Memerangi
Pornografi Anak
Susanto ; Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI);
Alumnus Program Doktor
Universitas Negeri Jakarta
|
KOMPAS, 23 Maret 2017
Kejahatan
pornografi anak-anak semakin marak. Fakta dan kejadian terus bermunculan
dengan berbagai pola dan modus.
Kasus
terbaru: Polda Metro Jaya menangkap empat tersangka pelaku pornografi
anak-anak via Facebook jaringan internasional. Selain menampilkan konten
pornografi, dua tersangka—MBU (27) alias Wawan alias Snorlax dan DF alias
T-Day (17)—melakukan kekerasan seks terhadap sejumlah korbannya. Di antara
korban itu, beberapa masih merupakan keluarga kedua tersangka.
Di
era keterbukaan saat ini, pornografi merupakan isu yang sangat seksi. Keran
informasi yang terbuka lebar setelah 1998 tampaknya tak disia-siakan jaringan
pelaku kejahatan pornografi. Motifnya cukup beragam: bisnis, kejahatan seks,
eksploitasi ekonomi, sampai perdagangan anak- anak.
Meski
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi telah lama terbit,
secara faktual pornografi masih tumbuh pesat dan menjamur. Konten pornografi
mudah ditemukan dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara,
bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, dan gerak tubuh. Juga
pesan melalui berbagai media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum
yang memuat kecabulan atau eksploitasi seks yang melanggar norma susila.
Meningkatnya
jumlah kasus pornografi anak-anak terkonfirmasi oleh data KPAI 2016.
Berdasarkan pengaduan dan pengawasan, kasus pornografi dan siber menempati
urutan ketiga (464 kasus) setelah kasus anak-anak berhadapan dengan hukum
(1.198) serta kasus pelanggaran hak anak-anak dalam keluarga dan pengasuhan
alternatif (809). Pada 2015, kasus pornografi menempati urutan keempat setelah
kasus pelanggaran anak-anak di lingkungan satuan pendidikan.
Kapitalisme pornografi
Saat
ini jutaan orang menggunakan internet setiap hari. Ini membuka peluang
pengguna, termasuk anak-anak, mengakses pornografi. Diperkirakan, 60 persen
dari 1 miliar pengguna internet dunia membuka situs porno saat terkoneksi
dengan jaringan.
Yang
mencemaskan, minat terhadap pornografi anak-anak yang meningkat ini terkait
dengan komoditas bisnis haram yang menjanjikan, beromzet miliaran dollar AS.
Hal ini terkonfirmasi oleh hasil pengamatan The Wall Street Journal yang
mengungkap bahwa situs web yang memuat konten pornografi menghasilkan laba
sangat besar. Sebuah sumber menyebutkan bahwa kontribusi untung dari situs
porno tersebut mencapai 18 miliar dollar AS per tahun.
Perang
terhadap pornografi masih menghadapi tantangan berat. Dampak derasnya arus
pornografi tidak hanya terhadap anak-anak sebagai korban, tetapi juga orang
dewasa. Menurut hasil penelitian Universitas Oklahoma, perceraian akibat
penggunaan materi pornografi oleh suami meningkat hampir dua kali lipat, dari
6 persen menjadi 11 persen. Ini meneguhkan betapa pornografi merupakan
masalah serius dan berdampak kompleks.
Menurut
studi yang dimuat Journal of Sexual Medicine online, ada tiga tipe pengguna
pornografi.
Pertama,
pengguna dengan tujuan rekreasi. Pengguna dalam kategori ini paling banyak,
mencapai 75 persen. Mereka mayoritas perempuan (menikah atau berpacaran) yang
menonton film porno sekitar 24 menit dalam seminggu.
Kedua,
pengguna yang kompulsif. Mereka rata-rata menonton yang porno di rumah,
kantor, atau tempat lain yang nyaman dengan durasi sekitar 17 menit setiap
minggu. Ketiga, pengguna yang tertekan. Kelompok ini diperkirakan berjumlah
sekitar 11,8 persen. Walau jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan dua
kelompok lain, kebiasaan mereka menonton jauh lebih banyak. Kelompok ini
rata-rata menonton materi pornografi 110 menit setiap minggu.
Pencegahan optimal
Tampaknya
tak berlebihan jika industri pornografi telah menjadi ”penumpang gelap” pada
agenda besar reformasi. Produksi pornografi terus bertambah, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri. Tentu keadaan ini tak boleh dibiarkan apabila kita
menginginkan masa depan bangsa yang lebih baik.
Respons kebijakan
Setidaknya
terdapat sejumlah upaya yang dapat dilakukan.
Pertama,
pemastian sistem proteksi. Upaya proteksi negara dari bahaya pornografi di
internet cukup beragam. Kebijakan pemerintah yang ditetapkan berkorelasi
dengan pilihan adopsi sistem pemerintahan setiap negara. Arab Saudi dan
China, misalnya, membuat server atau membatasi informasi dan konten bermuatan
pornografi melalui pembekal layanan internet. Di negara-negara yang menganut
sistem demokrasi, sensor di internet juga diberlakukan, tetapi bukan oleh
pemerintah, melainkan muncul dari masyarakat yang menggerakkan agar internet
dikelola sebagai media yang sehat.
Mengingat
derasnya arus pornografi di Indonesia, upaya pemastian proteksi agar
pornografi tak menjadi konsumsi anak dan anak sekaligus tak menjadi korban
merupakan keniscayaan. Regulasi telah ada, kebijakan telah terbit, bahkan
gugus tugas telah dibentuk sebagai perwujudan komitmen negara.
Kementerian
Komunikasi dan Informatika telah melakukan banyak hal dengan beragam program
dan strateginya. Namun, upaya yang telah ada itu tampaknya belum sebanding
dengan kompleksitas bisnis pornografi yang semakin hari semakin
mengkhawatirkan. Apalagi akhir-akhir ini anak-anak menjadi sasaran jaringan
bisnis pornografi.
Kedua,
kriminalisasi pelaku dan jaringan bisnis. Seharusnya tidak ada toleransi bagi
pebisnis pornografi, apalagi yang menjadikan anak-anak sebagai obyek. Sangat
berbahaya.
Langkah
kepolisian menangkap sejumlah pelaku merupakan sinyal positif bagi penegakan
hukum. Jika gurita bisnis besar yang terus melancarkan promosi di laman-laman
internet dapat dibongkar habis hingga akar-akarnya, ini merupakan kabar baik
bagi kriminalisasi pelaku kejahatan bisnis pornografi (sebab pintu memasuki
pornografi sering kali memicu kejahatan seks terhadap anak-anak). Upaya
membongkar habis sampai ke akar-akarnya itu merupakan realisasi komitmen
besar Presiden Republik Indonesia Joko Widodo memerangi kejahatan seks
terhadap anak-anak.
Ketiga,
literasi internet sehat. Penelitian yang didukung Unicef (2014) sebagai
bagian dari program Digital Citizenship Safety melaporkan bahwa usia 10
sampai 19 tahun merupakan kelompok populasi terbesar pengakses internet.
Namun, tak semua anak usia itu memiliki literasi cukup dalam pemanfaatannya.
Pembentukan kemampuan penggunaan internet yang baik akan tumbuh karena adanya
literasi membaca dan menulis, literasi audio visual, dan literasi digital.
Semua itu dapat membentuk anak-anak jadi kritis dalam menggunakan internet
dan meningkatkan kemampuan hingga kreativitas dalam penggunaan internet.
Literasi internet amat mendesak.
Dari
sejumlah kasus anak yang dilaporkan, mengapa anak terjebak menjadi korban
porno dan pelaku penyebar konten pornografi, diperoleh bahwa rata-rata karena
lemahnya literasi penggunaan internet. Maka, upaya literasi bagi anak-anak
usia dini, usia pendidikan dasar, dan usia sekolah menengah merupakan
kebutuhan prinsip sehingga penting terintegrasi pengasuhan dan pembelajaran
di sekolah agar anak dipastikan aman.
Keempat,
pembudayaan nol pornografi. Anak-anak pengakses porno dipengaruhi oleh banyak
hal, seperti teman sebaya, kakak kelas, tetangga, bahkan sebagian orangtua.
Tak sedikit kasus ditemukan, anak mengetahui porno karena orangtua lupa
menutup konten porno yang telah dibuka. Inilah perkenalan awal dunia
pornografi pada anak. Maka, benar kata orang bijak, ”Ubahlah perilakumu
sebelum menginginkan anak-anak kalian menjadi orang baik.” Tentu tak ada
upaya baik yang instan. Semua membutuhkan proses dan waktu. Tinggal kapan
memulai dan seberapa jauh memegang teguh konsistensi. Semoga.. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar