Vonis
tanpa Efek Jera
Kurnia Ramadhana ; Pegiat Antikorupsi;
Saat ini bekerja di Indonesia
Corruption Watch (ICW)
|
JAWA
POS, 24
Maret 2017
KEJAHATAN
korupsi tidak lagi dianggap sebagai kejahatan luar biasa. Setidaknya hal itu
bisa terlihat dari vonis-vonis ringan yang selalu dijatuhkan hakim di
pengadilan tipikor. Berdasar pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW)
sepanjang 2016 saja, rata-rata vonis terdakwa kasus korupsi hanya 2 tahun 2
bulan penjara.
Dalam
konstruksi pasal 10 KUHP tentang jenis-jenis hukuman, pidana penjara terletak
pada urutan kedua setelah pidana mati. Hal itu harus dimaknai bahwa hukum
positif Indonesia memercayai bahwa pidana penjara adalah salah satu
alternatif efek jera yang bisa dijatuhkan hakim kepada pelaku kejahatan (asas
premium remedium).
ICW
pun telah memantau 573 putusan perkara korupsi selama 2016 dengan sebaran
putusan: pengadilan tingkat I (420 putusan), pengadilan tingkat banding (121
putusan), dan Mahkamah Agung (32 putusan). Dari keseluruhan perkara, ditemukan
ada 632 terdakwa korupsi, 448 orang lainnya divonis ringan (1-4 tahun)
penjara serta 56 orang di antaranya divonis bebas.
Setidaknya
ada tiga faktor yang menyebabkan hal ini bisa terjadi. Pertama, beberapa
pasal dalam UU Tipikor memungkinkan seseorang untuk divonis ringan. Seperti
contoh, pasal 3 UU Tipikor memberikan jalur kepada hakim untuk memberikan
vonis ringan, hal itu karena vonis minimum dalam pasal ini hanya 1 tahun.
Kedua,
hakim cenderung tidak menjatuhkan vonis melebihi tuntutan jaksa. Hal ini
sudah berulang-ulang menjadi perdebatan di publik. Penting untuk dicermati
bahwa dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), tidak ada satu pun pasal yang mengharuskan hakim memutus pidana
sesuai dengan tuntutan jaksa. Justru yang dilarang adalah jika seorang hakim
menjatuhkan vonis lebih tinggi dari ancaman maksimal yang telah ditentukan
dalam undang-undang.
Ketiga,
minimnya langkah evaluasi dan perbaikan dari Mahkamah Agung (MA). Isu vonis
ringan kasus korupsi bukan hal yang baru, hampir setiap tahun terdakwa kasus
korupsi yang dihukum ringan selalu bertambah. Tahun 2015 terdata sebanyak 400
orang terdakwa kasus korupsi yang dihukum ringan oleh hakim, tentu angka
tersebut lebih sedikit dibanding tahun 2016.
Sampai
saat ini belum ditemukan kebijakan konkret dari MA untuk mengatasi
permasalahan vonis ringan pelaku korupsi. Seharusnya melihat hal ini, MA bisa
mengeluarkan surat edaran mahkamah agung (SEMA) yang berisi pedoman
pemidanaan bagi hakim ketika menyidangkan perkara korupsi.
Rendahnya
vonis hakim tersebut sebenarnya juga tidak bisa dipisahkan dari tuntutan
jaksa yang juga tak maksimal.
Padahal,
jaksa agung sendiri sudah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: SE-003/A/JA/02010
tentang Pedoman Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Korupsi yang berisi
standar tuntutan jaksa untuk beberapa pasal yang dikenakan kepada terdakwa
kasus korupsi.
Ketimpangan
hukuman atau yang kerap disebut disparitas putusan pun masih banyak terlihat
di tahun 2016. Banyak putusan yang tidak seimbang, padahal dari sisi pasal
yang dikenakan ataupun kerugian keuangan negara cenderung sama.
Satu
sisi pemidanaan yang berbeda adalah bentuk dari diskresi hakim dalam
menjatuhkan sebuah putusan, tapi di sisi lain, pemidanaan yang berbeda itu pun
akan membawa ketidakpuasan bagi terpidana bahkan masyarakat pada umumnya yang
sering menjadi korban.
Belum
lagi masalah minimnya inovasi jaksa dan hakim dalam penuntutan dan
penghukuman. Sepanjang 2016 sangat sedikit dite- mukan upaya pencabutan hak politik
terdakwa kasus korupsi. Hal ini terbukti dari 573 putusan kasus korupsi pada
2016, hanya ada tujuh putusan yang memvonis terdakwa dengan pidana tambahan,
yakni pencabutan hak politik. Jumlah tersebut sangat kecil jika dibandingkan
dengan jumlah terdakwa pada 2016. Jika dipresentasikan, maka sepanjang 2016
hanya 1,2 persen terdakwa kasus korupsi yang dihukum dengan pidana pencabutan
hak politik.
Sering
tuntutan jaksa yang ingin menghukum terdakwa dengan pidana pencabutan hak
politik ditolak hakim. Sebagai contoh kasus Muhammad Sanusi (terdakwa suap
pembahasan raperda reklamasi) dan Damayanti Wisnu Putranti (terdakwa suap
proyek infrastruktur), saat itu jaksa menuntut agar hakim mencabut hak
politik keduanya, namun saat pembacaan putusan, hakim justru menolak tuntutan
jaksa dengan berbagai alasan.
Padahal,
jika ditinjau dari segi hukum positif, pencabutan hak tertentu merupakan
salah satu hukuman pidana tambahan selain hukuman pokok. Hal ini tertuang
dalam pasal 10 KUHP yang menyebutkan bahwa pidana tambahan terdiri atas
pencabutan hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim.
Makna
dari kata ”tertentu” dalam konstruksi pasal 10 KUHP itu dapat diterjemahkan
berdasar pasal 35 ayat (1) KUHP yang menjelaskan bahwa hak-hak yang dapat
dicabut oleh hakim dalam vonis pengadilan salah satunya adalah hak untuk
memilih dan dipilih berdasar peraturan umum.
Aturan
dalam kedua pasal itu seharusnya bisa digunakan oleh semua hakim jika sedang
menyidangkan kasus korupsi, apalagi jika alat bukti sudah terpenuhi dan hakim
sudah mempunyai keyakinan bahwa terdakwalah yang melakukan kejahatan korupsi.
Bahkan,
permasalahan pencabutan hak politik juga pernah diajukan ke Mahkamah
Konstitusi (MK) pada 2009. MK melalui putusan No. 4/PUUVII/2009 telah menetapkan
bahwa hukuman pencabutan hak politik itu dianggap konstitusional tetapi
dengan batasan tertentu. Batasan yang dimaksud adalah pencabutan hak hanya
berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalankan hukumannya.
Hakim
dalam hal ini menjadi juru penentu untuk memberikan efek jera bagi koruptor.
Usaha yang selama ini telah dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi
sia-sia jika pada akhirnya pelaku korupsi masih diberikan vonis ringan. Jika
itu terus berulang, publik akan menilai bahwa pengadilan bukan lagi menjadi
tempat pencari keadilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar