Membubarkan
Parpol Korup
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi; Ketua
Pusat Kajian BUMN; Kandidat Doktor Ilmu Hukum BUMN FH Universitas Sriwijaya
|
KOMPAS, 23 Maret 2017
Kian
hari praktik korupsi di Indonesia kian berkembang. Hukum gagal membendung
perilaku busuk penyelenggara negara atau pejabat pemerintah.
Jerat
hukuman yang kian berat bukannya menitahkan efek pencegah bagi pelaku, tetapi
justru memacu mereka mengembangkan modus korupsi dari sederhana menjadi makin
canggih dan rumit. Tujuannya agar korupsi yang dilakukan lepas dari jerat
hukum dan mereka dapat terus melenggang bebas menikmati uang hasil korupsi.
Pelaku
korupsi tak lagi terbatas individu pejabat atau penyelenggara negara, tetapi
juga penegak hukum, swasta, dan terakhir parpol. Dakwaan kasus korupsi proyek
KTP elektronik yang baru mulai disidangkan mengindikasikan beberapa parpol
besar terlibat atau kebagian uang hasil korupsi. Terkait dengan itu,niscaya
jika rakyat. terutama cendekiawan, mulai mengancah aturan hukum yang mengatur
hukuman pidana atau pembubaran terhadap parpol yang terlibat korupsi karena
keterlibatan inibukan hanya kian memelaratkan dan menyulitkan rakyat, lebih
dari itumakin mengoyak rasa keadilan rakyat.
Keberanian
atau keleluasaan parpol ikut korupsi sangat mungkin dikarenakan parpol merasa
kebal hukum. DPR telah membuat proteksi kukuh terhadap parpol. Kulminasinya,
UU parpol sama sekali tak mengatur sanksi pidana atau pembubaran parpol yang
terlibat korupsi.
Pasal
47 UU Nomor 2 Tahun 2011 hanya mengatur sanksi administrasi, teguran, dan
penghentian bantuan keuangan.Sanksi administrasi berupapenolakan pendaftaran
parpol jika tak memenuhi syarat pendirian, seperti tidak didaftarkan paling
sedikit oleh 50 orang, tak memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan,
dantak memiliki anggaran dasar yang memuat asas dan ciri parpol;visi dan misi
parpol; nama, lambang, dan tanda gambar parpol; tujuan dan fungsi parpol.
Sanksi
teguran pemerintah dikenakan terhadap parpolyang nama, lambang, atau tanda
gambar punya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh parpol lain
sesuai peraturan perundang-undangan.
Tak
memilikikepengurusan di tiap provinsi dan paling sedikit 75 persen dari
jumlah kabupaten/kota pada provinsi bersangkutan dan paling sedikit 50 persen
dari jumlah kecamatan pada kepengurusan pada setiap provinsi dan paling
sedikit 75 persen dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi bersangkutan dan
paling sedikit 50 persen dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang
bersangkutan. Tidak memiliki kantor tetap di pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilu; serta tak punya rekening atas
nama parpol.
Sanksi
penghentian bantuan keuangan dariAPBN/APBD dikenakan bagi parpol yang tak
mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945, dan peraturan
perundang-undangan. Selain itu, juga tak memelihara dan mempertahankan
keutuhan NKRI; takberpartisipasi dalam pembangunan; tak menjunjung tinggi supremasi
hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Tak melakukan pendidikan politik,
tak menyalurkan aspirasi anggotanya; tak menyukseskan pemilu dantak
memelihara ketertiban.
Proteksi
berlebihan terhadap parpol bukan saja menafikan rasa keadilan rakyat, lebih
dari itu merupakan perilaku inkonstitusional, bertentangan dengan Pasal 27
Ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap subyek hukum di Indonesia
bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Karena itu, DPR harus
berani memasukkan sanksi pidana dan pembubaran parpol yang terlibat korupsi.
Bubarkan parpol korupsi
Meski
hukum positif saat inimelindungi parpol korupsi dari sanksi pidana, tidaklah
demikian dengan sanksi pembubaran. Kendati tak bersifat organis-khusus, hukum
positif telah mengatur peluang pembubaran terhadap parpol korupsi
sebagaimanaketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 telah menisbahkan wewenang
kepada Mahkamah Konsititusi membubarkan parpol.
Norma
Pasal 24C Ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang MK.Selanjutnya MKmengatur hukum acara pembubaran parpol dalam
Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 12 Tahun 2008. Secara substantif MK
telah cukup baik mengatur bahwa parpol dapat dibubarkan jika ideologi, asas,
tujuan, program parpol, atau kegiatan politiknyabertentangan dengan UUD 1945.
Atau jika akibat yang ditimbulkan kegiatan politiknya bertentangan dengan UUD
1945.
Namun,
mungkinkarena kurang cermat, MK justru melakukan penyimpangan dalam mengatur
pihak yang dapat mengajukan permohonan pembubaranparpol. Pasal 3 PMK Nomor 12
Tahun 2008membatasi hanyapemerintah—dapat diwakili Jaksa Agung dan/atau
menteri—yang dapat menjadi pemohon pembubaran parpol. Pengaturan
yangmenyimpang sekaligus membatasidi Pasal 3 PMK No 12/2008 tersebut
seyogianya segera direvisi MK.
Pengaturan
itu bukan sajatak memiliki dasar hukum dan rasionalitas pengaturan yang
baik,melainkan jugamerampas dan membelenggu hak konstitusional rakyat untuk
memperoleh keadilan.Seyogianya MK membuka akses keadilan luas untuk rakyat yang
telah diperlakukan tidak adil oleh parpol pelaku korupsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar