Politik
Identitas dalam Pilkada
Azyumardi Azra ; Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS, 21 Maret 2017
Politik
identitas tampak kembali menemukan momentum. Fenomena ini terjadi tak hanya
dalam pilkada dan pemilu di Indonesia, tetapi juga di banyak negara
berpenduduk majemuk, di mana kaum Muslim merupakan penduduk mayoritas atau
jadi kelompok minoritas. Fenomena ini,
misalnya, juga terungkap dalam penelitian Tufyal Choudhury (2007) tentang kebangkitan
politik identitas di kalangan kaum Muslim Inggris. Dalam pengamatannya, sejak
1990-an terjadi peningkatan signifikan politik identitas di kalangan kaum
Muslim.
Peningkatan
politik identitas Islam itu tak jarang tumpang tindih dengan identitas etnis.
Dalam kasus Inggris, politik identitas Islam tumpang tindih dengan etnisitas
Pakistan atau Banglades yang berhadapan dengan hegemoni Anglo-Saxon. Gejala
sama terlihat di Jerman. Politik identitas Islam tumpang tindih dengan
etnisitas Turki.
Politik
identitas Islam yang berpadu dengan etnisitas juga terlihat di Malaysia,
seperti diwakili Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Partai Islam
se-Malaysia (PAS). Hasil perpaduan politik itu adalah ”politik komunal”
sangat divisif dan sengit intra-Muslim dan antarumat berbeda.
Peningkatan
agama sebagai politik identitas terjadi karena kombinasi berbagai faktor
internal dan eksternal. Politik identitas agama menguat, antara lain, karena
meningkatnya semangat memegang Islam lebih ketat berhadapan dengan tantangan
dan ancaman kebangkitan politik, baik di tingkat lokal, nasional, maupun
internasional, yang dianggap mengancam eksistensi, identitas, dan ekspresi
keislaman Muslimin.
Fenomena
politik identitas Islam bukan gejala baru di Indonesia. Sejak Pemilu 1955
sampai Pemilu Presiden 2014 dan pilkada sejak 2005 sampai pilkada serentak
2017, politik identitas Islam hampir selalu hadir.
Politik
identitas agama sempat menyurut saat rezim Orde Baru menetapkan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Semua
ormas, termasuk parpol, wajib menggunakan asas tunggal Pancasila. Politik
identitas bangkit kembali pada Orde Reformasi saat parpol dibenarkan
mengganti asas Pancasila dengan agama sehingga parpol berasas Islam dan Kristen
tampil kembali.
Namun,
politik identitas Islam tidak pernah berjaya di Indonesia, baik di tingkat
lokal maupun nasional. Penyebab pokoknya adalah watak Islam Indonesia yang
inklusif dan akomodatif, intra dan antar-umat.
Masalahnya
kini eskalasi politik identitas Islam akibat dibawanya isu teologis dan fikih
ke dalam kontestasi politik partisan. Ini mengakibatkan peningkatan
khilafiyah (pertikaian keagamaan) di kalangan Muslimin sendiri. Soal
khilafiyah—apalagi terkait politik dan kekuasaan—menimbulkan tensi serta
konflik intra dan antarumat.
Isu
teologis, misalnya, terkait tuduhan ”munafik” atau ”kafir” dari sekelompok
Muslim terhadap Muslim lain yang berbeda sikap dan posisi politik. Isu fikih,
misalnya, terkait tentang memberikan suara pada calon non-Muslim dalam
pilkada; paling kontroversial tentang boleh atau tidak menshalatkan orang
Islam yang mencoblos calon non-Muslim.
Khilafiyah
sektarianisme aliran di antara Muslimin sudah terjadi sejak masa pasca Nabi
Muhammad SAW dengan munculnya berbagai aliran kalam (teologi), fikih, dan
tasawuf. Sektarianisme aliran memburuk ketika terkait politik dan kekuasaan.
Gejala
eskalasi politik identitas dengan khilafiyah sektarianisme religio-politik di
Indonesia, beberapa waktu lalu, sempat terlihat dari adanya spanduk di
beberapa masjid yang menyatakan masjid itu menolak menyelenggarakan shalat
jenazah bagi jenazah yang pada masa hidupnya memberikan suara kepada pasangan
calon tertentu di Pilkada DKI Jakarta. Entah siapa yang membuat, spanduk
serupa juga sempat dipasang di ”jalan tikus”, pagar, dan tempat lainnya.
Mengerasnya
politik identitas khilafiyah sektarian ini bukan sekadar pernyataan spanduk,
melainkan menjadi aksi konkret. Ini terlihat dari penolakan menshalatkan
jenazah Hindun binti Raisan (77) di mushala di dekat rumahnya, sekitar
Setiabudi, Jakarta Selatan.
Nasib
yang sama dialami jenazah Siti Rohbaniah (80) yang ditolak pengurus masjid di
kawasan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Jenazah almarhumah akhirnya
dishalatkan setelah keluarga menandatangani pernyataan mendukung calon
tertentu dalam Pilkada DKI Jakarta yang disodorkan ketua RT. Memang shalat
jenazah tidak wajib dilakukan di masjid atau mushala. Jenazah bisa
dishalatkan di rumah atau tempat lain yang bersih, suci, dan pantas sebagai
tempat menyelenggarakan shalat umumnya.
Jelas
sesuai ketentuan fikih, kaum Muslim wajib menyelenggarakan jenazah;
memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Wajib ini fardhu
kifayah—sebagian Muslim wajib melakukan. Jika tidak, semuanya terkena dosa.
Penolakan (pengurus) masjid atau mushala menshalatkan jenazah hanya karena
alasan politik partisan tidak sesuai dengan ajaran Islam (fikih). Perbedaan
sikap dan posisi politik semestinya tak jadi alasan untuk tidak menjalankan
perintah wajib menyelenggarakan jenazah.
Kaum
Muslim yang adalah bagian terbesar bangsa Indonesia semestinya tetap
memelihara ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah insaniyah. Tak
sebaliknya, hanya karena politik partisan dan kekuasaan merusak ketiga bentuk
ukhuwah lewat aksi politik identitas khilafiyah sektarian dengan, misalnya,
menolak ketentuan wajib memberikan kehormatan dan pemuliaan terakhir kepada
jenazah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar