Quo
Vadis Generasi Muda?
Muhammad Farid ; Fellow pada Lembaga Ketahanan Republik
Indonesia
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Maret 2017
AWAL
2017 diwarnai dengan berita mencemaskan mengenai kekerasan yang dilakukan
generasi muda. Sepanjang awal tahun ini hingga Maret ini, berbagai kasus
kekerasan terjadi. Pada Februari 2017, misalnya, seorang pelajar sekolah
menengah kejuruan (SMK) tewas dalam suatu tawuran di bilangan Pasar Rebo,
Jakarta Timur. Masih di Jakarta, tepatnya di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan,
dua generasi muda berusia belasan tahun tewas dalam tawuran warga pada 6
Maret 2017.
Tidak
hanya sampai di situ, tawuran di Bekasi, Jawa Barat, pada 11 Maret 2017
bahkan menewaskan seorang pelajar yang bahkan berusia lebih muda lagi, yaitu
pelajar sekolah menengah pertama (SMP) yang baru berusia 14 tahun. Dan
lagi-lagi, seorang pelajar SMP di Yogyakarta tewas akibat aksi kekerasan
jalanan oleh sekelompok orang.
Berita-berita
itu tidak bisa dianggap sepele. Terlepas dari jumlah korban yang tewas, satu
hal yang sangat mencemaskan adalah kenyataan bahwa sebagian generasi muda
sudah terekspose dengan kekerasan, yang bukan lagi sebatas 'kenakalan
remaja'. Sangat sulit untuk dibayangkan bahwa para pelajar berusia belasan
tahun sudah mempersiapkan senjata tajam untuk dibawa ke sekolah. Yang lebih
miris, kejadian-kejadian semacam itu sudah terjadi sejak bertahun-tahun lalu.
Kenyataan
itu tentu menimbulkan kecemasan dan tanda tanya besar. Apakah yang akan
terjadi dengan bangsa Indonesia di masa depan, manakala generasi muda sudah
tidak asing dengan kekerasan? Masalah itu sangat vital karena sangat
berkaitan dengan pembangunan mental dan skill generasi muda saat ini. Betapa
tidak, diperkirakan, Indonesia pada periode 2020-2030 akan mengalami 'bonus
demografi'. Pada 2030, penduduk Indonesia diperkirakan akan berjumlah 305
juta jiwa, dengan komposisi usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70% dari
total populasi.
Hal
itu tentu menjadi potensi dan peluang bagi Indonesia untuk memacu
produktivitas pembangunan. Namun, bagai pedang bermata dua, bonus demografi
itu bisa berbalik menjadi beban negara, apabila penduduk yang berusia
produktif tersebut malah 'tidak produktif'. Berdasarkan prediksi tersebut,
dapat dipahami bahwa populasi di usia produktif pada 2020-2030 akan diisi
remaja-remaja atau generasi muda yang tumbuh saat ini. Dengan demikian,
sangat wajar apabila aksi-aksi kekerasan yang melibatkan generasi muda saat
ini menimbulkan kecemasan akan apa yang terjadi dengan masa depan bangsa.
Lemahnya control
Fenomena
kekerasan yang terjadi di kalangan generasi muda saat ini disebabkan bermacam
faktor, mulai dari impitan ekonomi, lemahnya penegakan hukum, tantangan pada
kualitas pendidikan formal, kurangnya ruang untuk aktualisasi diri, hilangnya
keteladanan, pudarnya sopan santun, hingga kegamangan generasi muda untuk
menatap masa depan. Akan tetapi, jika ditelusuri lebih lanjut, berbagai
faktor tersebut menemukan suatu benang merah, yaitu lemahnya kontrol atau
pengawasan, baik dari orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan atau guru,
hingga aparat negara.
Sebagian
orangtua mungkin sudah merasa bahwa pangawasan anak-anaknya sudah sepenuhnya
menjadi wewenang sekolah atau lembaga pendidikan. Sebaliknya, beberapa
sekolah mungkin merasa bahwa di luar sekolah, pengawasan anak-anak tersebut
sudah menjadi tanggung jawab orangtua dan masyarakat. Padahal, pendidikan
merupakan suatu rangkaian utuh, baik di sekolah maupun di luar sekolah.
Sebagai
contoh sederhana, fenomena anak-anak usia sekolah yang membawa senjata tajam
dapat mencerminkan lemahnya kontrol semua pihak. Dalam hal ini, orangtua di
rumah tidak mengawasi perilaku anaknya di rumah menuju ke sekolah, termasuk
perlengkapan apa saja yang mereka bawa. Sebaliknya, sekolah pun tidak
mengawasi gerak-gerik anak-anak didiknya sehingga tidak mengetahui bahwa
sebagian dari mereka turut membawa senjata tajam.
Pada
akhirnya, lemahnya kontrol semua pihak pada generasi muda akan bermuara pada
lemahnya pemahaman budi pekerti maupun rendahnya daya saing sumber daya
manusia Indonesia. Rasa bertanggung jawab dan pelayanan publik Untuk mencegah
perilaku generasi muda yang kontra produktif, Indonesia mau tidak mau harus
merumuskan suatu formula untuk mengintegrasikan peran orang tua, masyarakat,
lembaga pendidikan, dan aparat negara.
Hal
ini diperlukan untuk membangun karakter generasi muda agar dapat lebih
memiliki rasa tanggung jawab terhadap bangsa dan dapat berperan secara
produktif bagi pembangunan. Beberapa negara, seperti Singapura, Israel, dan
Swiss menerapkan pembangunan karakter generasi muda melalui program 'wajib
militer' (military service) atau 'national service' dalam kurun waktu
tertentu.
Program
itu tidak hanya bertujuan mempersiapkan kekuatan pertahanan fisik, tetapi
juga pada esensinya merupakan upaya sistematis membangun rasa cinta pada
Tanah Airnya sehingga menimbulkan rasa tanggung jawab dan memiliki akan
negara dan bangsanya. Pada gilirannya, rasa bertanggung jawab ini akan
mendorong generasi muda untuk berperilaku positif dan produktif bagi kemajuan
bangsanya.
Pada
tataran tertentu, Indonesia membutuhkan suatu strategi untuk menumbuhkan
perilaku generasi muda yang lebih bertanggung jawab. Upaya ini membutuhkan
suatu sinergi yang utuh antara orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, dan
aparat negara Dalam hal ini, walau bukan dalam bentuk 'wajib militer',
Indonesia membutuhkan suatu program bagi generasi muda untuk memahami secara
konkret tanggung jawab dan perannya kepada diri mereka sendiri, orang tua,
masyarakat, bangsa, dan negara.
Pada
masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah mengupayakan program Pendidikan,
Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi generasi muda yang baru saja
memasuki jenjang pendidikan SMP, SMA (dan sederajat), hingga perguruan
tinggi. Namun, pada tataran tertentu, program itu sepertinya belum
menunjukkan hasil yang efektif terhadap pembentukan karakter generasi muda
yang bertanggung jawab.
Hal
itu bisa saja disebabkan beberapa faktor. Namun, menurut hemat penulis, pada
masa lalu program P4 baru sebatas pada pemberian materi di ruang kelas dan
tidak memasukkan unsur praktik di lapangan. Para siswa tidak dibekali
pengetahuan mengenai perilaku Pancasila dalam tataran praktik atau
implementatif. Indonesia mungkin bisa menerapkan program yang melibatkan
generasi muda dalam praktik pelayanan publik.
Program
itu dapat diberikan pada generasi muda saat memasuki jenjang pendidikan SMP,
SMA (sederajat), dan perguruan tinggi selama kurun waktu tertentu atau
berkala. Materi program ini dibuat dalam dua kategori, yakni materi
pembelajaran di ruang kelas dan materi pelayanan publik di lapangan. Materi
pembelajaran di ruang kelas dapat meliputi materi nilai-nilai kebangsaan dan
Pancasila, kesadaran hukum yang meliputi kesadaran untuk menjaga ketenteraman
publik, serta materi-materi kearifan dan budaya lokal yang tentunya beragam
untuk tiap-tiap daerah.
Materi
pelayanan publik di lapangan dapat diwujudkan pada keterlibatan langsung
generasi muda atau siswa pada upaya pelayanan publik maupun menjaga
ketenteraman publik. Secara sederhana, siswa dapat membantu dinas kebersihan
daerah setempat untuk paling tidak menjaga kebersihan lingkungan di sekitar
sekolah masing-masing. Diharapkan, kegiatan itu mampu menumbuhkan rasa
tanggung jawab dan memiliki siswa akan kebersihan lingkungan, yang sebenarnya
merupakan perwujudan nilai-nilai kebangsaan dan Pancasila.
Contoh
lain, para siswa juga dapat dilibatkan untuk membantu kepolisian dalam
menjaga ketertiban lalu lintas di lingkungan sekolah mereka masing-masing
sehingga para siswa akan semakin memahami budaya tertib berlalu lintas dan
terlibat langsung dalam upaya menegakkan ketertiban itu sendiri. Misalnya,
para siswa dapat membantu kepolisian menjaga ketertiban lalu lintas di
lingkungan sekolah dalam hal menyadarkan pengguna kendaraan bermotor untuk
memprioritaskan pejalan kaki ketika menyeberang di zebra cross. Dengan
melakukan upaya tersebut, diharapkan pada siswa setidaknya memahami prinsip
berlalu lintas untuk menghormati sesama pengguna jalan.
Selain
teori dan praktik lapangan dalam pelayanan publik, program itu juga didorong
untuk mengarahkan generasi muda untuk melakukan aktualisasi diri melalui
kegiatan seni-budaya maupun olahraga Dengan demikian, generasi muda yang baru
memasuki tiap jenjang pendidikan akan selalu disegarkan, tidak hanya dengan
teori, tetapi juga praktik untuk bertanggung jawab dan mempunyai rasa
memiliki akan ketertiban masyarakat, serta memiliki wawasan untuk dapat
mengaktualisasikan dirinya secara positif.
Pada
titik inilah, sinergi antara orang tua, masyarakat, lembaga pendidikan, dan
aparat negara sangat diperlukan, terutama dalam memberikan teladan pada
generasi muda sebab tanpa keteladanan, sulit untuk mendorong generasi muda
untuk memahami tanggung jawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar