali luput untuk mendata satu per satu nisbah dari pembangunan yang
telah diselenggarakan. Akibatnya, pembangunan yang digelontorkan acap kali tidak
menampilkan wajah kemakmuran, tetapi justru menyodorkan ketimpangan yang akut
dan indeks kesejahteraan yang bergerak amat lambat.
Guna mengurai dan memperkecil disparitas dan ketimpangan,
negara tak boleh hanya bermain di hilir dalam soal kebijakan. Problem di
hulunya pun harus terselesaikan. Selain itu, pemerintah juga harus
menciptakan pusatpusat pertumbuhan baru di daerah, meningkatkan integrasi dan
interkonektivitas seluruh wilayah di Indonesia sehingga terjadi pemerataan
pembangunan.
Lebih dari itu semua, hal terpenting adalah komitmen
negara untuk memastikan seluruh program yang dicanangkan berjalan dan bukan
hanya slogan semata. Mengatasi ketimpangan tak bisa parsial dan tambal sulam.
Perlu komitmen kuat dan formula tepat. Tanpa itu, persoalan ketimpangan dan
kesenjangan tak mungkin dapat diurai dan justru berkontribusi terhadap
defisit kesejahteraan masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar